Sudah bukan rahasia lagi, terutama sejak pasca reformasi banyak tokoh politik maupun pengusaha besar yang terlilit kasus dugaan korupsi, suap, penyalahgunaan uang negara, selalu saja berakhir dengan sakitnya sang tersangka. Entah sudah berapa banyak konlomerat hitam yang menerima dana BLBI, kemudian “berobat” ke luar negeri dan tak pernah kembali lagi. Kalau sudah demikian, polis dan aparat penegak hukum pun tak lagi bisa menyeret mereka ke meja pengadilan dengan berbagai alasan. Jangankan berhasil mengekstradisi, bahkan sekedar menemukan tempat persembunyian mereka yang aman dan nyaman pun tak bisa melacak. Padahal, ketika wartawan sebuah majalah nasional dan sebuah TV swasta nasional berhasil mewawancarai sang konglomerat tersebut di apartemen mewahnya, si cukong sehat walafiat.
Hendra Rahardja, kakak kandung Eddy Tansil pun sampai akhir hayatnya tetap tak tersentuh hukum di pelariannya di Australia. Sukses para koruptor kakap ini seolah menjadikan “sakit” sebagai alasan paling manjur. Berobat ke luar negeri kemudian menjadi trend untuk kabur secara halus. Jika tak berhasil mendapat ijin berobat ke luar negeri, maka sakit di RS Indonesia pun dibuat sedemikian parahnya, yang penting bisa mengecoh aparat penegak hukum untuk membebaskan mereka dari segala tuntutan. Menkumham Patrialis Akbar pernah menghentikan tuntutan atas kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Kukar, Syaukani, dengan alasan yang bersangkutan stroke berat dan tak mungkin disembuhkan. Akhirnya, bebaslah Syaukani. Berbulan kemudian, ketika sudah kembali berada di lingkungan keluarga dan rumah mewahnya, terdengar kabar Syaukani pulih. Tapi apa daya, kasusnya sudah ditutup! Dengan kata lain : sakitnya jadi passpor kebebasannya!
Sejak dibentuknya KPK, modus sakit dan berobat ke LN tetap dilakukan para koruptor, tapi itu dilakukan sebelum mereka dinyatakan sebagai tersangka bahkan baru akan diperiksa sebagai saksi. Nunun Nurbaetie Daradjatun dan Muhammad Nazaruddin adalah contoh nyata. Nunun kabur ke Singapura dengan alasan berobat sejak Pebruari 2010, sedang Nazar sudah terbang ke Singapura tanggal 23 Mei 2011, persis sehari sebelum KPK menetapkan cekal atas dirinya.
Nazar saat itu dibela rekan-rekan separtainya, dengan alasan Nazar memang sudah lama sedang dalam perawatan dokter ahli jantung di Singapura. Bahkan Soetan Bathoegana sempat mendramatisir kabar Nazar bobotnya turun 18 kg! Bukan main, pasti kurus sekali seseorang yang kehilangan berat badan 18 kg dalam hitungan sebulan saja. Katanya pula, Nazar terbatuk-batuk setiap kali berbicara dan jalannya terbungkuk-bungkuk. Sungguh visualisasi seorang penderita sakit yang mengenaskan. Sedang untuk membuat alibi Nunun tampak meyakinkan, Adang menggandeng seorang dokter spesialis yang mengadakan jumpa pers tentang penyakit lupa berat yang diderita Nunun, yaitu demensia akut yang mengarah pada Alzheimer. Dengan jenis sakit seperti ini, seseorangtntu tak bisa diharapkan bisa bersaksi.
Tapi fakta kemudian menunjukkan sebaliknya. Nazar baik-baik saja dan tak sedikitpun tampak kurus ketika ia ditangkap Polisi Kolumbia pada Agustus 2011. Pun juga demikian dengan Nunun. Majalh Tempo sempat melakukan investigasi dan berhasil memotret Nunun yang sedang shopping di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Singapura. Dikabarkan pula Nunun sering pelesir ke tempat-temoat wisata di Thailand dan Kamboja, dalam kawalan seorang mantan marinir AS. Bahkan ketika komisioner KPK menangkapnya di rumah sewaannya di kawasan mewah di Bangkok, Nunun bisa langsung mengenali Chandra Hamzah dengan lebih dulu menyapanya. Sulit dpercaya ini bisa dilakukan seorang penderita demensia alzheimer.
Setelah dipulangkan ke Indonesia, KPK kemudian membatasi akses dokter pribadi Nunun dan menggantinya dengan dokter dari Kepolisian yang ditunjuk oleh KPK. Dari hasil pemeriksaan tim dokter Kepolisian inilah kemudian terbukti sakit yang diderita Nunun CUMA vertigo biasa, sama sekali tak ada hubungannya dengan demensia dan alzheimer.Bahkan Menkes saat itu sempat memberikan pernyataan bahwa dokter “ahli” yang selama ini jasanya dipakai oleh Adang, bisa saja diberikan sanksi etik karena memberikan analisa dan diagnosa medis yang salah. Jelas saja Nunun tak bakal sembuh, lha sakitnya apa, diagnosa dokternya apa dan pengobatannya apa. Kalo Cuma sakit vertigo, tapi didiagnosa demensia, lalu tak berobat yang semestinya – malah kelayapan dan shopping – ya wajar saja kalo tak pernah sembuh.
Rupanya “pasien” KPK paling bandel memang bu Nunun. Sejak pemulangannya ke Indonesia, setiap kali diperiksa Nunun selalu mengeluh sakit. Semula pengacaranya meminta penangguhan penahanan agar Nunun bisa dirawat keluarganya. Tapi KPK bergeming. Tiap kali Nunun sakit, ia dilarang diperiksa dokter pribadi dan tempat perawatannya ditentukan : RS Polri dengan tim dokter yang ditunjuk KPK! Akhirnya, karena saking seringnya Nunun sakit – nyaris tiap kali diperiksa selalu berakhir dengan dibawa ke RS – maka KPK memutuskan membantarkan Nunun di RS Polri.
Dengan dibantarkan, berarti Nunun diberi kesempatan dirawat, tapi waktu perawatannya sama sekali tak mengurangi masa tahanannya. Jika KPK punya bayas waktu menahan Nunun 20 hari kemudian diperpanjang 40 hari sehingga total 60 hari, sementara yang 30 hari dihabiskan Nunun di RS, maka KPK bisa memperpanjang penahanan Nunun 30 hari lagi. Demikian pula jika kelak dijatuhkan vonis hukuman kurungan, maka masa pembantaran sama sekali tak mengurangi masa hukuman. Dengan keputusan tegas seperti ini, akhirnya ulah sakit Nunun menjadi berkurang. Masa tinggalnya di RS jadi tak terlalu lama, cukup 1 – 3 hari sudah kembali ke rutan.
Pengacara Nunun kemudian melakukan upaya lain. Mereka meminta Nunun diperiksa di tempat khusus yang nyaman. Permintaan ini sempat menyulut kontroversi di media massa pada bulan Pebruari lalu. Apakah memang dibenarkan ada hak tersangka untuk meminta di mana ia akan diperiksa. KPK lagi-lagi tak mengabulkan permintaan itu dan tetap memeriksa Nunun di ruang penyidikan Gedung KPK. Akhirnya, publik semua tahu bahwa pemeriksaan atas Nunun selesai juga. Nunun tak lagi sedikit-sedikit nyaris pingsan tiap kali diperiksa dalam waktu belum lama. Mungkin Nunun juga berpikir, kalo dirinya tetap sering sakit dan hampir pingsan tiap kali diperiksa, maka masa pemeriksaan dan penahanannya akan lama karena berkasnya tak kunjung selesai.
Kita pun akhirnya tahu, Nunun bisa menjalani persidangan dalam tempo hampir 2 bulan dengan kondisi sehat walafiat. Meski duduk di kursi pesakitan sebenarnya sangat menyiksa bagi seseorang penderita sakit, tapi fakta menunjukkan Nunun sehat setiap kali menghadiri persidangan. Bahkan ketika dikonfrontir dengan kesaksian Miranda Goeltom yang menyangkal kedekatannya dengan Nunun, tampak Nunun masih cukup kuat untuk mencecar Miranda dan memberikan pernyataan di pengadilan tentang betapa dekatnya mereka dulu. Nunun bahkan bisa dengan detil dan jelas memaparkan kejadian-kejadian dan siapa saja orang-orang yang hadir di sekitarnya, saat pesta usai pelantikan Miranda pada tahun 2004. Sungguh tak masuk akal sebenarnya untuk orang yang pernah mengaku memori ingatannya hilang. Nunun bahkan bisa tetap tenang saat Ketua Majelis Hakim menegurnya berkali-kali. Nunun juga tetap tegar mendengar sidang pembacaan tuntutan dan bisa membacakan pleidoinya sendiri pada persidangan berikutnya.
Inilah suatu bukti KPK akhirnya menang melawan tersangka yang dengan segala kecerdikannya menggunakan alasan sakit. Ketika terdakwa diputus aksesnya dengan dokter pribadi dan diganti dengan dokter yang ditunjuk KPK, pengobatan dan proses penyembuhan justru lebih terarah dan terawasi.
Begitupun Nazaruddin, berkali-kali Nazar mengaku sakit. Bahkan ketika kepergok Denny Indrayana saat sidak tengah malam, Nazar mengaku sakit dan dijenguk oleh saudara sepupunya, Nasir. Anehnya, pada pertemuan itu hadir pula mantan pengacara Mindo Rosalina dan menurut rekaman CCTV, Nazar yang mengaku sakit ternyata sanggup bertahan 1,5 jam ngobrol di luar ruangan pada malam selarut itu, dimana seharusnya seorang yang sakit justru harus istirahat. KPK mengabaikan permintaan Nazar untuk di rawat. KPK baru benar-benar memberikan kesempatan berobat jika sakitnya memang sudah terbukti. Memang demikian seharusnya, KPK tegas dan tak mudah luluh oleh keluhan sakit para tersangka korupsi.
Kini, Angelina Sondakh pun mulai sakit. Sejak 2 hari pasca penahanannya di rutan KPK, Angie sudah mengeluh sakit sinusitisnya kambuh. Sinusitis yang konon menurut pengacaranya sudah diderita sejak kecil dulu. Ini memang agak aneh, sebab sinusitis penyakit yang sangat mengganggu meski tak tergolong penyakir pencabut nyawa seperti jantung, kanker dan stroke. Aneh, karena Angie berasal dari keluarga berada, berpendidikan tinggi, yang tentunya paham akan keutamaan kesehatan. Jadi rasanya sulit diterima akal jika sakit sinusistis yang sudah diidap sejak kecil tak kunjung diobati. Alasan tak punya biaya tentu tak masuk akal. Sebab operasi sinusitis tergolong operasi kecil yang biayanya tak terlalu besar dan waktu operasinya pun singkat.
Menurut keterangan pengacaranya pada acara ILC di TV One semalam, sebenarnya KPK sudah akan membawa Angie ke RS Abdi Waluya sejak pertama Angie mengeluh sakit. Tapi Angie yang menolak dan meminta agar dokter ahli THT yang katanya “langganan”nya itu yang didatangkan ke KPK. Kali ini KPK yang menolak. Akhirnya, kemarin ketika sakit Angie sudah sedikti parah, KPK membawa Angie ke RS THT yang ditunjuk KPK. Sampai di sini sebenarnya langkah KPK sudah tepat. Apa yang KPK lakukan pada Angie sama dengan apa yang mereka lakukan pada Nunun. KPK menolak tersangka punya akses dengan dokter pribadinya, yang bukan tak mungkin justru memberikan analisa medis yang tidak tepat. Lebih baik KPK menunjuk dokter ahli dan RS lain yang profesional dan independen, sehingga validitas pemeriksaannya lebih bisa dipercaya KPK.
Dalam wawancara yang dilakukan Metro TV kemarin petang dan pada acara ILC di TV One semalam, Nasrullah, pengacara Angie, tampak berusaha menggiring opini publik dengan berkali-kali mengatakan Angie “didzholimi”. Bahkan di acara ILC, tampak dia berusaha memprovokasi para lawyer untuk berbuat sesuatu bagi Angie. Nasrullah menjadikan anak Angie, Keanu yang berumur 2 tahun 8 bulan, sebagai alasan untuk mengasihani Angie. Hmm.., Prita Mulyasari yang berseteru dengan RS OMNI Internasional karena tuduhan pencemaran nama baik saja, saat itu tetap ditahan oleh Kejaksaan meski Prita saat itu sedang menyusui bayinya.
Jadi, menghadapi taktik klasik para pelaku korupsi dengan menggunakan alasan sakit, sebaiknya KPK tetap berpegang teguh pada ketegasannya. Modus sakit ini memang makin hari makin beragam dan canggih. Seyogyanya para pimpinan KPK tetap menjalankan aturan baku dan tidak memberikan kesempatan istimewa pada tersangka untuk lolos dari jerat hukum atau sekedar meringankan hukumannya, dengan berbagai alasan sakit. KPK sudah cukup bertanggung jawab dengan memberikan pengobatan kepada tahanan yang sakit, ketika pengobatan itu memang benar-benar diperlukan. Bukan saat tersangka membutuhkan kelonggaran untuk keluar dari ruang tahanan atau menghindari proses pemeriksaan.
Langkah bijak KPK untuk menutup akses dokter pribadi, juga sesuatu yang tepat. Bukankah tahanan biasa – non koruptor – kalau sakit juga diobati oleh dokter rutan dan tak bisa meminta didatangkan dokter pribadi? Jadi, kenapa koruptor harus punya hak-hak istimewa? Bukankah korupsi adalah extra ordinary crime? Maka seharusnya penahanannya pun harus ekstra ketat dan tak perlu ada kelonggaran kalau tak ingin kecolongan. Selamat bekerja KPK, jangan kalah dengan taktik sakit ala koruptor!