Sabtu pagi, 14 April 2012, saya siap memulai hari yang lebih sibuk dari biasanya. Hari ini jam jongging dan jalan sehat saya dipangkas cukup sejam saja, sambil sekaligus berbelanja di pasar “kaget” yang kalau weekend begini di gelar di samping area jongging track Krakatau Junction. Saya memborong tempe “Jawa”, tempe ukuran 5x10 cm yang dibungkus daun pisang dan biasanya jamur hasil fermentasinya tebal. Tempe-tempe ini akan saya bawa sebagai bekal ke Kampung Siti di Cipendeuy desa Cibeureum. Koordinasi saya dengan Rumah Zakat semalam memutuskan kami akan membawa bahan-bahan makanan mentah dan siap saji dari Cilegon, nanti di sana numpang memasak di rumah Pak Lurah atau warga.
Pulang dari jalan pagi, saya langsung berkutat di dapur, membikin pepes tahu dan teri Medan, hanya saja tidak dibungkus satu persatu karena tukang sayur langganan Ibu saya tak membawa daun pisang jika tak dipesan sebelumnya. Adonan pepes saya masukkan dalam 2 buah pinggan tahan panas, lalu dikukus. Sambil menunggu kukusan matang, saya sarapan setengah siang, mandi lagi, lalu menata barang bawaan ke dalam ransel dan tas besar. Menjelang jam 11 siang masakan saya matang, barulah berangkat ke toko emas untuk membeli anting buat Siti.
Saya memutuskan membeli anting dari emas putih seberat 2 gram, kadar 22 karat agar tak terlalu lunak karena anak-anak aktifitasnya tinggi. Beragam pilihan anting-anting dengan desain menarik membuat saya sedikit bingung pilih yang mana, umumnya beratnya tak sampai 2 gram. Akhirnya pilihan saya jatuh pada sepasang anting bulat dengan gantungan berbentuk boneka Teddy Bear, modelnya unik, sedikit lebih mahal dari model lain yang banyak kembarannya. Toh harganya masih sesuai budget, tak apalah. Sekalian saya beli kotak kemasannya yang juga menarik.
Usai membeli anting, saya beralih ke toko kue, membeli cemilan yang dijual kiloan. Saya pikir malamnya pasti teman-teman relawan begadang menyiapkan acara besoknya. Pasti butuh cemilan untuk teman ngobrol. Karena tak ingin merepotkan warga tempat kami menginap, saya juga membeli piring-piring dari styrofoam dan kertas minyak yang biasa dipakai untuk membungkus nasi. Jadi kami tak perlu repot mencuci piring, kertas minyak yang dipakai jadi alas makan saja yang dibuang. Tak lupa saya beli juga 4 lusin sendok “bebek”. Lengkap semua kebutuhan dapur terbeli, saya buru-buru pulang. Jam 12 lebihsaya baru sampai di rumah, langsung makan siang, mandi, sholat dan menunggu jemputan daru Rumah Zakat.
Jam 13.30-an mobil Suzuki APV yang disewa Rumah Zakat tiba di rumah saya. Kami menuju ke kantor Rumah Zakat. Setiba di sana para relawan masih sibuk mengatur beberapa kontainer box plastik tempat obat-obatan, peralatan medis dan beberapa kardus kornet dagung sapi/kambing kalengan. Rupanya beberapa relawan lainnya masih ada acara di tempat lain, sehingga kami tak bisa segera berangkat. Barulah jam 14.25 kami beriringan 3 mobil menuju ke Serang, yang 2 mobil menjemput 3 relawan wanita lainnya, sedangkan yang 1 mobil ke suatu tempat untuk mengambil obat-obatan. Total rombongan kami ada 19 orang termasuk saya. 18 orang lainnya adalah para relawan – 5 diantaranya wanita – dan seorang dokter, Dokter Ali.
Kami sepakat bertemu di SPBU di daerah Palima, Kabupaten Serang, untuk mengisi BBM dan sholat Ashar. Setelah itu baru melanjutkan perjalanan, saya ada di mobil #1 yang kebetulan 2 orang relawan yang dulu pernah survey pertama kali, semuanya ada di mobil #1. Jadi sesekali kami harus melambatkan laju mobil, bahkan terkadang berhenti jika menemui belokan, agar mobil #2 dan #3 yang agak jauh di belakang kami tak ketinggalan. Tak ada yang berubah dari jalanan yang kami lalui 5 minggu lalu, deretan kebun karet dan sawit bergantian menyapa kami.
Satu-satunya pemandangan baru yang kami temui hanyalah menjamurnya PAPAN IKLAN – sekali lagi : papan iklan, BUKAN spanduk atau banner – bergambar Pak Ical berjas kuning. Rupanya curi start kampanye sudah dimulai H-2 tahun sebelum Pilpres. Saya sempat mikir : kalau di kota kecil dan sepi seperti ini saja papan iklan seperti itu cukup banyak, bagaimana pula di kota-kota besar? Kira-kira, berapa ratus milyar uang yang dibutuhkan untuk membuat papan iklan semacam itu di seantero Nusantara? Seandainya nilai uang sebegitu banyak dipakai untuk menuntaskan ganti rugi korban lumpur panas Lapindo, tentu mereka tak perlu sampai berdemo dan bentrok dengan polisi seperti yang saya ihat di tayangan berita semalam. Lalu, kalau bentuknya papan ikaln seperti itu, kira-kira membayar pajak reklame kepada Pemda setemppat enggak ya? Ah…, pasti Pak Ical dan partai Golkar sudah punya sejuta alasan untuk membenarkan cara kampanye mereka.
-------------------------------------------------------------
Sekitar jam 18.40, kami melewati sebuah masjid cukup besar di pinggir jalan, kira-kira kurang dari sejam menjelang kampung Siti. Kami putuskan berhenti untuk sholat Maghrib dan sekaligus menunggu adzan Isya. Sejumlah laki-laki paruh baya sedang menggelar pengajian sembari menunggu adzan Isya. Total hampir 4 jam diperjalanan dan berdesakan dengan barang bawaan, membuat istirahat sejenak terasa benar manfaatnya buat melemaskan kaki. Usai sholat Isya, kami mencari warung makan. Sekitar 400 meter dari masjid, sebuah warung kopi di pinggir jalan membuat rasa lapar kami tak lagi memilih tempat. Meski sangat seadanya, jadilah kami makan malam di sana.
Lauknya hanya ada sebaskom orak-arik tempe, sepiring telur dadar yang diiris-iris selebar 2 ruas jari dan ayam goreng dalam potongan kecil-kecil. Nah, inilah saat yang tepat saya keluarkan 2 pinggan pepes tahu teri Medan. Lumayan mampu menutupi minimnya lauk. Relawan pria yang merasa belum cukup terganjal perutnya karena harus berbagi sebaskom nasi untuk 19 orang, terpaksa nambah memesan mie instant. Ibu pemilik warung pastilah tak menyangka warungnya bakal diserbu 19 orang kelaparan, apalagi cuaca dingin sisa hujan sepanjang jalan sore tadi.
Urusan mengisi perut selesai jam 20.30-an, kami melanjutkan perjalanan ke kampung Siti. Jam 9 malam kami sampai di sana. Jembatan dari batangan kayu berhasil kami lalui tanpa kesulitan berarti. Karena menurut info dari Pak Heri – pengrajin yang tinggal di sebelah rumah Siti – kampung itu tak hujan dari kemarin, kami berharap jalanan kering cukup kondusif untuk bisa dilalui mobil. Sayangnya, hanya 100 – 200 meter dari jembatan kayu, kondisi jalan yang sempit, terjal, berbatu-batu gunung sama sekali tak memungkinkan mobil lewat. Penumpang 2 mobil di belakang kami turun dan berterika-teriak meminta kami tak memaksakan diri terus masuk dengan mobil. Apalagi keadaan sudah sangat gelap. Di sana jam 6 petang saja sudah gelap, apalagi jam 9 malam.
Ketika kami masih sibuk memundurkan mobil agar selamat tak tergelincir, tiba-tiba sebuah motor datang. Dari jauh saya sudah bisa menebak sosok Pak Heri yang duduk di boncengan motor anaknya. Akhirnya, diputuskan Pak Heri akan meminta beberapa pemuda desa untuk mengojek kami. Selain karena energi kami sudah habis untuk menempuh medan berat dengan jalan kaki +/- 2,5 km, barang bawaan kami juga banyak dan berat, kontainer box obat-obatan tentu tak mungkin dibawa berjalan kaki. Akhirnya, 4 motor bolak-balik beberapa kali mengangkut kami. Relawan putri rata-rata shock melintasi medan berat dan mengerikan di malam gelap pula. Sesampai di rumah Pak Heri mereka masih tak percaya dengan perjalanan yang baru saja mereka lalui.
Saya yang pertama sampai, usai meletakkan barang bawaan di beranda rumah Pak Heri, langsung bersilaturahmi dengan istri guru mengajinya Siti yang rumahnya persis di depan rumah Pak Heri. Saat itu sudah lewat jam 21.30. Kami lihat rumah Siti – yang kini kondisinya sudah bisa dibilang rampung 70% direnovasi oleh Kelompok Kaskus – masih terang benderang dan sebuah TV masih menyala. Istri guru mengajinya Siti meneriaki ibu Armiah, ibunda Siti. Agak lama, barulah Ibu Armiah dan Siti menemui kami. Kami pun lalu ngobrol di rumah Siti, yang malam itu kakaknya dan beberapa saudara Siti lainnya sedang berkumpul di rumah Siti.
Rupanya pasca maraknya pemberitaan Siti di berbagai media TV, kehidupan keluarga Siti berubah drastis. Kami melihat ada 2 kardus TV yang baru dibuka segelnya. Sebuah kardus TV merk LG ukuran 21 inchi yang sekarang TV-nya diletakkan di ruang tamu merangkap ruang keluarga. Sedang sebuah lagi TV merk Sharp ukuran 29 inci yang masih diletakkan di kamar. Kabarnya, keberadaan pesawat TV inilah yang belakangan mengendorkan semangat belajar Siti, Guru mengaji menyampaikan Siti sempat malas mengaji selama beberapa waktu belakangan ini. Hal itu disampaikan di depan Ibu Armiah dan kakak serta Mamangnya Siti, jadi kami yakin itu bukan aduan atau karangan guru mengajinya semata.
Sebenarnya sangat disayangkan jika peningkatan kesejahteraan secara drastis ini justru berdampak pada hilangnya semangat dan ketangguhan Siti. Sebab bukankah hidup itu bak roda yang terus berputar? Dan masa depan Siti masihlah panjang, tak terbayangkan jika kemudahan yang diterimanya justru membuat anak itu jadi terlena. Sulit dan dilematis memang, setiap hari Siti dikelilingi kerabatnya yang menginap di rumahnya sambil menonton sinetron tak mutu sampai jam 10 malam. Siti yang biasanya sejak Maghrib mengaji dilanjutkan dengan belajar, kini nonton sinetron sampai jauh malam. Semoga saja kebiasaan buruk ini bisa dihentikan dengan upaya kami dan Rumah Zakat memberikan kurikulum untuk pendidikan agama, yang kami pantau hasil dan pencapaian belajat Siti tiap 3 bulan sekali.
Sejak Siti diputuskan menjadi anak asuh dari seorang pengusaha nasional bernama Yusuf Hamka – seperti disiarkan TV One pada Minggu 25 Maret 2012 – kami dan Rumah Zakat memutuskan mengalihkan beasiswa pendidikan formal Siti menjadi beasiswa pendidikan agama. Untuk itu kami menunjuk guru mengaji Siti sebagai guru privat dengan dibekali kurikulum baku yang disusun Rumah Zakat. Kami ingin kesejahteraan Siti yang meningkat tetap dibarengi dengan bekal pendidikan agama sejalan dengan terjaminnya kelangsungan pendidikan formalnya sampai selesai kuliah bahkan disediakan lapangan kerja oleh pengusaha Yusuf Hamka tersebut.
Sekitar jam 10 malam, seluruh relawan dan barang bawaan sudah tiba di rumah Siti. Sebagian langsung menyerbu kamar mandi dan bersiap tidur setelah seharian didera keletihan luar biasa. Sebagian dari kami bertamu ke rumah Pak Sukardi – Lurah Cibeureum – untuk “kulo nuwun” dan memaparkan rencana kegiatan kami esok pagi. Meski sudah lewat jam 10 malam, Pak Lurah dan istrinya sangat antusias menyambut kami berenam – saya, Pak Zainudin dan mas Ahmad Mutasim yang dulu pertama kali survey, mas Syahid “komandan” acara Siaga Sehat, mas Humaidi “komandan” acara Motivation Training” untuk anak dan ABG, dan mas Aan. Sejak sore Pak Lurah sudah bertanya ke Pak Heri, jam berapa kami bakal sampai. Bahkan Pak Lurah sempat datang ke rumah Siti, karena mengira kami sudah tiba petang tadi.
Malam itu, kami hanya memaparkan soal garis besar program kami dan Pak Lurah sangat antusias dan berterimakasih karena kami memberikan perhatian sebegitu besar pada seluruh warga kampung Cipendeuy, bukan sebatas pada Siti dan emaknya saja. Inilah yang sebenarnya diharapkan Pal Lurah selama ini. Beliau sudah menghimbau kepada pemberi bantuan untuk juga menengok ke sekeliling, dimana banyak warga lain yang juga tak seberuntung Siti diliput media TV sehingga bantuan berlimpah. Saya bersyukur, para dermawan pembaca Kompasiana rela memberikan kepercayaan agar dana itu bisa dikelola sebaik-baiknya dan disalurkan kepada yang membutuhkan dan tidak hanya melulu untuk Siti, terutama jika masalah perekonomian keluarga Siti sudah teratasi.
Sekitar jam 11 malam saya pamit kembali ke rumah Pak Heri. Saya dan 3 relawan putri menginap di rumah Pak Heri, sedang 2 relawan putri lainnya sudah terlelap di rumah Siti. Untuk relawan pria sebagian besar menginap di rumah Pak Lurah yang berandanya sangat luas. Hanya pak Dokter dan 2 relawan pria yang menginap di rumah Pak Heri. Berhubung sudah larut malam, cerita program bakti sosial di kampung Siti dilanjutkan di bagian ke-2. Nantikan lanjutannya.
LANJUTANNYA ADA DI SINI :
DAN DI SINI :