Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Subsidi Sering Salah Sasaran karena Terkikisnya Budaya Malu di Masyarakat Kita

18 Desember 2012   06:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:26 911 18
[caption id="attachment_222418" align="aligncenter" width="450" caption="Jokowi saat peluncuran Kartu Jakarta Sehat (foto : antarafoto.com)"][/caption]

Ketika akan meluncurkan program Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jokowi sempat berbicara di depan umum dan diliput media TV. Saat ditanya untuk siapa saja kartu itu, Jokowi menjawab “siapa saja boleh, yang mampu, yang kaya juga boleh, kalau tidak malu!”. Bagian terakhir kalimat itu ditekankan Jokowi sambil tersenyum yang disambut dengan derai tawa semua yang hadir.

MALU, apa definisi pastinya? Apa ukuran/kadarnya? Bukankah tak ada timbangan, meteran atau pengukur derajat malu? Juga tak ada pengkelasan malu berdasarkan strata sosial, ekonomi dan tingkat pendidikan. Kalau begitu, siapa/apa yang bisa mendefinisikan malu dan mengukurnya? Tak lain adalah hati nurani masing-masing. Karena itu ukuran kadar malu sangatlah relatif.

Malu tidak saja berarti karena ketahuan berbuat salah. Tidak sekedar karena aib yang coba ditutupi lalu dibuka di depan orang lain. Malu bahkan bisa bermula dari hal-hal kecil seperti penampilan diri. Sering kita dengar – atau bahkan mungkin pernah kita lakukan – membujuk anak balita yang belum selesai berpakaian, masih pakai celana dalam sudah lari hendak bermain bersama temannya. Atau anak balita yang susah dibujuk untuk berpakaian. Lalu orang tuanya berkata “Eh.., adik, ayo pakai baju dulu, malu lho dilihat temanmu!” Artinya, orang dewasa kerap mengajarkan anak balita rasa malu karena belum berpakaian pantas sudah hendak bermain ke luar rumah. Tapi kalau kita lihat belakangan ini, banyak wanita dewasa sengaja mempertontonkan bagian tubuhnya yang biasa tertutup (menurut norma yang berlaku setidaknya sampai tahun ’80-an), mereka tidak merasa malu tuh. Wanita dewasa ber-hot pants pendek sampai nyaris menyentuh batas selangkangan dan bagian atas hanya mengenakan kaos yang ukurannya 2 nomor lebih kecil dari ukuran tubuhnya dan modelnya serupa kaos singlet anak-anak, juga tidak malu. Nah, inilah bukti bahwa malu memang relatif, selalu bergeser dan berubah sesuai norma yang dianggap umum oleh sekelompok orang.

Karena itu, perilaku korupsi dan meminta “pelumas” mungkin dianggap tidak memalukan bagi sekelompok komunitas tertentu. Kalaupun kelak terbongkar, mereka tak merasa perlu kepala harus tertunduk. Mereka tetap bisa tengadah sambil tersenyum. Bagi sekelompok lainnya, mungkin perilaku berganti-ganti pasangan atau bersenggama dengan orang yang bukan apa-apanya, juga bukan sesuatu yang memalukan, bahkan layak diabadikan dalam video. Sekali lagi : karena malu bukanlah ukuran yang definitif. Karena malu “hakim”nya hanya hati nurani.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun