Pernah mendengar anak-anak kecil berdebat saling pamer kehebatan mainan mereka, saling membesar-besarkan apa yang mereka miliki? Biasanya, kalau sudah kepepet dan sudah tak ada lagi kehebatan yang akan ditonjolkan, ujungnya berakhir saling menjelekkan atau mencari-cari kelemahan temannya. Nah, seperti itulah situasi kompetisi antar partai politik di Indonesia, kurang 2 tahun sebelum menjelang Pemilu 2014.
Rilis peringkat kepala daerah yang terlibat korupsi versi Dipo Alam, langsung mengundang kontroversi dan protes keras. Terutama tentu saja dari politisi Partai Golkar dan PDIP, bahkan mengundang Megawati ikut angkat bicara. Dalam daftar itu, bisa dibilang semua parpol yang saat ini punya wakil di parlemen, memiliki kader kepala daerah yang terlibat korupsi. Artinya : tanpa kecuali, semua parpol kadernya ada yang korupsi.
Lalu, apa maksud dan tujuan Dipo Alam? Pasti ada maksud yang akan disampaikan dan ada tujuan yang ingin dicapai. Tampaknya, Dipo Alam ingin menyuguhkan fakta berupa data kepada publik bahwa Partai Demokrat ternyata bukan “juara” korupsi, sebab ada 2 parpol lain yang peringkatnya di atas PD. Fakta lain : ternyata semua parpol sama saja, sama-sama punya kader yang korupsi. Bahkan partai kecil, parpol baru, yang selama ini kritis dan berada di luar koalisi – yaitu Hanura – ternyata juga ada dalam daftar itu.
Apa tujuannya? Tindakan Dipo ini sangatlah kental nuansa politisnya. Sekitar 1,5 tahun lagi bangsa ini akan menggelar hajatan politik 5 tahunan : pemilu legislatif lalu disusul Pilpres. Seperti ikita tahu, selama 2 tahun belakangan ini PD jadi sasaran hujatan publik sejak terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan Bendahara Umumnya, Nazaruddin, yang kemudian menyeret sejumlah petinggi PD lainnya. Jadilah PD bulan-bulanan seolah hanya Demokrat-lah partai terkorup di Indonesia. Nah, dengan rilis daftar peringkat korupsi ini, mungkin Dipo berharap publik jadi tahu bahwa PD bukan yang terkorup dan bukan satu-satunya parpol yang korup. Semua punya kader korup. Dengan kata lain : TIJI TIBEH, alias “mati siji, mati kabeh” (mati satu mati semua).
Lalu, apakah sudah tak ada cara lain bagi Demokrat untuk mendongkrak citranya? Rasanya memang sulit untuk melakukan pencitraan, sebab publik sekarang sudah makin muak dengan segala bentuk pencitraan. Bahkan semua tindakan baik para politisi dan keputusan populis dari parpol, selalu dicurigai sebagai bentuk pencitraan semata. Karena itu, tak ada cara lain : kalau menunjukkan kebaikan diri/ sisi positif sudah tak bisa lagi, maka beberkan saja keburukan/ sisi negatif lawan!
Masalahnya : efektifkah cara yang ditempuh Dipo? Kalau kita bermaksud ingin ikut kontes kecantikan, tapi ternyata kita tak cukup mampu memoles penampilan diri agar bisa tampil cantik, apakah membuka bisul dan borok kontestan lain otomatis membuat kita jadi tampak cantik? Apakah masih membanggakan jika kita jadi yang tercantik dari yang borokan?
Alih-alih membuat publik jadi simpati kembali pada PD, sebaliknya publik justru makin antipati dengan partai politik. Bagus juga sebenarnya kalau rilis semacam ini makin sering dipaparkan kepada publik. Bila perlu, bukan hanya jumlah pejabat kepala daerah dari parpol, tapi juga jumlah anggota DPR RI/ DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota yang terindikasi korupsi sepanjang 2004 – 2012, juga diumumkan kepada publik. Jangan lupa pula rilis tentang pejabat eksekutif sampai setingkat Menteri Kabinet, yang berasal dari unsur parpol, yang terindikasi kasus korupsi.
Niscaya akan tampak nyata bahwa semua parpol yang mempunyai wakil di parlemen, tak luput dari keterlibatannya dalam tindakan korupsi. Sebab korupsi di lembaga parlemen biasanya adalah korupsi berkolaborasi (maaf, saya kurang suka memakai kata “berjamaah”, sebab konotasi “jamaah” itu positif nilainya, untuk konteks peribadatan). Begitu pula kader parpol yang di-klaim sebagai kader terbaik dan diajukan menjadi Menteri, ternyata setelah menjabat menjadikan departemen yang dipimpinnya sebagai sarang korupsi.
Padahal, sesungguhnya ada cara lain yang bisa dilakukan parpol untuk memperbaiki citranya. Yaitu secara serius dan sungguh-sungguh melakukan pembersihan internal partainya tanpa menunggu proses hukum. Lihatlah di Jepang atai di Eropa. Ketika seorang politisi namanya disebut terindikasi kasus korupsi, tanpa menunggu proses hukum yang akan memakan waktu lama, atas kemauan sendiri ia akan mengumumkan pengunduran dirinya untuk berkonsentrasi menjalani pemeriksaan atas dirinya, sekaligus untuk menjaga obyektifitas pemeriksaan, agar terlepas dari tekanan poltis. Tapi, mampukah – atau lebih tepatnya : maukah – partai politik meinta kadernya mundur atau bahkan mencopot dengan paksa jika mereka diisukan terlibat korupsi? Lihat saja Menteri-Menteri yang diissukan terlibat korupsi atau suap, pasti kinerjanya memimpin Departemen tak maksimal, banyak masalah. Tapi parpol yang mengajukannya menjadi Menteri, seolah menutup mata atas fakta ini.
Jadi, tanpaknya ini memang strategi politik yang sudah kepepet. Ketika parpol tak lagi mampu mendongkrak citranya karena tak ada lagi kehebatan yang bisa dipamerkan kepada rakyat, maka satu-satunya cara adalah membuka kebobrokan lawan. “Lihatlah, kami bukan yang terburuk. Ada yang lebih buruk dari kami. Yang lain juga sama buruknya kok, tanpa kecuali!”. Nah, kalau sudah begini, apa rakyat masih bisa mempercayakan mandatnya pada parpol? Mari kita lihat score selanjutnya dari kontestasi korupsi antar parpol ini dalam 1,5 tahun ke depan.
Kalau petanya diperluas sampai ke parlemen dari pusat sampai daerah dan ke pejabat eksekutif sampai setingkat Menteri, kira-kira siapa yang bakal memegang rekor parpol terkorup? Lalu, masih adakah parpol yang meng-klaim dirinya paling bersih dan bebas korupsi? Sesungguhnya parpol-parpol itu bukan sedang berkontestasi memperjuangkan kesejahteraan rakyat pemilihnya, tapi mereka sedang berkompetisi banyak-banyakan membobol uang negara dan memboyongnya ke kantong pribadi dan kelompoknya. Selamat berkontestasi dalam berkorupsi, rakyat sudah makin jeli!