Belakangan ini hampir semua pemberitaan politik isinya soal kisruh di internal Partai Demokrat. Anas Urbaningrum, sang Ketua Umum berulangkali namanya disebut terlibat dalam kasus penerimaan fee dari sejumlah proyek Pemerintah – seperti Wisma Atlit Jakabaring dan Hambalang – yang didanai APBN. Karena proyek itu dibiayai dengan uang negara, maka penerimaan suap ataupun fee dari proyek itu tergolong korupsi.
Bukan hanya Anas seorang yang disebut terlibat. Ada sejumlah nama lain yang diduga ikut menikmati kucuran dana haram itu. Kebanyakan nama yang disebut adalah para politisi yang tergabung dalam “kabinet” Anas. Mereka yang dulu berada satu gerbong mendukung pemenangan Anas menjadi Ketua Umum dalam Kongres PD di Bandung, Mei 2010.
SBY, “owner” sekaligus “pemegang saham” terbesar dari korporasi bernama Partai Demokrat itu, kini bingung menghadapi ulah para elit PD yang ibarat kerikil dalam sepatu. Kalau tak dikeluarkan, bikin sakit dan langkah kaki pun jadi tak bisa cepat. Tapi kalau “lokomotif” dicopot, maka otomatis gerbong di belakangnya tak bisa jalan. Sementara jika tak dicopot, membuat citra partai makin terpuruk dan jadi bulan-bulanan media massa dan cemoohan masyarakat.
Tiba-tba saya ingat Koizumi, Jun-i-chiro Koizumi, mantan Perdana Menteri Jepang. Lalu, apa persamaannya Koizumi dengan SBY? Kalau dari sisi personality, tidak ada! Bahkan berbeda banget! Tapi dalam permasalahan di internal partainya, hampir sama. Koizumi terpilih kembali pada tahun 2003 dengan “mayoritas kecil” dan jumlah dukungan yang menurun ketimbang hasil Pemilu 2001. Meski partai yang dipimpinnya, LDP (Partai Demokrat Liberal) masih tetap jadi partai pemenang Pemilu, tapi LDP kehilangan sejumlah kursi di Parlemen. Bahkan di tahun 2004, rating persetujuan yang diraih Koizumi jatuh sampai 36%.
Beda banget dengan SBY. Ketika terpilih pertama kali lewat Pilpres 2004, SBY harus bersusah payah mengumpulkan suara sampai pada putaran kedua. Saat itu Partai Demokrat bentukannya hanya berhasil meraih 7% kursi di Parlemen. Sebaliknya, pada Pilpres 2009, dengan sangat mudah dan mulus SBY melenggang dengan 60% lebih dukungan suara rakyat, dan…, cukup satu putaran saja! Dua pasangan Capres lawannya keok dengan perolehan tak sampai separuh dari suara yang didapat SBY. Kesimpulannya : SBY tentu jauh lebih hebat dari Jun-i-chiro Koizumi dong! 240 juta rakyat, kalau separuhnya saja punya hak suara, berarti lebih dari 70 juta orang memberikan mandat pada SBY untuk memipin Republik ini! Salut! Selamat buat Pak SBY!
Dalam perjalanannya memimpin Jepang, Koizumi punya agenda reformasi. Dia terpilih menjadi Perdana Mentri justru karena janji program reformasinya mendapat dukungan dari kaum pemilih muda. Memang, saat itu Jepang sedang dalam kondisi kelesuan ekonomi dalam 10 tahun terakhir. Agenda terbesar dari program reformasi yang digagas Koizumi adalah privatisasi Perusahaan Pos. Kenapa Perusahaan Pos? Di Jepang, kantor pos tidak hanya berfungsi sebagai pengantar surat dan paket kiriman saja. Kantor Pos juga melayani tabungan dan asuransi. Seperti kita tahu, bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki karakter hidup hemat dan sangat gemar menabung. Karena kantor pos tersedia sampai di berbagai pelosok daerah, maka dana masyarakat yang terserap di kantor pos luar biasa besarnya.
Dana inilah yang kerap kali “dipinjam “ oleh partai politik – termasuk parpolnya Koizumi – dalam rangka mendanai program-programnya untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah pinggiran. Dengan begitu, citra parpol jadi terdongkrak. Selain itu, dari total PNS yang dimiliki Pemerintah Jepang, prosentase terbesarnya bekerja di perusahaan Pos. Partai politik menempatkan para politisinya untuk menduduki jabatan penting di perusahaan Pos. Koizumi menilai, privatisasi perusahaan Pos adalah langkah krusial untuk menghentikan pemborosan pengeluaran pemerintah.
Ide Koizumi untuk melakukan privatisasi atau men-swasta-kan Perusahaan pos, adalah ide gila yang bakal merusak zona nyaman (comfort zone) yang sudah dinikmati banyak pihak selama ini. Ia mendapat tentangan dari lawan-lawan politiknya di Majelis Rendah. Bahkan 22 orang anggota partainya sendiri, LDP, membelot saat pemungutan suara di Majelis Rendah. Koizumi nyaris putus asa, ini pertaruhan politiknya, ia bersedia mundur jika programnya ini gagal. Akhirnya Koizumi menantang parlemen untuk meminta suara rakyat dengan membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu. Ia ingin melihat rakyat Jepang mendukung atau menolak program reformasi yang digagasnya.
Suasana politik memanas dengan berdirinya partai baru yang diisi oleh orang-orang yang membelot dari LDP. Koizumi berjanji mundur jika partainya gagal merebut posisi mayoritas dari 480 kursi di Majelis Rendah Jepang. Ia melakukan perombakan besar-besaran dalam struktur Partai LDP, Koizumi sendiri lah yang menentukan orang-orang yang menduduki posisi penting di partainya, ia juga yang memilih calon legislatif yang akan berlaga dalam Pemilu. Hanya orang-orang yang mendukung reformasi yang digagasnya, yang ia pilih untuk tetap berada di LDP. Yang berpotensi menghalangi program reformasinya, dia sikat habis. Jadilah LDP diisi orang-orang muda yang se-ide dengannya untuk menjalankan reformasi.
Hasilnya?! Ruaaarrr biasa! Dalam Pemilu yang digelar pada hari Minggu, 11 September 2005, partai yang dipimpinnya meraih suara mayoritas mutlak! Lebih dari 2/3 suara rakyat mendukungnya. Dengan hasil ini, Koizumi bahkan sama sekali tak butuh persetujuan oposisi untuk meloloskan Undang-undang yang digagasnya. Ini membuat Ketua Partai Oposisi yang semula membantai ide reformasi Koizumi, akhirnya mengaku kalah dan mengundurkan diri. Hasil Pemilu ini sekaligus memperpanjang masa jabatan Koizumi.
Tapi Koizumi tetap menepati janjinya : ia hanya akan menjabat sampai September 2006, sesuai mandat yang didapatnya dari Pemilu sebelumnya. Jadi, sebenarnya Koizumi hanya butuh mandat rakyat untuk menjalankan program reformasi yang digagasnya. Dengan cara ini, seolah-olah ia menggelar referendum agar rakyat yang menentukan, siapa yang lebih di dukung. Sebab selama masa kampanye, issu yang dicuatkan hanya seputar masalah pro dan kontra privatisasi Perusahaan Pos. Koizumi tidak butuh memperpanjang masa jabatan, ia tetap akan lengser. Tapi setidaknya ia lengser dengan nama baik dan memberi legacy bagi rakyat Jepang.
September 2006, Koizumi benar-benar mundur setelah memastikan program privatisasi kantor Pos sudah berjalan. Kini, rakyat Jepang yang menikmati manfaatnya. Dana yang terserap di kantor pos benar-benar untuk pembangunan dan pelayanannya pun meningkat. Itulah “warisan” yang ditinggalkan Koizumi setelah 2x masa jabatannya. Sayangnya, 3 PM setelah Koizumi : Shinzo Abe, Yasuo Fukuda, dan Taro Aso, tidak bisa membendung amarah rakyat dan hanya bertahan sekitar satu tahun.
Tujuh tahun lalu rakyat Jepang, yang terkenal konservatif, menaruh harapan kepada Koizumi untuk mereformasi politik Jepang. Namun, tampaknya partainya, LDP, belum siap mengubah diri. Sama seperti Indonesia : 2004 rakyat menaruh harapan besar SBY mampu membalikkan keadaan menjadi lebih baik. Ketika hasilnya tak seberapa, rakyat masih bersabar dan memberi kesempatan SBY untuk me-“Lanjutkan!”. Dengan slogan “Katakan TIDAAAKK pada korupsi” dan “Saya akan berdiri paling depan menghunus pedang melawan korupsi” rakyat kembali mempercayakan tampuk pimpinan negeri ini pada SBY.
Hanya 1,5 tahun setelah menjabat untuk kedua kali, terungkaplah borok yang sebenarnya sudah ada setahun sebelumnya. Bermula dari Nazaruddin yang tak mau harus menanggung sendiri ulahnya, ia menyanyi sekeras-kerasnya, siapa saja yang ikut menikmati “kue” pemberiannya. Ketika Nazar masih buron, Juli 2011, Partai Demokrat mengadakan Rakernas untuk konsolidasi. Dsalam kesempatan itu, SBY dengan wajah memelas berpidato, berharap Nazar dimana pun ia berada jika menonton “Saudara Nazaruddin, pulanglah…”. Sebuah kalimat ketidakberdayaan seorang Bapak yang hanya bisa mengharap kesediaan anaknya untuk pulang, bukan menyuruh dan memaksanya pulang.
Dihadapan peserta Rakernas, SBY dengan lantang berkata : “Saya akan berdiri paling depan membela partai ini!”. Rakyat jadi bingung, sebenarnya SBY mau berdiri di depan siapa? Berdiri di depan pasukan pemberantas korupsi atau di depan para pendekar silat lidah? Sekaranglah komitment SBY benar-benar diuji : akankah ia berdiri paling depan dengan pedang terhunus dan siap membabat siapa saja? Seperti Koizumi membabat politisi di internal LDP yang mengkhianati cita-cita reformasi. Akankah SBY teguh pada komitmentnya untuk “katakan TIDAAAAKK pada korupsi” sehingga siapa saja yang terendus bau asap korupsi akan disuruh menyingkir? Seperti Koizumi teguh pada komitmentnya menjaga agenda reformasi.
Nah, kalau Pak SBY berani memilih teguh pada janjinya dan berani membersihkan internal partainya sendiri, masih ada waktu 2,5 tahun untuk mengambil hati rakyat. Bukan untuk terpilih kembali – karena itu tak diijinkan oleh konstitusi – tapi untuk memberikan “warisan” berharga bagi rakyat Indonesia : memberantas korupsi itu harus dimulai dari dalam rumah sendiri. Menghunus pedang itu kepada musuh yang terdekat, niscaya musuh yang jauh akan lari ketakutan. Bukankah Pak SBY ingin 2014 nanti melepaskan jabatan dengan dikenang sebagai pemimpin yang baik dan menepati janjinya?
Di akhir masa jabatannya, Jun-i-chiro Koizumi berkunjung ke Amerika Serikat, salah satunya ke museum Elvis Presley – idolanya sejak muda dulu – dan bernyanyi serta berjoget ria di sana bersama para pengemar Elvis dan istri serta anak mendiang Elvis. Saya rasa, kalau saja Pak SBY bisa meniru langkah-langkah Koizumi, barulah nanti beliau bisa bikin album ke-5 yang judulnya “Kusudah Sampai Disana” (sekuel dari album ke-3 : Kuyakin Sampai Disana). Tapi kalau Pak SBY tetap gamang dan malah berdiri paling depan melindungi Partai Demokrat, maka judul album ke-5 adalah “Kugadaikan Negeriku (modifikasi dari lagu almarhum Gombolh : Kugadaikan Cintaku).
Ah, semoga saja Pak SBY sekarang ini sedang berpikir keras mencari jalan terbaik, bukan sedang cari inspirasi untuk menulis lagu. Semoga…