Akhirnya tak tahan juga saya untuk tidak ikutan bersuara setelah masuk hari ke-5 soal hiruk pikuk naiknya harga gas elpiji 12 kg yang membuat heboh seantero Nusantara. Betapa tidak, di hari pertama 2014, ketika sebagian warga masih lelap tidur setelah semalaman bergadang, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, gas elpiji dinaikkan harganya. Naiknya sampai 50%! Inikah kejutan tahun baru bagi rakyat Indonesia dari Pemerintahnya? Tahun lalu, kita mendapat kado kenaikan harga daging sapi dari Rp. 70 – 80 ribu/kg menjadi Rp. 100 – 110 ribu/kg.
Harga daging sapi naik sampai 40% dampaknya hanya pada penurunan konsumsi. Tak apalah makan daging cuma seminggu sekali, toh protein nabati dari tahu dan tempe masih bisa menggantikan. Tapi kalau gas elpiji yang naik, bisakah kita berhemat hanya 1-2 kali saja dalam seminggu memakai elpiji? Padahal semua bahan makanan harus dimasak sebelum bisa dimakan. Mau digoreng, ditumis atau sekedar direbus pun butuh api. Bahkan air putih pun harus direbus dulu sebelum aman diminum. Setelah mitan (minyak tanah) tak lagi disubsidi dan rakyat diminta patuh melakukan konversi dari energi fosil ke energi terbarukan, dari mitan ke gas sekitar 5-6 tahun lalu, kini hampir semua masyarakat – utamanya di perkotaan dan pinggiran – sangat bergantung pada gas elpiji untuk memasak.
Kalau elpiji tabung 12 kg yang biasanya bisa dibeli dengan kisaran harga 80 ribuan rupiah kini paling murah di agen mencapai Rp. 123.900,00 siapa yang tak menjerit? Betul, pemakai elpiji 12 kg umumnya masyarakat kelas menengah yang sudah terbiasa memakai kompor gas sejak sebelum adanya pembagian kompor gas satu tungku berikut tabung gas 3 kg dari Pemerintah pada 2008 lalu. Keluarga kami sudah lebih 20-an tahun memasak dengan kompor gas, jadi ketika dari RT mendapat pembagian kompor dan tabung gas melon (tabung hijau 3 kg), saya sadar itu bukan jatah saya. Gas elpiji harga subsidi memang sebaiknya untuk rakyat yang berhak mendapatkan subsidi, mereka yang selama ini masih memakai mitan dan dipaksa bermigrasi, mendukung program konversi mitan ke gas. Maka, agar subsidi tak salah sasaran, kompor dan tabung melon pembagian dari Kelurahan itu saya berikan kepada si Mbak yang biasa saya panggil untuk memijat. Kebetulan dia berjualan kue-kue yang dititipkan ke warung untuk makan sehari-hari.
Saya tak memakai gas melon bukan sok kaya. Pertimbangan faktor keamanan sekaligus pemikiran mendukung program pemerintah agar subsidi tak salah sasaran, itu yang jadi alasan utama saya. Tapi jika kini harga elpiji 12 kg dinaikkan setinggi itu, belum lagi biaya distribusi kini dibebankan sepenuhnya pada konsumen, tak bolehkah saya sebagai rakyat, menjerit dan protes?! Kami masyarakat kelas menengah, yang dikenai pajak dari penghasilan kami, mentang-mentang “tak berhak” mendapat subsidi, lalu harus dikuyo-kuyo dengan alasan Pertamina “merugi”? Padahal gas yang kami konsumsi adalah gas yang diambil dari perut bumi Pertiwi. Bukankah kami juga anak kandung Ibu Pertiwi?
“MERUGI” – POLA PIKIR ORANG TUA ATAU PEDAGANG
Alkisah ada sekeluarga petani yang tinggal di tanah yang luas warisan leluhurnya. Tiap hari si petani berangkat ke sawah saat terbit fajar, menggiring sapi-sapinya, untuk menggarap sawah warisan leluhur pula. Sang petani menebar benih, menyemai bibit, menyiangi rumput, membajak sawah, mengairi dan akhirnya memanen saatnya tiba. Istrinya di rumah memelihara puluhan ekor ayam dan bebek di kandang belakang rumah. Halaman depan ditanami sayur mayur, cabai, tomat, semuanya untuk kebutuhan dapur sehari-hari. Halaman samping yang masih luas dijadikan empang, ikannya bisa diambil untuk jadi lauk sekeluarga. Kalau tiba saat panen, pak tani punya pilihan : menjual seluruh padi hasil panenannya, atau menyimpan sebagian di lumbung, untuk kebutuhan makan bagi keluarganya sampai musim panen yang akan datang. Istri pak tani tiap hari memunguti telur ayam dan bebek. Ia bisa menjual seluruh telur itu ke taoke di kota, atau menyimpannya sebagian untuk lauk anak-anaknya agar mereka cukup gizi. Begitupun ikan di empang, bisa saja semuanya dijual ke pasar, atau diambil sebagian untuk dimasak jadi lauk anak-anaknya.
Kalau petani dan istrinya berpikir layaknya berdagang dengan anak-anaknya, maka ia akan menjual seluruh gabahnya ke pemilik mesin giling yang akan menjualnya jadi beras dalam kemasan. Itu lebih menguntungkan ketimbang diberikan gratis pada anaknya. Nanti anaknya kalau mau makan, harus dihitung berapa yang harus mereka bayar sebagai pengganti harga beras di pasar kota. Pun juga telur, telur ayam kampung kalau dijual ke penjual jamu bisa 2500 perak per butir. Jadi, kalau anaknya mau ceplok telur, ya harus membayar selisih harga keekonomian yang didapat kalau dijual ke bakul jamu. Telur bebek kalau dijual ke penjual martabak, bisa 3000 perak, karena itu kalau ada anaknya yang ingin bikin telur asin, ya harus membayar minimal sesuai selisih keuntungan yang didapat kalau telur bebek itu dijual ke pedagang martabak. Begitupun dengan ikan dari empang.
Apa yang kita pikir tentang keluarga petani di atas kalau begitu cara berpikirnya terhadap anak-anak mereka? Orang tua yang berhitung untung rugi dibandingkan selisih harga jika hasil panen/ternaknya dijual ke toko di kota, adalah orang tua yang tidak punya rasa welas asih dan kasih sayang terhadap anak mereka. Mungkin orang tua tiri yang bisa berlaku begitu.
Rakyat Indonesia adalah anak kandung Ibu Pertiwi. Pemerintah kita adalah “orang tua” yang diberi amanah untuk mengelola seluruh sumber alam dan kekayaan negeri warisan leluhur. Ya, tak satupun bisa meng-klaim sebagai pemilik dan pewaris tunggal tanah air yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Karena itu, para founding fathers negeri ini sejak awal kemerdekaan telah tegas menyatakan : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikelola oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”! Kita sudah merdeka sejak 68,5 tahun yang lalu. Tidak lagi dipaksa ikut orang tua tiri yang hanya mengeksploitasi sumber alam, lalu mengangkutnya ke negara mereka, dan membiarkan rakyat tanah jajahan gigit jari.
Tapi benarkah “orang tua kandung” kita sudah menjalankan amanat UUD 1945? Pertamina “merugi” jika menjual gas elpiji 12 kg dengan harga lama. Kerugian itu akibat dari “selisih harga keekonomian” setelah elpiji diolah. Ditambah lagi melemahnya rupiah yang terus tertekan sampai mencapai lebih dari Rp. 12.200,00/USD, maka harga gas elpiji untuk konsumsi dalam negeri makin tak bersaing dengan harga gas di pasar dunia. Karena itu Pertamina menaikkan harga jual gas elpiji di dalam negeri dan akan terus menggenjot volume ekspor gas ke pasar dunia. Alangkah malangnya kita..., pewaris sah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kini harus menebus harga gas – salah satu sumber alam Nusantara – setara dengan nilai keekonomiannya. Sementara, sebagian saudara kita yang hidup di perantauan, di negeri orang, justru dimanjakan oleh Pemerintah setempat dengan harga gas yang terjangkau. Ternyata, kost di rumah tetangga justru lebih terjamin kebutuhannya.
Bahkan, biaya distribusi dari stasiun pengisian ke tangan konsumen pun kini dibebankan kepada rakyat. Itu sebabnya, meski harga resmi dari Pertamina masih di kisaran Rp. 120 ribuan, faktanya harga di tingkat pengecer di berbagai kota di Jawa berkisar Rp. 140 – 160 ribu. Di Tarakan, Kalimantan Utara sudah mencapai Rp. 195 ribu, sehingga mereka memilih membeli gas milik Malaysia yang lebih murah dan lebih berat (maksudnya timbangannya tak dikurangi). Di Ambon harganya sudah tembus di atas Rp 200 ribuan, sedang di Papua sudah mencapai Rp. 300 ribu! Orang tua mana yang mengirimi uang anaknya tapi meminta si anak yang menanggung ongkos kirim? Dulu ada teman kost saya yang ortunya punya beberapa pohon mangga. Kalau musim mangga, ortunya mengirim satu dos besar mangga ke tempat kost. Anak kost yang biasanya harus berhemat jelas senang mendapat kiriman sekardus besar mangga matang di pohon. Apakah teman saya itu harus membayar ganti ongkos kirim pada ortunya? Tentu saja tidak!
Lalu kenapa saudara kita di Indonesia bagian timur harus menanggung disparitas harga gas elpiji yang begitu jauh dibanding harga di Jawa? Salahkah mereka karena tinggal di tempat yang jauh dari pusat kekuasaan? Bukankah hasil bumi Papua yang dikeruk – emas dan tembaga – dalam bentuk kontrak karya dengan Freeport, bagi hasilnya tak diberikan kepada saudara kita di Papua? Bukankah kayu dari hutan Papua yang dibabat habis, juga bukan dinikmati saudara kita di Papua? Mereka hanya menerima dampak banjir bandang Wasior 3 tahun lalu, akibat illegal logging yang ugal-ugalan. Bukankah hasil tambang Kalimantan yang banyak dikelola perusahaan minerba asing juga keuntungannya tak sepenuhnya dinikmati rakyat Kalimantan? Lalu kenapa kini mereka harus membeli elpiji jauh lebih mahal, sampai mereka terpaksa membeli dari negara tetangga? Tidak malukah Pemerintah RI? Sungguh ironis..., rasa-rasanya kita tak punya orang tua yang mampu bersikap adil pada anak-anaknya dimana pun mereka berada.
SEANDAINYA INDONESIA NEGERI 4 MUSIM
Teman saya pernah berkata : “Orang Indonesia beruntung sekali hidup di negara tropis. Cuma merasakan musim kemarau dan hujan. Kalau hujan turun, kita tinggal berteduh. Meski di halte atau emperan toko, asal tak kena hujan, sekedar pakaian kita tak basah, sudah cukup. Bandingkan dengan negara 4 musim, kalau salju turun. Tak cukup berteduh dari terpaan salju, sudah masuk rumah berdinding tembok pun, kalau tak punya pemanas ruangan, tetap akan kedinginan”. Betul sekali apa kata teman saya itu. Di bantaran sungai Jakarta, banyak kita temui rumah kardus yang hanya dilapisi plastik terpal bekas spanduk, atau rumah berdinding anyaman bambu yang sudah lapuk dan bolong sana-sini. Tiap musim hujan tiba, mereka bersiap menghadapi banjir dengan menaikkan barang miliknya ke atap. Dari tahun ke tahun mereka masih tetap hidup meski berjibaku dengan air banjir.
Kalau saja kita mengenal musim salju, tak terbayangkan, berapa ribu – atau bahkan juta? – jiwa yang harus mati kedinginan tiap tahun? Saat suhu mulai menyentuh di bawah 100C, rumah-rumah warga dan kendaran umum harus menghidupkan pemanas, agar yang berada di dalamnya tak kedinginan. Sanggupkah rakyat Indonesia menghidupkan pemanas ruangan di tiap kamar tidur dan ruang keluarga yang semua itu tentu butuh gas tak sedikit? Sanggupkah KRL dan angkot serta bis kota menghidupkan pemanas agar penumpangnya tak kedinginan? Tak terbayangkan, berapa konsumsi gas kalau kita mengenal musim salju. Lalu, saat musim salju tiba dan harga gas melambung seperti sekarang, apa yang bisa dilakukan rakyat? Sekedar melipat kedua tangan dan berselimutkan sarung? Tanpa pemanas satupun karena berhemat, maklum gas mahal! Mungkin, kalau negeri ini mengenal 4 musim, tiap tahun banyak gelandangan dan orang miskin yang tinggal di rumah papan/bambu mati kedinginan seperti gadis korek api dalam dongeng Hans Christian Andersen.
Jadi sebenarnya, pemerintah kita amat sangat beruntung sekali. Keuntungan pertama: mengelola sebuah negeri warisan nenek moyang yang kaya sumber alam, termasuk minyak bumi dan gas alam. “Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”, kata Koes Plus. Sekarang kayu sudah dieksploitasi para taoke dan diekspor ke negeri orang. Ikan dan udang sudah lama dicuri kapal-kapal tetangga. Jika BBM mahal dan nelayan tak mampu beli, mereka tak lagi melaut dan hanya memperbaiki kail dan jala. Lalu, jika keuntungan yang sudah given dari Tuhan itu lepas begitu saja, rakyatkah yang harus menanggung deritanya?
Keuntungan kedua : kita tinggal di negeri tropis, BBM dan gas hanya diperlukan sekedarnya, untuk transportasi dan keperluan memasak. Tak perlu risau dengan pemanas ruangan selama musim dingin. Jadi, kalau Pemerintah negara 4 musim saja (yang nota bene tak punya sumber alam gas) mampu mengupayakan warganya tak kekurangan gas dengan harga terjangkau, kenapa Pemerintah kita yang hanya perlu mengupayakan gas untuk keperluan memasak saja tidak bisa menjamin harganya terjangkau? Bukankah sumber alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Mana bisa makmur kalau untuk memasak saja kalang kabut karena harga gas mahal?
ALL THE PRESIDENT’S MEN
Ini sebuah tulisan curhat, isinya keluh kesah warga kelas menengah yang keberatan kalau harus membeli gas 140 ribuan sebulan. Kepada siapa keluh kesah ini harus disampaikan? Apakah saya akan kena somasi kalau mengeluh pada Pak Presiden? Sumpah Pak Presiden, saya tak ingin merampas hak subsidi rakyat kecil atas gas 3 kg, tapi tolong, jangan beratkan kami dengan harga gas 12 kg. Tak ada demo besar saat gas elpiji 12 kg naik gila-gilaan, tak seperti kenaikan BBM. Tapi bukan berarti kami diam karena kami mampu beli. Lihatlah, sebagian memborong 6-8 tabung gas melon dan me-lego tabung gas 12 kg miliknya. Apa dampak berikutnya? Gas 3 kg akan kosong stock-nya, langka. Para pedagang makanan kaki lima yang sangat bergantung pada gas 3 kg, akan merana. Padahal, mereka cari makan dari berjualan. Sehari tak berjualan berarti tak ada penghasilan.
Kemarin, Pak Wapres sudah memimpin rapat koordinasi membahas harga elpiji 12 kg. Hasilnya belum ada yang bisa disampaikan pada rakyat, karena masih akan dilaporkan kepada Pak Presiden hari ini. Semalam, Partai Demokrat menyatakan keberatan atas naiknya harga elpiji. Putra bungsu Pak Presiden sebagai Sekjen Partai Demokrat menolak kenaikan ini. Lalu apa yang akan Pak Presiden putuskan nanti? Selaku Ketua Umum Partai Demokrat atau sebagai Presiden RI? Bukankah Menteri ESDM Pak Jero Wacik, adalah pengurus inti DPP Partai Demokrat? Bukankah Pak Presiden selalu menempatkan orang dari partainya di pos Kementrian ESDM karena vitalnya posisi ini bagi kemakmuran rakyat? Bukankah Menko Perekonomian Pak Hatta Radjasa, adalah besan Pak Presiden? Bukankah Menteri BUMN yang membawahi Pertamina, adalah orang dekat Pak Presiden yang juga ikut konvensi Capres di partainya Pak Presiden? Bukankah dulu yang memilih Pak Boed yang pakar dan ekonom handal itu juga Pak Presiden? Jadi, jika para pejabat yang punya otoritas untuk berembug soal harga gas elpiji semuanya adalah orang dekat Pak Presiden, saya berharap tak akan susah berkoordinasi dan ambil keputusan demi “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Jabatan adalah amanah, memimpin negara berarti memikul amanah seantero negeri. Dulu, Khalifah Umar menolak dibantu pengawalnya memikul karung gandum ke rumah janda miskin yang tak punya persediaan makanan di rumahnya sampai terpaksa merebus batu di tempayan, demi mengelabui anaknya yang menangis kelaparan. Kata Khalifah Umar : “Maukah kamu kelak membantuku memikul karung ini di akhirat kalau perempuan itu menggugatku?”. Kini, ribuan ibu rumah tangga terpaksa urung membeli gas elpiji 12 kg karena uangnya tak cukup. Tak semua punya uang untuk membeli tabung 3 kg dan memborongnya. Tidakkah Pak Presiden takut jika kelak rakyat menggungat? Ini sekedar mengingatkan – sebagai sesama Muslim – tentang beratnya sebuah amanat. Dan seorang pemimpin akan dihisab lebih dulu dari pada rakyatnya. Sebagai rakyat, saya hanya bisa berharap, keputusan Pak Presiden sore nanti bisa melegakan hati rakyatnya. Semoga...
catatan : semua foto lapak pedagang kali lima adalah hasil jepretan sendiri, maaf belum sempat memberi watermark nama.
Tulisan selanjutnya :