Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sebenarnya KPK Tak Perlu Ada, Seandainya ...

7 Agustus 2012   05:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:09 700 4

KPK adalah bayi yang lahir di tengah keputusasaan bangsa Indonesia menghadapi fenomena korupsi yang makin menggurita dan mencengkeram semua lini kehidupan. Pelakunya mulai dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Pengusaha swasta berkantong tebal yang punya kepentingan memuluskan usahanya berkelindan dengan penguasa yang punya kewenangan meloloskan perijinan. Mereka yang terjerat kasus hukum, asal punya segepok uang bisa membeli putusan dan memainkan hukum dengan aparat penegak hukum. Maka, lengkap sudah runtuhnya ketidakpercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum yang ada.

Maka dibuatlah terobosan baru dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi kewenangan lebih besar untuk menangani pemberantasan korupsi, sebab kejahatan yang akan diberantas juga bukanlah kejahatan biasa, melainkan extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa! Dalam Undang-Undang tentang KPK – UU no. 30 th. 2002 – jelas disebutkan konsideran ini secara tersurat pada klausul “Menimbang” pada pembukaan Undang-Undang tersebut. Disitu disebutkan :

a.bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;

b.bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

Nah, lembaga yang dimaksud adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Diakui atau tidak, tingkat kepercayaan masyarakat pada kedua lembaga itu memang sudah di titik nadir, dengan banyaknya praktik suap yang melilit oknum-oknum dari kedua instansi tersebut. Bahkan sampai ada istilah “markus” segala, alias makelar kasus, sebab kondisi seperti ini sudah lazim terjadi sehari-hari.

Tentu kita semua belum lupa meruaknya kasus ini ketika Anggodo Widjojo dianggap menjadi markus bagi perkara saudaranya Anggoro yang buron ke Singapura. Dalam sidang yang digelar MK, publik dibuat tercengang bagaimana seorang Anggodo bisa dengan leluasa menelpon petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan, bebas memanggil namanya seolah teman akrab, bahkan memberikan kata sandi “Truno 3” yang diduga dialamatkan kepada Kabareskrim Polri saat itu (Susno Duadji) yang disinyalir Truno 3 mengacu pada Mabes Polri yang berkantor di jalan Trunojoyo, sedangkan posisi Kabareskrim dianggap posisi nomor 3 setelah Kapolri dan Wakapolri.

Seandainya Polri dan Kejaksaan sudah dianggap bersih dari oknum-oknum yang “bermain-main” dengan hukum, serta dianggap mampu menindak tegas perkara korupsi, tentunya KPK tak perlu ada. Tapi justru fakta itulah yang melatarbelakangi lahirnya KPK. Setelah kelahirannya, KPK mulai menunjukkan prestasinya menyeret para koruptor ke meja hijau. Karena KPK tak mengenal istilah SP3, maka KPK akan melakukan penetapan tersangka korupsi jika telah mengantongi bukti permulaan yang cukup. Tak pelak lagi, sepak terjang KPK yang menangkapi pelaku korupsi tentu membuat gerah para pelaku korupsi dan koleganya.

Banyak koruptor yang ditangkap KPK berasal dari anggota DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, Walikota dan Jaksa. Ada Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan dengan sekardus uang usai keluar dari rumah Ayin. Lalu ada Jaksa Dwi dan Cyrrus Sinaga, serta beberapa Jaksa lainnya. Ada pula Hakim yang tertangkap tangan menerima suap dari kurator. Semua pejabat itu berhasil ditangani KPK relatif tanpa ada perlawanan sistematis dari institusi asalnya. Kejaksaan tidak melakukan perlawanan berarti ketika Jaksa Urip ditangkap KPK, begitupun ketika menyusul jaksa-jaksa lainnya dalam kasus berbeda.

Lalu bagaimana dengan instansi penegak hukum lainnya, yaitu Kepolisian? Selama ini Kepolisian relatif masih lolos dari tangan KPK. Semua tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada Polisi, ditangani sendiri oleh Polri. Akibatnya, nyaris semuanya berlalu tanpa keputusan hukum yang jelas. Ketika majalah Tempo menguak sejumlah rekening gendut para Jendral Polri tahun 2010, Polri melakukan penyelidikan internal, hasilnya : semua rekening itu dinyatakan tak bermasalah! Perolehannya sah, hasil dari berbisnis atau hibah dari  keluarganya. Tak satupun dari rekening itu yang dianggap mencurigakan.

Begitupun ketika ada kabar PT. Freeport menggelontorkan dana sejumlah Rp. 14 juta USD kepada Polri yang dikucurkan setiap 4 bulan sekali untuk dana pengamanan Freeport, yang mana hanya 7,55% saja yang disalurkan kepada 635 personil yang bertugas di lapangan dan diganti setiap 4 bulan sekali, Polri juga tak melakukan tindakan apapun untuk melakukan transparansi atas penggunaan dana dari Freeport tersebut. Padahal, seperti diakui Staf Ahli Kapolri – Kastorius Sinaga – dalam acara dialog di Metro TV, setiap personil hanya mendapatkan Rp. 1.250.000,00 saja perbulan. Artinya hanya sekitar 1 juta USD saja dana Freeport yang sampai kepada prajurit polisi yang benar-benar berkeringat dan mempertaruhkan nyawanya menjaga keamanan Freeport. Selebihnya – sekitar 13 juta USD atau 92,45% – entah mengalir kemana tak pernah dijelaskan. (Lihat penjabaran hitung-hitungannya di SINI ). Dan semua itu dalam pandangan Polri hanya dianggap sebagai pelanggaran etika dan tak pernah ada upaya untuk menyidik apakah tak ada indikasi korupsi.

Maka, tidaklah heran ketika majalah Tempo kembali memuat berita tentang Simsalabim Simulator SIM, yang mencium kuat aroma korupsi dan suap dalam pengadaan simulator kemudi, lalu KPK bersegera menyelidiki dan menyidik kasus ini, pihak Polri seperti kebakaran jenggot. Zona aman yang selama ini mereka nikmati terusik. Alhasil, penggeledahan barang bukti pun dicoba dihentikan. Dengan alasan KPK mengambil juga barang tak menurut Polisi tak ada kaitannya dengan kasus itu. Alasan lainnya : barang bukti itu akan digunakan Polri untuk kepnetingan penyidikan kasus yang sama. Padahal faktanya : semua dokumen dan barang bukti tetap berada di kantor Korlantas Polri! Tidak satupun yang diambil/ dibawa ke kantor Bareskrim, jika benar Polri telah menyidik kasus itu dan menggunakan dokumen itu sebagai barang bukti. Apakah ini tidak aneh?! Barang bukti tetap dibiarkan tergeletak di kantor dimana para terduga pelaku berkantor. Bukankah ini rentan sekali untuk dilakukan penghilangan/ manipulasi barang bukti?

Itulah bukti resistensi Polri terhadap upaya pembersihan instansinya dari dugaan tipikor. Jika benar Polri mau mereformasi dirinya, ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka benar-benar ingin bersih-bersih, tentunya Polri akan bersikap seperti Kejaksaan : membiarkan oknum aparatnya yang diduga terlibat untuk diperiksa KPK. Bukan seperti sekarang, mendadak pada hari dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan, langsung ditetapkan 5 tersangka dan hanya dalam tempo sehari setelah itu semuanya di tahan Polri, lalu keluar statemen bahwa Polri tak akan menyerahkan tahanannya kepada KPK.

Berbagai argumen hukum dilontarkan. Adu kuat dasar hukum untuk menjatuhkan lawan, pakar hukum diundang untuk mencari pembenaran. Masyarakat diberi tontonan membingungkan. Padahal, apapun adu pendapat yang disuguhkan, suara publik yang diutarakan melalui twitter yang ditayangkan sebuah stasiun TV, boleh dibilang 90%-nya menyarankan agar Polri legowo menyerahkan kasus ini agar disidik KPK. Yang lebih tegas lagi menyatakan mereka tak percaya jika kasus yang melibatkan Jendral berbintang 1 dan 2 ini disidik internal Polri, sebab akan muncul conflict of interest dan kemungkinan melindungi pelaku karena bukan tidak mungkin pelaku bukanlah tunggal namun berjamaah, pejabat jajaran di atasnya atau koleganya bisa saja ikut kecipratan. Tak perlu diragukan lagi bagaimana solidaritas di tubuh Polri. Bahkan ketika terjadi gesekan horisontal antara oknum polisi di level bawah dengan prajurit TNI, solidaritas membabi buta Polisi ini sampai menimbulkan bentrok yang memalukan/

Di sebuah stasiun TV semalam, pengacara Irjen Pol. Djoko Susilo berang karena KPK dianggap mengurusi harta kekayaan orang. Maklum, harta kekayaan dan asset kliennya kini jadi pembicaraan publik, karena diduga memiliki sejumlah rumah mewah yang nilainya milyaran, tak sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan. Inilah indikasi betapa mereka sama sekali tak ingin dicurigai. Padahal, korupsi itu katanya ibarat makan cabe : tak bisa diketahui dari mana pedasnya, hanya bisa dirasakan. Jadi wajar jika ada kecurigaan pada aparat negara yang gajinya sudah tertentu, tapi ternyata memiliki sejumlah asset mewah yang nilainya dirasa tak wajar dibandingkan dengan gajinya. Bukankah kecurigaan atas rekening gendut itu juga sama logikanya?

KPK memang tak perlu mengurusi harta kekayaan pejabat negara. KPK memang tak perlu mau tahu bisnis keluarga para penyelenggara negara. Bahkan KPK tak perlu ada! Tapi semua itu tentu dengan syarat, seandainya semua pejabat negara di republik ini jujur, bersih, tak mau menerima apa yang bukan haknya, kekayaannya wajar hanya didapat dari gaji yang menjadi haknya. Tak perlu dibuat lembaga pemberantas korupsi, kalau saja tak ada oknum jaksa dan polisi yang nakal. Masalahnya, sudahkan para pejabat negara ini jujur dan bersih? Sudahkah Jaksa dan Polisi bersih? Kalau belum, tak salah jika KPK tetap diperlukan keberadaannya dan dikuatkan, bukan dilemahkan!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun