Pembantu rumah tangga (PRT) sudah jadi kebutuhan tak terelakkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas, terutama yang tinggal di kota besar, apalagi jika nyonya rumah sehari-hari bekerja atau punya aktivitas rutin di luar rumah. Keberadaan “asisten” ini jadi makin penting kalau di keluarga itu ada anak kecil yang perlu penjagaan selama kedua orang tuanya tidak di rumah. Jangankan pembantu berhenti bekerja, baru ditinggal mudik saja sudah bisa bikin anggota keluarga kalang kabut. Rutinitas harian terganggu, banyak pekerjaan tak tertangani, bahkan terkadang mencari barang keperluan sehari-hari saja bisa tak ditemukan, karena “asisten” lebih tahu dimana diletakkan.
Ironisnya, meski keberadaan PRT sangat dibutuhkan tapi justru pekerja di sektor domestik ini sangat minim perlindungan. Bahkan bisa dibilang tak ada satu pun Undang-Undang yang mengatur perlakuan terhadap pekerja rumah tangga ini. Upahnya jelas masih jauh di bawah UMK, yang untuk kota-kota sekitar Jabodetabek saja sekarang sudah mencapai 1,5 jutaan. UMK ditetapkan untuk upah buruh yang bekerja 40 jam dalam seminggu, rata-rata 8 jam per hari. Di luar itu mereka berhak atas upah lembur yang dihitung 1/173 dari UMK dikalikan jumlah jam lembur, dimana pada jam ke-2 dan seterusnya dikalikan 2x lipat. Belum lagi kalau harus lembur pada hari libur resmi pemerintah atau hari libur nasional, maka hitungannya bisa 3x lipat.
Dilihat dari sisi ini saja sebenarnya pengguna jasa PRT harus sudah sangat bersyukur bahwa di negara kita tidak ada keharusan membayarkan gaji PRT dalam jumlah tertentu. Padahal, jam kerja PRT umumnya lebih dari 8 jam sehari – terutama PRT yang menginap di rumah majikan – dan tidak mengenal hari libur mingguan. Kapanpun majikan bisa menyuruh PRT melakukan tugasnya, meski di malam hari sekali pun, dan tak ada kewajiban membayar upah lembur. Tugas PRT juga bisa sangat luas, bahkan terkadang melampaui tugas PRT pada umumnya.
PRT juga tak dilindung asuransi semacam buruh, yang mana Perusahaan yang mempekerjakan diwajibkan mengikutsertakan program Jamsostek. Padahal, kerja PRT pun bisa beresiko menemui kecelakaan kerja, misalnya kompor gas yang digunakannya meleduk, setrika listriknya korsleting atau kecelakan lainnya. Beda dengan buruh yang didaftarkan menjadi peserta Jamsostek, jika meninggal ada sejumlah santunan yang bisa diterimanya, jika berhenti bekerja ada “tabungan” jaminan hari tua yang bisa diambil. PRT, meski sudah bekerja puluhan tahun tak akan mendapatkan semua hak itu.
Karena itu, kesejahteraan PRT sangat bergantung pada majikan tempatnya bekerja. Upah yang diterima PRT biasanya hanya berdasar kesepakatan antara majikan dan PRT. Kalau ingin naik gaji, PRT hanya bisa memohon belas kasihan majikan, dia tak bisa berdemo seperti para buruh yang punya serikat pekerja. Begitu pun jika sakit, sepenuhnya tergantung bagaimana majikan menyikapi. Apakah akan dibawa berobat dan diijinkan beristirahat sementara, ataukah tetap dipaksa bekerja.
Memang, tak selamanya keberadaan PRT langsung membuat semua persoalan selesai. Terkadang ada juga PRT yang bikin majikan “makan hati” dan justru menambah masalah baru. Misalnya PRT yang suka seenaknya saat bekerja, sulit lepas dari gadgetnya, sambil masak, mencuci, setrika, HP tak pernah lepas. Biasanya yang punya kebiasaan seperti ini PRT yang masih muda. Ada juga PRT yang kalau bekerja asal-asalan, asal selesai dan jika diingatkan atau diberitahu “protap” yang berlaku di rumah, justru membantah. Yang ini biasanya kerap terjadi pada PRT senior, yang merasa sudah punya pengalaman bekerja di rumah tangga lain.
Ada kalanya, keberadaan PRT malah menambah boros bahan-bahan keperluan rumah tangga. Misalnya gula dan minyak yang jadi lebih boros kalau PRT yang masak dibanding kalau masak sendiri. Atau sabun detergen kemasan 2 kg yang biasanya cukup untuk sebulan, baru 2-3 minggu sudah habis. Kejadian macam ini sulit dihindari. Tentu ada plus minusnya : plusnya majikan tak perlu mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangga, minusnya hasil kerjanya kurang memuaskan dan menghabiskan bahan baku lebih banyak. Termasuk juga pemakaian air dan listrik. Terkadang sulit mengajak PRT berhemat, sebab mereka tak punya sense of belonging dan tak merasa perlu berhemat karena semua itu tak dibeli atau tak dibayar dengan uang mereka.
Bagi saya pribadi, yang terpenting dari seorang PRT adalah faktor KEJUJURAN. Ini tak bisa dikesampingkan, sebab PRT sehari-hari tinggal atau keluar masuk rumah kita, tahu seluk beluk dan seisi rumah. Tentu kita tak mungkin waspada dan siaga 24 jam terus menerus. Adakalanya kunci lemari masih tergantung setelah kita mengambil barang dari lemari. Ada kalanya jam tangan, cincin, gelang, dilepas dan diletakkan begitu saja di atas meja rias. Bisa jadi uang kembalian belanja yang jumlahnya masih cukup banyak, tertinggal di saku baju yang terlanjur dimasukkan ke keranjang cucian. Itu sebabnya kejujuran PRT saya letakkan di peringkat pertama kalau menilai PRT. Soal kerjanya kurang bagus, sepanjang masih bisa dilatih dan diajari, biasanya saya maklumi.
Saya pernah punya PRT yang “rajin” mencuri. Ceritanya, ketika pertama kali pindah ke kota temoat tinggal saya ini, saya minta dicarikan PRT pada pemilik rumah yang saya kontrak. Dapatlah saya seorang gadis 18 tahunan, baru lulus SMA beberapa bulan sebelumnya. Anak ini ibunya jadi PRT di rumah Bu RW kami. Saat pertama diserahkan, ibunya ikut hadir ke rumah kami. Belum genap 2 minggu, Ibu saya melapor kehilangan uang belanja di dompet khusus uang belanja. Ibu terbiasa belanja di tukang sayur yang lewat depan rumah dan ada dompet khusus untuk itu, isinya tak seberapa banyak. Jadi Ibu tahu persis sisa uang di dalamnya.
Ketika hendak membayar belanjaan, Ibu saya baru tahu uangnya hilang 25 ribu rupiah. PRT kami sedang asyik menyetrika ketika Ibu berbelanja. Sebelumnya Ibu ke kamar mandi agak lama. Setelah PRT pulang, Ibu menghitung lagi seluruh uangnya di dompet sejak pertama kali kami menempati rumah ini, kebetulan Ibu selalu mencatat pengeluaran belanja harian. Ternyata, ada selisih 45 ribu rupiah. Bisa jadi uang itu tidak sekaligus diambil 45 ribu, tetapi “dicicil” selembar demi selembar uang puluhan ribu dan lima ribuan. Karena tak ingin asal tuduh – bisa saja Ibu saya yang salah hitung, walaupun saya gak yakin, karena Ibu teliti sekali – saya pancing dengan meletakkan 6 lembar puluhan ribu dan 5 lembar 5000-an, saya serakkan begitu saja di atas lemari pendek di kamar saya. Seolah-olah uang itu tak dihitung jumlahnya. Tapi uang itu saya tandai, entah dengan lipatan atau tanda lainnya.
Hari Sabtu, ketika saya ada di rumah, uang itu aman saja. Oya, PRT kami itu hanya bekerja dari Senin sampai Sabtu, datang ke rumah jam 7 pagi dan pulang jam 11-an. Hari Senin, sebelum berangkat ke kantor saya pastikan sekali lagi jumlah uang “pancingan” itu masih tetap sama. PRT saya masih mencuci baju di belakang. Saat saya sudah berangkat kantor, ia mulai membersihkan rumah, termasuk kamar tidur saya di lantai dua. Selesai bersih-bersih rumah, PRT itu menyetrika dan Ibu saya naik ke kamar saya. Betul, selembar 5000-an yang terlipat sudah tak ada lagi.
Baru bekerja 2 minggu lebih sehari, dia sudah mencuri berkali-kali. Akhirnya, hari Sabtu berikutnya, selesai bekerja, saya panggil dia. Kebetulan sudah 2x anak itu meninggalkan rumah tanpa pamit Ibu saya dan tak mendengar ketika dipanggil. Tampaknya ia sudah janjian dengan pacarnya. Semula saya menegurnya soal itu, dia masih membantah dan beralasan macam-macam. Baru kemudian saya katakan Ibu dan saya kehilangan uang jumlahnya sekian-sekian dan yang terakhir uang yang sengaja saya jadikan “pancingan”. Kalau semula PRT ini masih berani menjawab, kali ini dia langsung menunduk dalam-dalam, mukanya pucat dan saya perhatikan bahasa tubuhnya seperti ketakutan. Akhirnya saya berikan gajinya selama 3 minggu dan saya katakan ia tak perlu datang ke rumah saya Senuin depan. Selesai saya bicara, ia buru-buru menerima uang dari tangan saya dan langsung ngacir.
Sebenarnya, pembantu yang ketahuan mencuri sudah cukup ketakutan ketika majikan menunjukkan barang curiannya. Teman saya pernah kehilangan jam tangan branded ketika ada PRT baru datang ke rumahnya. Pura-pura lah PRT baru ini diajak keluar berbelanja oleh PRT yang sudah senior, lalu tas si PRT digeledah. Benar saja, jam tangan teman saya ada di sana. Malam harinya, PRT baru dipanggil menghadap si “Bapak”, tuan rumah, lalu ditanya-tanya soal jam tangan. Semula memang mengelak, tapi ketika diperlihatkan jam tangan yang diambil dari tas-nya, kontan PRT itu menangis ketakutan. Dan esok paginya ia dipulangkan ke kampung.
Mengatasi PRT yang suka mencuri sebenarnya mudah : pecat saja. Kalau sulit membuktikan dia lah pencurinya, cukup dengan ancaman secara halus. Teman kantor saya pernah kehilangan cincin emas pemberian Ibunya, yang waktu itu dicopot sebentar. Meski seisi kamar sudah diaduk-aduk, sprei dan bed cover sampai diganti, meja rias dikosongkan, cincin tetap tak ketemu. Karena curiga PRT-nya yang mengambil, beberapa hari kemudian teman saya mengarang cerita. Ia pura-pura sudah mengantongi alamat seorang dukun sakti yang pakar “melihat” pencuri. Akhir pekan besok akan didatanginya si mbah dukun untuk mencari tahu siapa pencurinya, setelah itu akan diadukan ke polisi. Sebab ini sudah cincin ke-2 yang hilang. Eeh.., ternyata sore harinya cincin ini sudah ada di dalam lemari, menyelip di sela-sela tumpukan baju. Mungkin PRT yang ketakutan “dilihat” mbah dukun, memilih mengembalikan cincin yang diambilnya beberapa hari sebelumnya.
Karena itu, saya heran kalau ada majikan yang sampai memperkarakan PRT yang sudah bekerja 10 tahun di keluarganya, hanya gara-gara “mencuri” 6 buah piring dan seplastik bumbu dan buntut yang bakal dimasak sop buntut. Mana piringnya beraneka ragam pula, bukan 1 set piring (mestinya kalau niat mencuri akan pilih mencuri 1 set piring yang sama). Jaman sekarang, mencari PRT yang betah dan setia bekerja pada satu keluarga sampai 10 tahun, termasuk langka. Kalau betul si PRT memang suka mencuri, semestinya sudah sejak dulu majikannya kehilangan barang-barang. Ah, entahlah, mungkin si majikan termasuk yang lupa bersyukur punya PRT setia, atau si majikan termasuk orang lebay yang kurang kerjaan memperkarakan barang butut. Yah, sejenis Briptu yang memperkarakan sandal bututlah.
Semoga kita bisa lebih menghargai keberadaan PRT dan memperlakukannya dengan wajar dan manusiawi. Pikirkan seandainya ada Undang-Undang yang mengatur UMK untuk PRT, mewajibkan majikan membayar asuransi kesehatan PRT, menyisihkan dana pesangon untuk PRT, wah.., bisa-bisa tak ada keluarga kelas menengah yang sanggup mempekerjakan PRT. Seperti di negara-negara maju yang sudah sangat menghargai jasa tenaga kerja sektor domestik. Maka dari itu, selesaikanlah permasalahan dengan PRT cukup sampai di rumah saja. Tak perlu sampai ke RT/RW apalagi polisi, kecuali jika ia melakukan pelanggaran asusila atau pencurian yang dilakukannya nilainya sampai jutaan.