Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Empat Bencana Yang Melanda Negeri Kita (Tausiyah KH. Hasyim Muzadi)

26 Januari 2014   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 832 14
[caption id="attachment_308303" align="aligncenter" width="499" caption="foto : foto.okezone.com"][/caption]

Awal 2014 tampaknya memang jadi tahun bencana bagi bangsa kita. Betapa tidak, Gunung Sinabung yang sejak 4 bulan terakhir tahun 2013 sudah meletus, di awal tahun ini rupanya belum akan berhenti erupsinya. Tanah Jawa bahkan seolah dikepung bencana. Ibukota terendam banjir yang menyebabkan kerugian 100–200 milyar perhari. Jalur pantura dari Jawa Barat sampai Jawa Tengah lumpuh akibat banjir yang sampai kini belum juga surut. Siang ini, beberapa daerah di bagian selatan Jawa dilanda gempat 6,5 skala Richter. Manado sudah 2 pekan lalu dilanda banjir bandang lalu disusul Padang. Bahkan, malam ini berita terkini mengabarkan banjir bandang melanda Sitaro, Sulut. Tak berlebihan kiranya jika Metro TV membuat topik “Indonesia darurat bencana”. Berbagai bencana itu telah membuat banyak orang kehilangan harta benda bahkan matapencarian mereka. Yang dulunya sudah kekurangan, kini makin jatuh miskin.

Di tengah mirisnya tayangan bencana di berbagai daerah, Sabtu siang kemarin saya mendengar tausiyah salah satu ulama besar KH Hasyim Muzadi, lewat acara Damai Indonesiaku di TV One. Majelis taklim yang disiarkan live dari masjid di pesantren KH Hasyim di Lawang, Malang itu benar-benar tepat karena topik yang diangkat adalah soal bencana. Tausiyah beliau begitu mengena dan pas dengan kondisi Indonesia saat ini. Berikut saya coba menuliskan beberapa point yang saya tangkap dari tausiyah beliau. Menurut beliau, dari kacamata Islam bencana yang kita hadapi saat ini ada 4 macam.

1. BENCANA ALAM

A. Bencana alam yang terjadi karena kehndak/ketetapan Allah, semisal : gunung meletus, tsunami, angin puting beliung, topan, badai dll yang umumnya sulit diprediksi manusia dan tidak bisa dicegah terjadinya. Semua itu terjadi hanya atas kuasa Ilahi, manusia hanya diberi sedikit tanda-tanda bahkan kadang tanpa pertanda sama sekali. Bencana yang terjadi semata atas ketetapan Allah ini juga ada 2 macam : bisa jadi suatu ujian bagi penduduk di negeri itu, bisa juga adalah bentuk murka Allah bagi penduduk negeri itu.

Untuk menghadapi bencana yang tak bisa ditolak ini manusia hanya bisa berkata “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah” (tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dari Allah) dan “Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mannashiir” (Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan Allahlah sebaik-baik pelindung). Inilah bentuk kepasrahan dan tawakkal dalam menghadapi cobaan Allah.

Sedangkan untuk menghadapi murka Allah, solusinya adalaha dengan memperbanyak berbuat kebaikan pada sesama dengan cara diam-diam. KH Hasyim lalu menyitir sebuah hadis yang artinya : “shodaqoh yg dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tidak disiar-siarkan, akan dapat mencegah murka Allah”. Jadi jika bangsa ini hendak mengurangi murka Allah, marilah berlomba-lomba dalam kebaikan bagi sesama tanpa perlu riya’, tanpa dipertontonkan secara luas. Itu ajakan beliau.

B. Bencana alam yang diakibatkan ulah tangan manusia, ini lebih banyak lagi contohnya. Termasuk banjir yang kebanyakan penyebabnya karena kelalaian manusia menjaga keseimbangan alam. Hutan-hutan ditebangi dengan ngawur, pembalakan liar, sampah tak dikelola dengan baik, membangun dengan ngawur sehingga tak tersedia cukup resapan dan aliran air, masih banyak lagi penyebab lainnya. KH Hasyim kembali menyitir sebuah hadis yang artinya : “rejeki yang engkau dapatkan dengan cara ngawur, maka ngawurmu itu akan kembali kepada dirimu”. Maka, menurut beliau, tak ada jalan lain selain menguatkan tekad kita untuk mencari hanya yang halal saja untuk rizki kita. Di akhir tausiyahnya KH Hasyim kembali menegaskan : hati-hatilah dengan rejeki kita! Carilah hanya yang ‘halalan thoyyiban’ (halal lagi pula baik; artinya tak cukup sekedar halal sumbernya saja, namun harus baik pula cara mendapatkannya)

Untuk soal halalan thoyyiban ini saya jadi teringat dengan “pekerjaan” mengemis atau meminta-minta. Ada yang menyebut ini pekerjaan halal, lebih baik dari pada korupsi. Memang benar, meminta-minta adalah halal (sepanjang yang dimintai ikhlas, maka barang/uang yang diminta statusnya halal), namun itu bukan pekerjaan yang baik. Apalagi mengemis di jaman sekarang telah mengarah pada pekerjaan haram, sebab ada unsur penipuan (misalnya menipu dengan berpura-pura cacat atau sakit, berpura-pura menggelandang dengan tidur di gerobak padahal di kampung punya rumah komplit dengan perabotan dan barang elektronik).

Lagi pula, dalam Islam meminta-minta hanya dibolehkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum hari itu saja, tidak lebih. Jadi jika seseorang meminta makanan dan minuman untuk sekedar bertahan hidup, lalu ia sudah mendapatkannya dan tenaganya telah pulih kembali, maka tak boleh lagi ia meminta-minta. Nah, jaman sekarang, orang meminta-minta bukan sekedar mencukupi makan dan minum sekedarnya, namun juga untuk investasi beli rumah, tanah, sawah dan hewan ternak di kampung halamannya. Bahkan demi mengelabui calon pemberi, uang yang sudah diterima dari para pemberi sebelumnya disembunyikan agar baskom tempatnya menadah uang tetap terliha kosong. Ini juga termasuk menipu. Bisa jadi mengemis sekarang sudah menjurus pada pemaksaan. Misalnya tak mau beranjak pergi meski yang dimintai sudah memberikan isyarat menolak untuk memberi. Akhirnya orang terpaksa memberi dengan tujuan mengusir, namun hati tidak ikhlas. Maka pemberian itupun tak halal diterima, karena bisa dikatakan menodong halus. Begitulah di Indonesia, pekerjaan apapun sudah tak lagi mempedulikan prinsip halalan thoyyiban, sehingga tak heran jika karena ngawurnya manusia mencari rejeki, bencana lah yang dituainya.

2. BENCANA “ORANG KECIL”

Bencana bagi “orang kecil” adalah kemiskinan dan pemiskinan. KH Hasyim menyitir hadis yang mengatakan bahwa “kemiskinan mendekatkan seseorang dengan kekufuran”. Termasuk kekufuran untuk berjuang di jalan Allah. Orang kecil yang miskin ini akan lebih menderita lagi ketika terkena bencana alam. Selain kemiskinan ada pula ‘pemiskinan’. Pemiskinan terjadi karena sistem ekonomi yang salah, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, kapitalisme, sehingga mencari kerja sulit, sudah bekerja keras namun hasilnya tak juga mencukupi.

3. BENCANA “ORANG BESAR”

Adapun bencana bagi “orang besar” adalah keserakahan, baik keserakahan akan harta kekayaan maupun jabatan. Mereka berlomba menumpuk-numpuk harta benda, khawatir dengan rejeki duniawi. Sudah kaya raya namun masih saja merasa kurang banyak lagi. KH Hasyim menyitir Surat Attakatsur (Alhaakumuttakaatsur) : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”. Ini menunjukkan bahwa segala kemegahan duniawi itu memang melalaikan dan membuat manusia tak pernah puas, tak pernah “merasa” cukup, hingga ajal menjemput sekalipun.

Mereka terus dilanda ketakutan akan kekurangan, takut miskin. Karena takut miskin kita sibuk mencari harta. Karena takut miskin kita tak mau kehilangan jabatan dan kekuasaan. Karena takut miskin pula kita jadi enggan menolong dan bersedekah, takut kekayaan kita berkurang. Karena takut miskin, harkat kemanusiaan pun dilacurkan demi kekayaan duniawi. Padahal sejatinya harta untuk manusia, bukan manusia untuk harta. Seperti halnya membeli helm untuk perlengkapan naik motor, bukan menggadaikan motor demi membeli helm. Akhirnya, pakai helm tanpa mengendarai motor.

KH Hasyim mengibaratkan orang yang mengkoleksi mobil, misalnya sampai punya 35 buah mobil. Kalau yang dipakai hanya 1, maka sesungguhnya yang 34 lainnya justru menjadi beban. Nah, rejeki yang justru memberatkan kita ini disebut istidroj (mohon maaf jika salah menuliskan, karena sependengaran saya yang awam demikian lafadznya). Rejeki semacam ini tidak membawa barokah. Beda dengan rejeki yang dipakai untuk kemaslahatan banyak orang, tentu akan membawa barokah.

Kyai Hasyim menunjuk fenomena akhir-akhir ini : orang-orang besar dilanda ketakutan dan kekhawatiran. Mereka ‘antri’ di KPK untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperolehnya. Hanya orang-orang “besar” yang dipanggil kesana, apakah karena kita terlalu kecil untuk masuk ke sana atau karena kita belum punya kesempatan untuk jadi maling juga? Demikian tanya Kyai Hasyim yang disambut tawa jamaah. Belum tentu jika kita punya kesempatan memegang jabatan seperti mereka, kita mampu berperang dengan diri sendiri melawan godaan untuk tidak korupsi.

4. BENCANA PEMIKIRAN

Jenis bencana yang keempat adalah bencana yang menyerang “pemikiran”. Orang dengan mudah diubah/dihasut pemikirannya jika ia sedang terdesak oleh kemiskinan atau sedang mabuk oleh kekayaan.

Kita kerap menemui – atau bahkan pernah melakukan? – pembenaran untuk perbuatan tak patut dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, lalu membandingkannya dengan perbuatan buruk lainnya. Seolah-olah hendak membenarkan perbuatan buruk yang dianggap lebih mulia. Kemarin saya membaca di Kompas.com, seorang Bupati wanita yang mengatakan bahwa pelacur/pekerja seks hakikatnya adalah “pahlawan” keluarga karena ia mencari nafkah untuk keluarganya. Na’udzubillah..., seorang pemimpin daerah, yang ucapannya bisa jadi panutan bagi warganya dan jadi pembenar bagi kelompok yang diuntungkan, mempahlawankan pekerjaan yang jelas dihinakan dan diharamkan oleh agama apapun. Benar, seorang yang mengkomersialkan layanan seksualnya bekerja untuk menghidupi keluarga, tapi benarkah sudah tak ada jalan lain? Teman saya seorang psikolog pernah berkata : orang yang mudah putus asa, cenderung tak melihat jalan keluar lain, jika jalan keluar lain itu dirasanya sulit/tidak mudah. Sering pula kita mendengar opini bahwa pelacur itu jauh lebih mulia, karena pelakunya menjual kehormatannya sendiri, sementara koruptor mencuri uang rakyat. Nah, pemikiran semacam inilah cikal bakal dari permissivisme. Banyak hal yang jadi serba boleh di jaman sekarang, hanya dengan dalih “lebih baik begini (blablabla...) dari pada begitu (blebleble...)” atau dengan pembenar “melakukan ini kan tidak merugikan orang lain dari pada melakukan itu yang merepotkan orang lain”. Mencari pembenaran untuk sesuatu yang salah dengan mencoba menjadi pembanding yang dianggap lebih buruk, sesungguhnya sama buruknya.

Bencana pemikiran yang menimpa orang yang sedang dimabuk kekayaan atau kenikmatan duniawi tak jauh berbeda : penghalalan apa yang dilarang agama. Kyai Hasyim mencontohkan : pemikiran yang mengusung kebebasan melakukan pernikahan dengan sesama jenis dengan dalih HAM. Kebebasan melakukan apa saja – termasuk yang dilarang oleh ajaran agama – dengan dalih kebebasan berekspresi. Kyai Hasyim pun menyentil pemikiran yang mengajak menghapuskan kolom “agama” dalam KTP, dengan dalih pencantuman agama hanya membikin konflik antar agama. Padahal sejatinya tak ada satupun agama yang mengajarkan konflik, agama justru diciptakan untuk mengatur dan membawa rahmat bagi semesta alam.

Masuknya perang pemikiran (ghozwatul fikr) ini terjadi lewat derasnya arus informasi yang melanda lewat media apa saja. Lewat perang pemikiran orang diajak/dipengaruhi untuk “minder” dengan agamanya sendiri. Malu mengakui agamanya, sebab kerap diserang kanan-kiri lalu merasa terdesak karena tak bisa menjawab. Padahal sudah ada tuntunan Nabi agar menjawab dengan baik. Sesungguhnya kekurangpahaman akan agamanya sendiri itulah yang membuat minder.

=========================================

Sayang sekali tak semua point penting tausiyah KH Hasyim Muzadi yang hampir sejam itu terekam sepenuhnya dalam ingatan saya yang terbatas. Semoga dari sedikit yang saya ingat dan saya tuliskan – untuk dibagikan dan terutama untuk jadi pengingat diri sendiri – ini bisa bermanfaat. Bencana demi bencana mungkin masih akan terus kita hadapi. Tak ada satupun yang terjadi secara kebetulan. Semua terjadi atas ijin Allah, apakah itu karena murkaNYA, karena ujianNYA, atau karena hukuman Allah atas kelalaian manusia mengelola alam. Saya yakin, bukan kebetulan jika bencana demi bencana beruntun dan nyaris bersamaan ini terjadi justru di tahun politik. Bencana korupsi berskala besar pun makin kerap menghampiri kita sejak tahun lalu.

Saatnya kita semua berbenah. Inilah tahun dimana banyak orang dan kelompoknya ingin lebih dikenal ketimbang yang lain. Jangan sampai berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menolong sesama justru jadi ajang mempertontonkan “amal”, yang akhirnya bukan mencegah murka Allah, namun justru menambahnya murkaNYA. Semoga orang-orang besar dan calon orang besar yang sedang berebut kuasa tidak mabuk dan serakah hingga menghalalkan segala cara. Ya Tuhan kami, ampuni bangsa ini, seluruh rakyat dan pemimpinnya, jangan Engkau murkai kami karena telah kufur atas nikmatMU. Berilah bangsa kami kesempatan untuk berbenah dan bisa mensyukuri nikmatMU.

Sebuah lagu Ebiet G. Ade yang kerap diputar menjadi lagu pengiring disaat ada bencana, sepertinya tepat untuk mengingatkan kita : Untuk Kita Renungkan, judulnya.

“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin. Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat, hoo...ooo..., singkirkan debu yang masih melekat.”

Anugerah dan bencana adalah kehendakNYA, kita mesti tabah menjalani. Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah DIA di atas segalanya, hoo...ooo..., adalah dia di atas segalanya.”

“Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih. Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat agar kita mesti banyak berbenah, hoo...ooo..., agar kita mesti banyak berbenah. Memang bila kita kaji lebih jauh, dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista, hoo..ooo... Tuhan pasti telah memperhitungkan, amal dan dosa yang kita perbuat. Kemanakah lagi kita kan sembunyi, hanya kepadaNYA kita kembali. Tak ada yang bakal bisa menjawab, mari hanya runduk, sujud padaNYA.”

Kita mesti berjuang memerangi diri. Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini. Berusahalah agar DIA tersenyum, hoo...oo..., berusahalah agar DIA tersenyum.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun