Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Kompasiana Siapa yang Punya

1 Desember 2013   07:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 610 38

Sudah 5 hari 5 malam saya tak memposting satupun tulisan. Ada kerinduan untuk menulis. Ya, sebagian sahabat Kompasianers melakukan “mogok click” Kompasiana. Mogok login, tentu saja mogok menulis dan berkomentar, tapi entah kalau nyuri-nyuri baca sebagai non user, kan gak ada yang tau hehehe... Memang ada yang konsekwen, benar-benar gak nengok Kompasiana. Dampaknya : Kompasiana sepi pengunjung. Lapak-lapak para juragan yang biasanya selalu ramai pengunjung, akhir-akhir ini cuma kedatangan tamu tak sampai 100 click. Yang mampir meninggalkan jejak malah lebih sedikit lagi. Padahal, kata Pak Thamrin Dahlan, ruh dari menulis di Kompasiana adalah sharing and connecting. Ketika komentar tak lagi meramaikan tulisan, maka “separuh jiwaku pergi” keluh beliau.

Saya jadi ingat Mas Baskoro Endrawan pernah nulis status FB beberapa bulan lalu – waktu Kompasiana masih ‘sakit-sakitan’ dan sering tak bisa diakses – “Sebenarnya Kompasianer ini ‘penulis’ atau ‘penyaring’ (tukang sharing) sih? Kalau penulis, mestinya kan ya menulis saja, kapan pun dan dimana pun, tak peduli ada yang membaca atau tidak. Tapi kalo tukang sharing, ya memang butuh pembaca dan komentar” kurang lebih begitu isi status FB Mas Bas. Nah, ternyata, mayoritas penulis di Kompasiana memang “penyaring”, mereka butuh sharing dengan pembacanya. Tak sedikit Kompasianer yang punya blog pribadi, tapi lebih rajin posting di Kompasiana ketimbang di blognya sendiri. Karena di ‘rumah bersama’ ini lebih ramai ketimbang di ‘rumah’ sendiri. Kecuali yang rumahnya memang sudah kondang didatangi banyak ‘tamu’.

Saya sendiri terus terang gak punya rumah pribadi. Sudah keenakan nge-kost di rumah bersama. Pernah beberapa teman ngajak main-main ke blog keroyokan lain, buka lapak disana, siapa tahu ‘dagangan’ saya juga laku disana. Tapi sampai sekarang belum kepikiran untuk “mendua” apalagi pindah ke lain hati. Meski kadang suka “makan hati” kalau Kompasiana sedang error sistemnya, tapi tetap saja setia menanti, mirip tulisan di pantat bak truk. Jadi, kalau saya kadang suka bawel komplain, itu karena saya masih sayang sama Kompasiana, belum punya “selingkuhan” lain. Maklum, saya termasuk yang tak terlalu “socmed minded”. Selain FB dan Kompasiana, saya tak punya akun lain semacam twitter, instagram, Google+, dll.

Jadi, kalau Kompasiana mulai ditinggalkan para penghuninya meski untuk sementara, jelas saya ikutan males. Dan.., salah satu tanda-tanda Kompasiana sedang error, biasanya aktivitas ber-FB-ria rekan-rekan Kompasianers langsung meningkat tajam. Tak bisa “merusuh” di Kompasiana, ya merusuh di FB. Kasihan dong Kompasiana, jadi sepi pengunjung. Karena sepi pengunjung, penulis pun malas posting tulisan. Karena jumlah tulisan menurun, jumlah pembaca juga berkurang. Nah lho! Mbulet koyok susur, kata arek Suroboyo. Kalau traffic menurun, pemasang iklan pun jadi berpikir ulang untuk beriklan di Kompasiana. Kalau pemasang iklan mundur, pemasukan berkurang, jadi makin lambat perbaikan sistem di Kompasiana yang tentunya butuh dana. Waduh, makin ruwet lingkaran setannya. Sebab – akibatnya saling berkelindan.

Mogoknya beberapa Kompasianers dipicu ketidaknyamanan tampilan dan fitur Kompasiana versi mobile. Terutama fitur komentar yang kacau urutannya, sering gagal kirim, bahkan kadang tak bisa tampil di versi PC/laptop. Begitupun tulisan yang diposting dari versi mobile, sulit dikomentari dari laptop. Belum lagi tak adanya notifikasi/dashboard aktivitas untuk memantau pergerakan komentar dan tulisan teman. Kalau sudah begini, baru ketahuan kalau mayoritas user mengakses Kompasiana dari ponsel. Jadi, begitu versi mobile dirasa kurang nyaman, protes pun mengalir. Semoga saja Tim IT Kompasiana yang sedang bekerja keras, bisa segera memenuhi semua kebutuhan user, minimal bisa seperti versi mobile yang lama, syukur-syukur kalau bisa lebih baik, lebih nyaman, lebih praktis. Dan yang penting, aspirasi pemilik HP djadoel perlu juga didengar. Masa iya gara-gara Kompasiana mobile yang baru, terpaksa ganti HP.

Sebenarnya, kalau mendengar obrolan teman-teman, kekecewaan atas kurang nyamannya Kompasiana versi mobile ini hanyalah puncak dari ‘sakit hati’ dan ketidaknyamanan yang dialami Kompasianer saat puncak acara Kompasianival 2013, akhir pekan lalu. Harus jujur diakui, memang teknis pelaksanaannya mengalami kemunduran jauh dibanding Kompasianival 2012, terutama dari sisi sharing and connecting yang jadi motto Kompasiana. Tanpa bermaksud menyalahkan Admin – karena saya juga paham Admin sesungguhnya sama ‘menderita’nya dengan Kompasianer –harus jujur saya katakan banyak hal yang perlu dievaluasi oleh penyelenggara (mungkin Kompas.com?) agar Kompasianival 2014 nanti tak kembali mengecewakan. Oya, karena saya dapat “gelar” dalam ajang Kompasianival kemarin, tak berarti harus kehilangan kekritisan terhadap Kompasiana bukan? Justru kalau saya masih mau ‘meributkan’ Kompasiana, itu tandanya saya masih sayang dan betah tinggal di rumah bersama ini.

Dari beberapa tulisan tentang Kompasianival 2013 yang sempat saya baca, isinya senada : kritik dan kekecewaan atas teknis penyelenggaraan Kompasianival 2013. Menurut penilaian saya yang paling ‘mak-jleb’ mengena adalah tulisan Mas Baskoro Endrawan, judulnya : “Kompasianival 2013 dari Kacamata yang Benar-benar Baru”. Yang membuat tulisan Mas Bas itu istimewa di mata saya karena apa yang diuraikan pada paragraf ke-6 dilanjut paragraf 9 dan 10. Berikut copy paste-nya, yang saya cetak tebal itu intinya.

Secara pasar, saya kurang faham apa yang ingin diraih dengan penempatan acara di Mall Grand Indonesia yang luxurious itu. Kompasiana, bukanlah sebuah ‘rumah’ dimana para penghuninya mengaku berstrata atas dasar penilaian yang sayangnya, banyak berada di pasaran. Ini adalah rumah penuh ilmu, bukan barang bermerk seperti apa yang kebanyakan ‘dijual’ disana. Kekayaan sebetulnya adalah para Kompasianernya sendiri, dengan ‘gila’nya jutaan ide yang teramu didalam sebuah melting pot bernama Kompasiana. Buah pemikiran dan lain hal. Tak perlu harus melulu setuju, namun harus mengakui bahwa para Kompasianer adalah sekelompok orang yang haus akanfood for the soul, food for the mind and food for the heart. (alinea ke-6)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun