Jepang adalah negara yang dulu paling tidak ingin saya kunjungi, dengan berbagai alasan. Kabar di media massa yang katanya negeri itu sangat nasionalis sehingga semua diterjemahkan dalam bahasa mereka, plus gambaran orang-orangnya yang sangat efisien, cepat, sehingga tampak seperti robot-robot berjalan, membuat saya kurang happy untuk tinggal di lingkungan seperti itu. Jadi, kalau seandainya ada pilihan untuk belajar di Negeri Sakura, tampaknya saya kurang tertarik. Tapi apa daya, seringkali dalam hidup kita dihadapkan pada kondisi yang tak kita harapkan.
Lewat suatu proses yang sangat singkat dan tak pernah direncanakan sebelumnya, saya “terpaksa” mengikuti pelatihan dan kerja praktek/magang di Jepang. Perusahaan tempat saya bekerja di Surabaya menerima formulir pendaftaran dan segepok dokumen Terms and Conditions tepat pada hari terakhir formulir itu harus diterima panitia seleksi di Jakarta. Setelah berunding sebentar, Direktur lalu menunjuk saya untuk mewakili Perusahaan dan saya tak sempat berpikir banyak bahkan dokumen T & C baru sempat saya pelajari di rumah malam harinya.
Program training itu diadakan oleh Keidanren – organisasi semacam KADIN di Indonesia – yang telah bergabung dengan organisasi pemekerja. Partnernya di Indonesia adalah APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Keidanren setiap tahun menyediakan beasiswa bagi karyawan dari negara-negara Asia. Penyelenggaraan training itu sendiri dilaksanakan oleh NICC – Nippon Keidanren for International Cooperation Center – sebagai Divisi Pelatihan dalam organisasi Keidanren. Karyawan yang dikirim adalah karyawan dari perusahaan-perusahaan anggota organisasi pemekerja di masing-masing negara. Tiap negara diberi kuota jumlah orang yang dikirim. Untuk tahun itu, kuota Indonesia hanya 2 orang saja.
Singkat cerita, setelah lolos seleksi adminisratif – yang meliputi hasil medical check up komplit serta membuat proposal tentang apa objective training yang saya inginkan dan bentuk pemagangan macam apa yang saya harapkan, dalam bahasa Inggris – saya mendapat panggilan untuk ikut tes di Jakarta, bersama 5 orang lainnya dari berbagai daerah. Di kantor Apindo Pusat itu saya menjalani serangkaian tes psikologi, menulis artikel dan diskusi dalam bahasa Inggris serta wawancara. Seluruh hasil tes setelah kemudian dikirim ke Jepang. Hampir 3 minggu kemudian, saya mendapat telepon dari Jepang, mengabarkan saya dinyatakan lolos seleksi dan NICC akan segera mengirim sejumlah dokumen yang harus saya isi untuk pengurusan CE (Certificate of Eligibility) sebagai syarat memperoleh visa.
2 hari kemudian sebuah paket kiriman berisi sejumlah dokumen, buku-buku pelajaran menulis huruf Jepang dilengkapi CD, saya terima. Dalamjangka waktu 8 minggu saya diminta untuk mengikuti kursus bahasa Jepang serta mengenal huruf Hiragana dan Katakana, baik membaca maupun menulis. Saya mengambil kursus privat di sebuah lembaga yang direkomendasi Konjeng Jepang di Surabaya, 2x seminggu : 1x di hari kerja (malam sepulang kantor) dan 1x di hari Sabtu siang, dengan guru 1 orang Indonesa dan seorang lagi native speaker yang akan membimbing saya 2 minggu sebelum keberangkatan.
MENGATASI KESULITAN MENCARI MAKANAN HALAL SEKALIGUS BERHEMAT
Tiba saat keberangkatan, beberapa hari sebelumnya kami mendapat briefing orientasi dari senior yang pernah mengikuti training itu beberapa tahun sebelumnya. Intinya, kami ditekankan untuk bisa serius mengikuti disiplin waktu dan menepati janji ala orang Jepang. Sebab jika tidak, akan berdampak serius bukan hanya kepada pihak lain, tapi juga pada diri sendiri. Juga disiplin dalam berperilaku, mentaati antrian, menjaga kebersihan dan menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
Buat saya, semua itu tak jadi masalah. Sedikit banyak, “aturan” seperti itu sudah saya berlakukan pada diri sendiri selama ini. Yang membuat saya “galau” justru soal makanan. Yang saya tahu, masyarakat Jepang sangat gemar makan ikan dan seafood mentah, daging setengah matang dan tentu saja konsumsi terbanyak adalah daging babi. Kalau hanya tak bisa “ketemu” nasi, tak masalah buat saya, toh masih ada roti. Akhirnya, saya bawa tas bekal khusus berisi aneka bahan makanan kering dan bumbu instant.
Benar saja, ketika sudah mulai sekolah, tiap kali tiba waktu makan siang, saya dan 2 teman saya selalu kebingungan membeli obento – makanan siap saji dalam kemasan praktis untuk bekal – sebagai makan siang kami. Dari hari ke hari hanya itu-itu saja yang bisa kami beli – nasi yang dimasak mirip nasi goreng, tapi bumbunya terasa sedikit “aneh” di tenggorokan – lalu diatasnya ditaburi irisan ayam goreng. Paket obento lainnya umumnya mengandung butaniku (daging babi). Bahkan kami sempat terjebak, “nasi goreng” plus potongan ayam goreng yang kami beli, ternyata setelah setengahnya kami makan, tepat di tengahnya ada selembar daging babi. Kontan obento itu kami buang. Dan kami bertiga terpaksa menahan lapar, karena perut tak cukup terganjal.
Sejak itu saya putuskan memasak untuk konsumsi 3 orang. Kebetulan apartemen saya dilengkapi dengan dapur dan sudah include peralatan dapur komplit. Dengan masak sendiri, makan jadi lebih enak sebab rasanya dijamin cocok di lidah. Di dompet pun jadi lebih irit. Uang belanja kami sepakati iuran. Saya berbelanja untuk seminggu, lalu di hari Jumat saya jumlah berapa pengeluaran “belanja dapur” lalu dibagi 3, saya tarik iuran dari kedua teman saya. Tiap Jumat sore sepulang sekolah, saya mampir ke Tokyo Food Bazaar di salah satu sudut stasiun Shibuya, untuk berbelanja aneka lauk – daging ayam, sapi, kambing, ikan/seafood – dan sayuran, cukup untuk seminggu. Biasanya bahan makanan segar yang saya beli di Tokyo Food Bazaar. Saya harus pandai mengatur produk mana yang sedang turun harga atau di-diskon. Telur misalnya, harganya bisa bervariasi dan selisihnya sangat jauh antara satu super market dengan lainnya.
Karena tiap hari saya sibuk dengan aktivitas sekolah, setumpuk PR dan tugas, maka saya harus pandai mengatur waktu, Memasak tiap hari jelas tak mungkin. Akhirnya saya siasati dengan memasak pada saat libur week end, beberapa menu sekaligus untuk 4 hari, Senin sampai Kamis. Umumnya tiap hari selalu saya usahakan memasak lauk berkuah. Semua masakan itu saya masukkan kulkas, setiap hari 1 menu saya bawa ke sekolah, tinggal dipanaskan di microwave. Kalau mau, saya tinggal menambahkan makanan gorengan yang praktis sebelum berangkat sekolah.
Kamis sore saya memasak khusus untuk hari Jumat. Ya, hanya hari Kamis sore saya bisa sedikit santai. Sebab tiap Kamis siang–sore kami menjalani tes, jadi biasanya “sensei” (guru) tak memberikan PR dan tugas. Jumat siang hasil tes diumumkan, lalu yang mendapat nilai kurang harus mengikuti tes ulang pada hari Selasa sore sepulang sekolah reguler. Untuk menghadapi tes ulang, mereka akan mendapat latihan lagi pada Senin sore sepulang sekolah. Untunglah, saya tak pernah mendapatkan nilai kurang. Jadi week end benar-benar jadi saat bersantai buat saya.
Karena selalu bawa bekal ke sekolah dan berbagi dengan 2 teman Indonesia yang keduanya cowok, saya jadi dikenal dengan ciri khas membawa tempat bekal. Meski saya sudah membeli box-box bertutup rapat dan microwave save, lalu dimasukkan dalam wadah/tas berlapis aluminium foil, membawa bekal ke sekolah sambil naik kereta pagi hari di saat rush hour bukanlah perkara mudah. Kondisi kereta di Tokyo pada jam 06.00 – 09.00 am mirip crowded-nya kereta Jabodetabek pagi hari. Meski sudah berusaha untuk tak naik kereta express dan memilih kereta biasa, tetap saja empet-empetan dan saya harus ekstra hati-hati menjaga tas bekal saya agar tak tersenggol penumpang lain. Bisa-bisa, kuah soto yang kuning atau rawon yang kehitaman, atau pekatnya santan opor ayam merembes dan membasahi jas para salary man! Aduh, bisa dituntut saya!
MENGATUR SAAT WEEK END DAN MENJAGA SEMANGAT SPIRITUAL
Tiap week end tiba, selalu saya putuskan 1 hari “bekerja” dan 1 hari “berwisata”. Kalau hari Sabtu saya berwisata seharian penuh dari pagi sampai malam, maka hari Minggu saya tak kemana-mana, masuk ke laundry room, mencuci semua baju kotor, handuk dan sprei, memasukkan ke mesin pengering dan terakhir menyetrika. Kasur dan bantal di jemur (orang Jepang rajin banget menjemur kasur, apalagi yang tempat tidurnya masih model tatami style, sampai-sampai ada jepitan jemuran gede khusus untuk menjepit kasur yang biasanya dijemur dengan cara digantung di pagar teras apartemen). Lalu memasak untuk seminggu, setelah selesai dapur dibersihkan, karpet disikat, bath tub dan closet disikat. Semua saya lakukan sambil menyetel lagu-lagu Indonesia dari laptop.
Kalau saya ada janji dengan teman berwisata bareng di hari Minggu, maka Sabtu-nya saya manfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Khusus hari Sabtu di pekan pertama dan ketiga setiap bulan, saya pergi ke sebuah “masjid” di Otsuka – bagian utara Tokyo, 2 stasiun setelah Ikebukuro – untuk mengikuti pengajian. Khusus pada pekan pertama dan ketiga, hari berwisata saya pilih hari Minggu dan di hari Sabtu semua pekerjaan rumah termasuk memasak, harus selesai sebelum jam 12 siang, karena saya harus sudah berangkat ke “masjid”. Terbayang kan saya harus multi tasking dalam tempo 4 jam membereskan setumpuk pekerjaan rumah dan merampungkan 4 menu masakan.
Datang ke pengajian penting bagi saya. Meski materi kajian kebanyakan sudah pernah saya dapatkan di Indonesia, tapi berkumpul dengan sesama Muslim, apalagi ada sessi khusus usai pengajian, yaitu mendengar kisah proses masuk Islam dari Muslimah Jepang yang menjadi mu’allaf, sungguh jadi hal menyenangkan bagi saya. Apalagi di bulan Ramadhan, saya bisa ikut berbuka puasa bersama makan nasi briani bersama Muslimah asal Pakistan, Turki, Jepang, Filipina dan…, tentu saja mayoritas mahasiswa Indonesia! Saya bahkan sempat mengikuti perkemahan jelang musim gugur bersama kaum Muslim dari berbagai negara. Entah berapa bus rombongan kami saat itu. Menyenangkan sekali, sepanjang perjalanan panitia mengadakan kuis-kuis yang pertanyaannya diberikan dalam 3 bahasa : Jepang, Inggris dan… Indonesia! Ya, jumlah komunitas Muslim dari Indonesia selalu mayoritas, karena itu pengumuman apapun, baik lisan maupun tertulis, yang seharusnya hanya dalam 2 bahasa (Jepang dan Inggris) selalu ditambajh dengan bahasa Indonesia.
Berkumpul dalam kegiatan seperti ini, lebih bisa membunuh rasa rindu tanah air, ketimbang melarikan diri ke karaoke atau tempat hiburan yang hingar bingar dan menguras uang. Maklum, Tokyo termasuk dalam deretan teratas kota paling mahal di dunia. Jadi kalau tak pandai mengatur uang, bisa “bangkrut”. Saya juga perhatikan, teman-teman yang mencoba membunuh rasa rindu pada keluarga dengan rendezvous, hasilnya tak maksimal. Hari Senin mereka kembali ke sekolah dengan wajah kusam dan awut-awutan karena kebanyakan mabok saat week end.
Begitulah suka duka belajar di negeri orang, jauh dari keluarga dan sahabat. Uniknya, saya justru lebih menemukan perasaan bersyukur dan memahami agama saya sendiri, justru ketika saya tinggal jauh di negara di mana kaum Muslim sangat minoritas, hanya nol koma sekian persen. Saya merasa beruntung bahwa sebelum berangkat setidaknya bekal spiritualitas saya tidak tipis-tipis banget, jadi di sana saya tak mudah tergerus jati diri saya dan beruntung pula Tuhan mempertemukan saya secara tak sengaja dengan seorang Muslimah Jepang di sebuah kereta, pada suatu senja sepulang sekolah. Tanpa pertemuan itu, mungkin saya tak pernah bertemu masjd di Jepang.