Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Antrian Panjang Menuju Merak : Sudah Saatnya Merealisasikan Jembatan Selat Sunda

8 Juli 2012   14:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10 1676 20

Anda yang tinggal jauh dari pelabuhan penyeberangan Merak, mungkin setiap hari hanya mendengar reportasenya saja dari tayangan berita di TV. Hampir di setiap acara berita atau running text sepekan terakhir ini selalu ada update kondisi terkini antrian truk menuju Pelabuhan Merak.  1 – 2 hari belakangan ini, kabarnya panjang antrian sudah mencapai 18 – 19 km. Sebuah stasiun TV swasta bahkan melakukan pemantauan melalui udara.

Saya yang tinggal di kota Cilegon dan perusahaan tempat kerja saya berlokasi di Jalan Raya Merak km 115, setidaknya ikut merasakan kondisi itu. Kebetulan saya tinggal di komplek Palm Hills Estate yang terletak sekitar 200 meter dari pintu keluar toll Cilegon Barat dan dari jembatan yang berada persis di pintu gerbang masuk ke komplek Palm Hills, saya bisa melihat antrian truk, tanki, container, trailer yang seolah tak bergerak selama berhari-hari. Sebenarnya kondisi seperti ini sudah berlangsung sekitar 1,5 tahun dan sudah menimbulkan “korban” dicopotnya kepala ASDP Merak tahun lalu, karena dianggap gagal mengatasi antrian ini.

Memang kondisi antri dan macet seperti ini tidak berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Terkadang sempat normal selama beberapa minggu bahkan bulan. Tapi bila kondisi cuaca tak bersahabat, angin kencang dan ombak tinggi sehingga Syahbandar tak mengijinkan kapal berangkat, maka bisa dipastikan truk yang akan menyeberang ke Lampung untuk berbagai tujuan di pulau Sumatra akan menumpuk di pelabuhan sampai keluar dan akibatnya antrian panjang sampai ke badan jalan toll. Antrian yang sudah terjadi hampir sebulan ini, bukan karena faktor cuaca tapi karena minimnya kapal yang dioperasikan.

Kemacetan antrian itu kian parah dalam sepekan terakhir kemarin. Kabarnya, sejak Serang Barat bahkan sudah disiagakan jadi tempat penampungan truk yang menumpuk. Bahkan 4 – 5 hari ini, truk, bis antar kota dan segala macam kendaraan ukuran besar yang bertujuan ke Cilegon Barat dan tidak untuk menyeberang ke Merak, sudah dilarang keluar melalui pintu toll Cilegon Barat. Kendaraan itu keluar di pintu toll Cilegon Timur, lalu dialihkan lewat tengah kota, membelah keramaian dan kepadatan lalu lintas kota Cilegon, menuju sentra-sentra industri yang hampir semuanya berlokasi di Cilegon Barat sampai Merak. Bisa dibayangkan betapa crowded-nya kondisi lalin di kota Cilegon. Bahkan pada jam-jam sibuk – pagi dan sore sampai petang hari – jalanan macet mirip di Jakarta saja : padat merayap!

Sebuah TV berita menayangkan running text tentang kecaman seorang anggota DPR agar Menteri Perhubungan mundur jika tak mampu mengatasi kemacetan di Merak. Petang ini, Metro TV menggelar dialog dengan mengundang para pejabat di Kementrian Perhubungan, mulai Menteri, Wamen sampai Dirjen, semuanya menyatakan berhalangan hadir. Semoga saja ketidakhadiran mereka karena sedang sibuk memikirkan solusi atas kemacetan panjang nyaris tak berujuang di Merak. Sebab, kemacetan yang kian hari kian panjang akibat kurangnya jumlah kapal roro yang dioperasikan dalam penyeberangan Merak – Bakauheni tak lagi bisa diselesaikan hanya dengan pemikiran business as usual. Perlu adanya out of the box thinking.  Menambah jumlah kapal roro hanya 2 buah secara temporer, tak akan berpengaruh banyak. Sebab jumlah kapal yang semula dioperasikan 30-an buah kini hanya tinggal 22 – 24 saja.

Yang paling dirugikan adalah para sopir truk. Jika para pelaku bisnis transportasi dan jasa logistik dan para konsumen yang merasa dirugikan karena terlambatnya pengiriman barang dan jasa, niscaya kerugian itu masih bisa dirupiahkan. Tapi bagi para sopir, kerugian itu lahir, batin dan materiil. Betapa tidak : uang saku dan uang makan mereka habis dijalan hanya untuk menutupi kebutuhan makan mereka selama berhari-hari menginap di jalanan. Jangankan membawa uang tersisa untuk keluarga di rumah, bahkan untuk membayar tiket toll pun terkadang sudah ikut ludes. Itu baru soal uang, belum lagi soal kebutuhan fisik lainnya : MCK, misalnya. Secara psikis, mereka yang tersandera kemacetan tanpa tahu kapan akan berakhir, dilanda kejenuhan luar biasa, sehingga sedikit saja ada hal yang menyulut kemarahan mereka, bisa berdampak besar.

Di penghujung bulan Mei lalu sempat terjadi kerusuhan akibat amuk ratusan sopit truk dan kenek. Pasalnya : mereka yang sudah antri berhari-hari marah karena ada sejumlah truk yang bisa langsung masuk ke dermaga tanpa harus antri, karena melalui jalur khusus yang disediakan oleh oknum petugas ASDP. Tentu saja dengan menyetorkan sejumlah uang tak resmi dengan besaran tertentu, alias pungli. Perlakuan istimewa dan pungli inilah yang memicu ledakan kemarahan para sopir dan kenek yang akhirnya merusak 8 gate pintu masuk ke dermaga, menghancurkan kantor PT. ASDP, sebuah mobil derek dibakar, dll.

Meski tak membenarkan aksi anarkhis itu, tapi saya bisa berempati pada emosi mereka. Saya yang setiap hari melihat sendiri antrian itu, miris melihat para sopir dan kenek itumenghabiskan hari-harinya. Sekurang 2x dalam sehari – saat berangkat dan pulang kantor – saya melewati jembatan Palm Hills yang melintang di atas jalan toll Cilegon Barat. Belum lagi saat jogging pagi hari. Kalau weekend, sehari bisa 4 – 6 kali saya melintasinya. Para sopir itu hanya bisa duduk bersimpuh atau tiduran di jalanan, jika bosan duduk di dalam truk mereka. Karena itu jalan toll, bukan rest area, maka tak tersedia toilet, musholla dan kantin.

Hari Kamis pagi, 3 hari lalu, saya mengajak ponakan kecil saya yang berlibur di Cilegon, untuk memotret kemacetan itu. Si kecil Hana, umur 7 tahun, sempat berteriak menunjuk “ada orang yang kencing disitu!” teriaknya.Saya memberinya pengertian bahwa para sopir terpaksa melakukannya karena tak ada toilet. Kalau sekedar buang air seni, mungkin mereka bisa melakukan seenaknya di dinding tepi jalan toll. Tapi bagaimana untuk buang air besar? Bukankah pengeluaran kotoran itu kebutuhan manusiawi yang tiap hari harus dilakukan manusia normal yang sehat?

Jumat siang, karena ada keperluan saya pulang sebentar saat jam istirahat sholat Jumat. Saya lihat para sopir itu tetap dengan aktivitasnya lesehan di jalan toll. Jangankan sholat Jumat, sholat 5 waktu saja tak ada tempat. Setiap meter jalan toll telah dipenuhi truk dan kotor penuh sampah dan najis. Penjaja makanan dan minuman dadakan yang memanfaatkan antrian untuk mengais rejeki nomplok, tak pernah peduli kemana kertas pembungkus makanan atau gelas plastik sisa kopi dibuang. Jalan toll itu sudah berubah menjadi toilet, tempat sampah dan sekaligus tempat istirahat.

Warga sekitar memang memanfaatkan kondisi seperti itu untuk berdagang. Sayangnya, tak semuanya berjualan dengan jujur, Menurut Bang Amin – tukang sayur langganan Ibu saya yang  terbiasa berjualan makanan sehabis menjajakan sayuran – terkadang para pedagang makanan dadakan itu membohongi para sopir dengan mengatakan nasi bungkus yang dijualnya berlauk rendang, makanya dijual dengan harga 10 – 12 ribu rupiah. Setelah dibuka, ternyata hanya ikan laut secuil. Padahal uang para sopir itu sudah menipis. Katanya, tak jarang mereka terpaksa menjual HP-nya dengan harga seadanya, hanya demi membeli makanan dan minuman.

Kebetulan saya pernah bekerja di perusahaan jasa logistik, jadi saya tahu kurang lebih seperti apa perhitungan uang jalan operasional (UJO) yang diterima para sopir. Umumnya mereka sudah dibekali dengan uang makan yang cukup untuk durasi perjalanan normal. Sedangkan UJO sudah mencakup uang solar/BBM, uang tiket toll dan penyeberangan serta uang resmi lainnya, plus uang cadangan untuk keperluan tak terduga. Jika perjalanan lancar dan arus lalin normal, para sopir itu bisa membawa kelebihan uang makan dan UJO, bahkan berbagi dengan kenek. Umumnya para sopir itu bekerja dengan sistem borongan. Jadi mereka mendapat komisi jika ada muatan yang mereka angkut. Dengan begitu, mereka tak punya “gaji pokok” yang bisa tetap diterima.

Dalam kasus kemacetan antrian menuju Merak, bukan hanya uang makan yang habis, UJO pun ludes. Pernah ditayangkan di TV, bagaimana mereka terpaksa “membayar” tiket masuk toll dengan KTP atau SIM mereka, ketika berhasil keluar dari antrian. Untung saja petugas pintu toll pengertian, sehingga membiarkan mereka lewat meski tanpa membayar. Jika anda menjadi mereka : jam kerja terbuang sisa-sia berhari-hari hanya untuk antri, badan lelah, psikis jenuh, ancaman teguran dari pelanggan, uang saku habis dan pulang ke rumah tanpa bisa memberikan uang pada anak-istri, tidakkah anda marah pada keadaan? Itu sebabnya saya tidak bisa menyalahkan para sopir ketika mereka mengamuk akibat hal-hal kecil yang memicu kemarahan mereka.

Saat bersama keponakan memotret antrian truk, mata si kecil langsung tertuju pada sebuah truk yang berisi sapi. Saya hitung ada 12 ekor sapi yang berdiri berdesakan di atas bak truk tanpa penutup terpal yang memadai. Truk itu hanya diberi selembar banner bekas yang lebarnya tak sampai semeter. Tentu banner itu tak mampu menutupi sapi-sapi malang itu dari panas terik dan hujan. Kebetulan Kamis dan Jumat siang di Cilegon turun hujan. Saya lihat hanya ada 3 karung palstik ukuran kecil berisi rumput yang sudah mulai mengering. Hana kecil berteriak-teriak penuh rasa kasihan melihat sapi-sapi itu tampak kurus dan rumputnya tinggal sedikit. Kalau sopir masih bisa melemaskan kaki dengan turun ke badan jalan toll, sapi-sapi itu hanya bisa berdiri berdesakan entah sampai kapan. Bisa jadi, sapi-sapi itu lebih stress ketimbang manusia.

Ponakan saya juga sempat berteriak kaget waktu ia melihat ada anak kecil di kepala salah satu truk. Dan benar saja, saya melihat ada kepala 2 orang gadis cilik menyembul dari kepala truk yang dimaksud. Mereka saling bercanda. Mungkin anak-anak itu keluarga sopir yang nebeng hendak menyeberang ke Lampung, entahlah. Yang jelas, saya makin miris melihat ada anak di bawah umur yang harus ikut tersiksa karena antrian itu.

Tampaknya, sudah saatnya merealisasikan Jembatan Selat Sunda, yang ide awalnya sudah ada sejak jaman Presiden Soekarno. Prof. Ir. Sedyatmo pada tahun ’65 sudah ditugaskan untuk membuat rancangannya. Gambar rancangan itu sudah sampai di meja Presiden Soeharto pada tahun 1986 dan diberi nama Jembatan Trinusa Bimasakti. Jembatan selebar 60 meter dengan panjang 29 km itu akan membentang melalui 3 pulau.

Direncanakan jembatan itu mampu menyeberangkan 18 ribu kendaraan dan 131 orang setiap hari. Terdiri dari 3 jalur : jalur kendaraan bermotor termasuk motor roda dua, jalur pejalan kaki dan di tengahnya ada jalur KA double track. Kalau saja jembatan ini terealisir, tentu akan hebat sekali. Dananya pun pasti tak main-main. Semoga saja bisa segera terwujud dan bebas dari aroma korupsi. Sebab, tak terbayangkan bahaya yang mengancam jika sebuah jembatan yang membentang Selat Sunda dananya dikorupsi.

Apapun solusinya, semoga saja pihak yang berwenang dan bertanggungjawab mencari solusi atas permasalahan macetnya penyeberangan Merak – Bakauheni, bisa segera mampu mencari jalan keluar yang komprehensif dan tuntas agar derita para sopir tak berkepanjangan. Sebab, tahun lalu pejabat terkait sudah sesumbar : jika tahun depan masih macet lagi, potong leher saya! Kini, tahun berganti tapi kemacetan justru kian panjang. Jadi, leher siapa yang bakal dipotong? Ah.., itu sih sama saja dengan janji siap digantung di Monas.

-----------------------------------------------------------------------------

Foto-foto dalam tulisan ini dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam event Weekly Photo Challenge (WPC) – 12 yang mengusung thema STREET PHOTOGRAPHY. Karena saya anggap ini benar-benar "street" foto dan sebagian foto-foto ini bisa masuk kategori foto jurnalistik – karena fotonya mengandung unsur berita – maka sekalian saja saya buat menjadi tulisan reportase sekaligus opini. Silakan simak foto karya peserta WPC – 12 lainnya di link tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun