Di bagian pertama tulisan ini, sudah saya sampaikan beberapa hal yang menurut saya janggal/ tidak wajar. Kali ini saya akan tulis apa yang dialami oleh koordinator penggalangan dana di forum Kaskus. Tulisan ini saya buat atas diskusi kami dengan Kaskuser yang mengalaminya. Demi kebaikan bersama untuk menyuguhkan informasi tentang fakta yang sebenarnya kepada para donatur dan dermawan lain yang mungkin baru akan merealisasikan bantuannya, kami sepakat untuk membuat tulisan ini. Jika apa yang kami lihat, dengar, alami dan rasakan itu ternyata tidak baik dampaknya, maka kurang elok jika kami sembunyikan fakta itu dari publik. Dan tulisan ini hanyalah sekedar menyajikan fakta dan berbagi informasi saja, tanpa bermaksud mempengaruhi pembaca dan dermawan dalam mengambil tindakan penyaluran bantuannya untuk Siti. Saya yakin dan percaya, pembaca Kompasiana cukup cerdas dan bijak. Pun juga para Kaskuser, mereka sudah bertekad untuk lebih berhati-hati dan bijak menyalurkan bantuan.
------------------------------------------------------------------
Jumat menjelang waktu sholat Jumat, saya menerima email dari salah seorang koordinator aksi penggalangan dana di Kaskus. Kamis malam (15/4), Kaskuser memang berkumpul untuk briefing akhir persiapan teknis keberangkatan ke kampung Siti hari Sabtu–Minggu. Isi email itu mengejutkan. Saat Kaskus mengumumkan donasi untuk Siti ditutup, malam harinya ada penelpon menggunakan hidden number mengaku dari luar negeri menanyakan kenapa donasi itu ditutup. Ketika dijelaskan bahwa aksi itu ditutup karena dananya akan direalisasikan untuk Siti, si penelpon terkesan memaksa agar gerakan pengumpulan dana itu jangan dihentikan.
Yang lebih aneh lagi, penelpon sangat ingin tahu berapa jumlah dana terkumpul. Ketika Kaskuser yang ditelpon hanya menjawab “Alhamdulillah” dan menghindari menyebut nilai nominal, si penelpon terus bertanya. Alasannya ia ingin ikut menyumbang. Bukankah seharusnya yang ditanyakan nomor rekening bukannya jumlah uang terkumpul? Koordinator aksi di Kaskus ini pun mengarahkan penelpon itu untuk memberikan sumbangannya ke pihak lain yang masih membuka penggalangan dana. Tapi ia menolak. Aneh bukan? Kalau sudah berniat menyumbang, lewat mana saja mestinya tak masalah.
Koordinator dari Kaskus itu tidak yakin si penelpon benar-benar dari luar negeri. Sebab dari cara bicara sama sekali tak menunjukkan orang yang tinggal di LN, logat bicaranya seperti orang dari daerah Siti. Jika ia tinggal di luar negeri dan internet oriented, maka kosa katanya akan cukup kaya. Tapi si penelpon ini bertanya pada koordinator Kaskus : “anda dari golongan apa?” yang kemudian dijawab “golongan independen”. Mungkin maksudnya dari “komunitas” apa. Ini menunjukkan si penelpon punya keterbatasan kosa kata. Saat ditanya balik “anda tahu dari mana?”, si penelpon hanya menjawab “dari forum”. Tapi ketika di desak forum apa, ia tak bisa menjawab dan tidak tahu. Artinya dia memang bukan internet user. Mungkin saja ada orang lain yang mengamati gerakan pengumpulan dana di Kaskus, lalu menyuruh penelpon ini berpura-pura ingin menyumbang, tapi sebenarnya untuk menyelidik berapa dana terkumpul.
Selain itu beredar sms sejenis dengan sms penipuan, tapi memakai kata “GAN”. Kita tahu kata “gan” atau “agan” ini sapaan khas di kalangan Kaskuser. Sms nya seperti ini :“uangnya transfer ke BNI aja gan, kalo dah trfr tolong kasih tau dan sms”. Rupanya ada upaya pihak tertentu hendak menunggangi kegiatan penggalangan dana di Kaskus dengan aksi penipuan.
Minggu, 18 Maret, Kaskusers berangkat ke rumah Siti. Esoknya, Senin sore, saya mendapat sms dari salah seorang Kaskuser yang ikut dalam kunjungan itu. Dia mengaku apa yang dilihatnya lebih mencolok dari apa yang saya lihat. Saya makin kaget dengan pengakuannya. Saat ke sana Kaskus mendapati kakak kandung Siti dan anak dari kakak tiri Siti sudah berada di rumah Siti. Nah, benar prediksi seorang Kompasianer yang mengirim inbox ke saya! Padahal, katanya jarak dari rumah kakak Siti ke kampung Siti kalau naik ojek ongkosnya bisa 100 ribuan. Tapi mereka bela-belain datang ke sana kalau week end, dimana para dermawan biasanya datang.
Kakak kandung Siti ini punya anak seumuran Siti. Saat Kaskuser yang jadi penunjuk jalan tiba lebih dulu, kakak Siti ditemui memakai perhiasan emas. Tapi ketika ditinggal untuk mengarahkan rombongan dan tiba kembali di rumah Siti, semua perhiasan emas sudah dilepas. Artinya ada upaya terencana utk menutupi fakta bahwa dia punya perhiasan emas. Kenapa tidak bertindak sewajarnya saja? Toh itu perhiasan miliknya?
Kaskuser ini juga memastikan bahwa anak dari kakak tiri Siti yang sudah remaja – yang dalam tulisan terdahulu saya sebut “juru bicara” – memang benar menggenggam BB, bukan HP China yang mirip BB seperti perkiraan saya semula. Ibunya Siti ternyata juga punya KK dan KTP yang masih berlaku s/d 2015. Semula ketika ditanya KTP si ibu agak ragu-ragu, tapi ketika didesak untuk dilihat, akhirnya si ibu menyuruh anaknya mengambilkan KTP dan KK. Ibu Siti pun bisa berbahasa Indonesia sebab ia tamatan SMP. Jadi sebenarnya tidak butuh penterjemah apalagi juru bicara. Info yang saya dapat, semula Kaskuser juga mengalami hal yang sama dengan saya : apapun yang mereka tanyakan pada ibunya Siti, kakaknya yang menjawab. Tapi akhirnya mereka mengabaikan kakak Siti dan berbicara berhadapan langsung dengan ibunya Siti.
Ketika Kaskuser mengajak ibunya Siti ke rumah Pak Lurah, di sana ditanya berapa jumlah bantuan berupa uang yang sudah diterima. Ibunya Siti menjawab Rp. 20 juta. Yang Rp 5 juta diberikan oleh crew Trans 7 dan orang yang jadi contact person (CP) seperti tercantum di situs FB OOP Trans 7. Pengakuan ini konsisten dengan pengakuan Minggu sebelumnya. Artinya yang diterima dari Trans 7 baik institusi maupun sumbangan pemirsa totalnya Rp 5 juta. Selebihnya ada sekitar 15 jutaan didapat dari sumbangan pihak-pihak yang berdatangan.
Kini, dana sebesar 20 jutaan itu dibukakan rekening di bank atas nama kakaknya Siti. Nah lho! Dulu ketika Siti menderita kemana aja? Kini ketika bantuan mengalir, langsung bertindak jadi “manager”. Kaskuser ini juga menanyakan soal sembako pemberian dermawan yang terkumpul cukup banyak, ditanyakan untuk apa? Dijawab Kakak Siti : sebagian utk dimakan sendiri, lainnya akan dijual ke warung.
Usut punya usut, ternyata yang minta Siti di masukan ke OOP adalah kakaknya Siti. Dia kenal baik – malah katanya masih ada hubungan saudara – dengan si contact person Trans 7 yang sudah biasa menjadi CP bagi Trans7 untuk mencari orang yang akan diangkat kisahnya di acara OOP. Memang info yang didapat tim survey Rumah Zakat, si CP ini orang kampungnya sudah 3x diliput Trans7, jadi ia sudah punya kenalan crew Trans7.
Sedangkan sayuran dan bahan-bahan bumbu yang kami berikan sebagai modal awal untuk berjualan, katanya “tidak laku”sehingga dibagi-bagi ke tetangga. Entahlah, apakah karena saat ini kondisi Siti dan Ibunya sedang jadi OKB sehingga ibunya enggan untuk bersusah payah keliling kampung menjajakan sayuran? Bukankah sembako di rumah masih menumpuk, jadi untuk apa jual sayuran. Hmm…, saya jadi terbayang betapa beratnya mas Ahmad Mutasim memikul bakul penuh berisi sayuran sambil melewati jalanan dengan medan berat sekitar 2,5 km. Terbayang pula keringat berleleran di dahi mas Otong memanggul karung beras di punggung. Ternyata nasib sayuran itu berakhir di tangan para tetangga yang dibagi-bagi begitu saja. Sedangkan sembako yang menumpuk kelak mungkin akan dijual dan uangnya entah kemana.
Saya justru jadi lebih kasihan pada Siti, jauh lebih kasihan ketimbang dulu ketika melihatnya berjualan bakso. Dulu Siti begitu karena tak ada yang membantu, tak ada yang peduli padanya. Kini Siti sudah terekspose media, dermawan berdatangan, ternyata ia justru menjadi “tambang emas” bagi pihak lain. Kemiskinan dan penderitaannya telah dieksploitasi untuk menarik simpati pemirsa. Anak selugu dan sepolos itu, masa depannya masih panjang. Uang beberapa puluh juta tak akan cukup untuk bekal biaya pendidikannya sampai tuntas. Uang itu hanya akan bermanfaat jika bergulir menjadi modal kerja permanen, sehingga ibunya punya penghasilan tetap yang bisa dipakai untuk biaya hidup sehari-hari dan membiayai kelanjutan pendidikannya.
Siti anak pintar, tangguh dan bersemangat tinggi untuk sekolah. Sangat disayangkan kalau kelangsungan pendidikannya jadi tak terjamin hanya gara-gara salah kelola sumbangan para dermawan. Dan lebih ironis lagi jika ada pihak tertentu yang kemudian jeli melihat peluang untuk memanfaatkan keberadaan Siti. Sebenarnya sudah ada seorang dermawan yang pengusaha, ingin mengajak Siti dan Ibunya menjadi keluarga angkat mereka. Sejauh ini kehidupan keluarganya harmonis, usahanya yang dirintisnya dari bawah berkembang sukses. Jadi Siti dan Ibunya akan mendapatkan keluarga yang baik. Siti pun akan memperoleh kasih sayang lengkap dari seorang bapak dan ibu angkat, sekaligus tetap tak terpisah dengan Ibu kandungnya. Siti bisa konsentrasi belajar sambil menikmati masa kanak-kanak, Ibunya bisa diberi kesempatan usaha. Sayangnya tawaran ini belum diterima. Semoga saja alasannya bukan karena keberadaan Siti tetap di situ akan lebih membawa “manfaat” bagi pihak lain.
Mengambil hikmah dari apa yang saya alami bersama Rumah Zakat serta pengalaman serupa dari Kaskusers, berikut tips untuk para dermawan yang ingin membantu Siti :
1.Jangan datang di saat weekend, karena “kerabat” Siti stand by di sana kalau weekend sedang di hari kerja tidak ada.
2.Kalau anda tetap ingin datang di saat weekend, tundalah dulu kunjungan anda sampai euphoria kunjungan dermawan berlalu. Kira-kira 3-4 bulan ke depan.
3.Jangan memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai atau sembako
4.Jika sumbangan anda dan kelompok anda cukup besar, wujudkan dalam bentuk asset yang bermanfaat jangka panjang dan langsung diatas-namakan Siti.
5.Jika sumbangan anda belum cukup besar, usahakan menggabungkan bantuan anda dengan pihak lain yang anda percaya dan memiliki program pemberian bantuan berkelanjutan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Saran saya : jangan kapok menyumbang dan jangan berhenti berderma. Masih banyak yang benar-benar butuh dibantu. Jadikan semua ini sebagai pelajaran berharga, agar kelak tak terulang lagi memberikan bantuan dalam bentuk tunai. Uang bisa membuat orang berubah atau lupa diri. Uang bisa membuat mereka yang dulu jauh jadi mendekat. Dan uang membuat orang tega mengekploitasi kemiskinan menjadi tontonan demi mengalirkan uang bantuan. Na’udzubillaahi min dzaalik!
Foenomena Siti ini membuat saya makin prihatin dan miris. Dalam lingkup kecil, ternyata realitas sosial di masyarakat sama dan sebangun dengan apa yang terjadi dalam lingkup “negara”. Bagi negara lain, kemiskinan penduduk Indonesia memprihatinkan sekaligus mengundang simpati untuk memberikan bantuan. Tapi bagi pihak yang diberi amanah untuk punya akses ke alur bantuan, dengan mudah mereka menyelewengkan bantuan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Maka, kemiskinan tetap dipelihara agar bantuan tetap mengalir dan ada pihak yang diuntungkan dapat terus menikmatinya. Makanya tak perlu heran jika ada pejabat yang jadi tersangka korupsi dana bantuan bencana. Di level masyarakat bawah saja fenomena semacam ini bisa terjadi kok! Ckckck…
TULISAN SEBELUMNYA :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/21/fenomena-darsem-dalam-kasus-siti-bagian-1/