Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Skor TOEFL 600, Tapi Bawang Putih Impor Tetap Menguasai 95% Pasar

5 Januari 2012   03:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:19 460 3

Menteri Perdagangan Gitta Wiryawan berniat akan mensyaratkan para PNS di jajaran Kementrian Perdagangan memiliki nilai TOEFL 600. Syukurlah…, akhirnya ada juga aparatur negara yang mensyaratkan kompetensi tinggi. Kalau benar-benar tercapai, tentu nantiPNS tak akan lagi dipandang sebelah mata. Tapi tunggu dulu, bisakah hal itu tercapai, bukankah nilai TOEFL 600 itu sangat tinggi? Pak Gitta menantang siapapun yang tak percaya, beliau akan menunjukkan 258 karyawan BKPM yang katanya sangat “ready and willing” untuk itu dan mereka telah membuktikannya dimulai dari skor 348 sampai sekarang mampu mencapai 600 tanpa pernah sekolah di luar negeri. Syukur sekali lagi, berarti memang keinginan itu bukan mimpi di siang bolong. Lalu kenapa PNS di jajaran Kemendag harus ber-TOEFL 600? Supaya lancar dalam bernegosiasi dengan “pedagang” asing, tentu saja.

Oke, semua alasan itu bisa diterima dan masuk akal. Untuk memenangkan “pertarungan” di dunia perdagangan orang memang harus piawai dalam bernegosiasi, mirip berdiplomasi dalam politik luar negeri. Untuk bernegosiasi dan berdiplomasi, memang perlu banget menguasai bahasa asing sesuai bahasa lawan bicara. Tapi itu nomor 2, sebab kelancaran berbahasa bisa ditutupi dengan menggunakan jasa penterjemah. Yang nomor 1 justru talenta bernegosiasi dan berdiplomasi itu sendiri. Sebab untuk urusan ini justru tidak bisa diwakilkan.

Jepang, negara yang mayoritas penduduknya sangat buruk bahasa Inggrisnya. Ini terjadi bukan hanya di tingkat anak sekolah saja, bahkan pada orang dewasa yang telah berpendidikan cukup tinggi dan memiliki posisi tinggi dan penting di Perusahaan berskala internasional pun, kemampuan bahasa Inggrisnya belum tentu baik. Dan semua itu tanpa malu diakui oleh orang Jepang sendiri. Saya pernah magang di perusahaan telekomunikasi Jepang, NTT, dan meski ini perusahaan world class company, tetap saja bahasa Inggrisnya payah. Ketika mereka membuka pameran tentang anek produk dan layanan komunikasi super canggih terbaru yang mereka luncurkan, karyawan yang ditugaskan berjaga di pameran pun tak mahir berbahasa Inggris. Mereka tinggal men-demo-kan kemampuan teknis dan feature-feature alat-alat canggih itu. Tentu sudah disediakan brosur lengkap dengan 2 bahasa : Jepang dan Inggris. Calon buyers bisa membaca versi bahasa Inggrisnya jika mereka tak bisa berbahasa Jepang. Teman saya yang warga Mongolia sempat mencibir : “bagaimana Amerika akan datang membeli produk mereka kalau mereka tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris?”. Tapi faktanya? Buyers tetap membeli produk canggih mereka.

Begitulah kita, terkadang keliru dalam menentukan skala prioritas, mana yang lebih penting dan membawa dampak signifikan, dan mana yang hanya pelengkap dan penyempurna saja. Tapi sebagai sebuah cita-cita, gagasan Pak Gitta Wiryawan patut diapresiasi. Hanya saja jangan lupa : meningkatkan kompetensi dalam bernegosiasi, kemampuan menjual, mempengaruhi pembeli, itu semua justru harus lebih dulu diutamakan. Mungkin skala prioritasnya bisa diatur : pegawai yang punya talenta menjadi juru runding yang tangguh dan handal, bisa di-drill bahasa Inggrisnya sampai mendapat skor TOEFL 6000. Kalau perlu, pegawai yang potensial seperti ini diberi fasilitas kursus privat kepada guru native speaker.

Pada masa dipimpin Ibu Marie Elka Pangestu, kita tahu pasar kita diserbu produk-produk asing yang serba impor. Bahkan hasil pertanian pun dikepung produk impor. Ada beras impor, kentang impor, gula impor, garam impor, sampai-sampai Pak Fadel Mohammad tersingkir gara-gara mau membela nasib petani garam. Hal yang sama juga terjadi di pasar alat elektronik dan barang-barang lain yang hampir semuanya dibanjiri produk-produk China. Apakah neraca perdagangan kita yang minus ini juga gara-gara pegawai di jajaran Kemendag gak lancar berbahasa Inggris? Ah, saya yakin 1000% pasti bukan itu penyebabnya. Jangan-jangan nanti petani kita pun diminta punya skor TOEFL 500 agar produk mereka mampu bersaing di pasaran.

Bagaimana sebuah “pasar” dikelola agar kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri adalah persoalan kebijakan dan regulasi. Dan karena kebijakan serta regulasi itu kewenangan penguasa, maka goodwill dari penguasalah yang menentukan. Masih ingat jaman Orde Baru dulu ada BPPC yang kemudian dipelesetkan Badan Pengacau dan Perusak Cengkeh karena telah membuat nasib petani cengkeh makin terpuruk? Nah, begitu pula ketika kentang impor menyerbu pasar sementara petani kentang kita justru kesulitan memasarkan hasil panennya. Contoh lain adalah ketika pengrajin dan pengusaha mebel lokal kesulitan bahan baku rotan, Bu Marie justru membuka keran ekspor rotan mentah (bukan rotan olahan), bukankah ini ironi? Sekali lagi semua karena kebijakan, yang menentukan arah keberpihakan mereka yang sedang diberi kuasa untuk menentukan warna warni perdagangan kita. Ketika kebijakan tak berpihak pada petani, ketika regulasi tak menguntungkan pengusaha lokal dan tidak memproteksi industri kecil dan menengah, maka sepintar apapun pegawai-pegawai di Kemendag, proporsi barang yang beredar di pasaran tak akan berubah : tetap didominasi produk impor, nasib petani dan pengusaha lokal makin tersingkir.

Kemarin, TV masih memberitakan soal bawang putih di pasaran yang tetap dikuasai bawang putih impor sampai 95%. Ini bulan ketiga Pak Gitta Wiryawan menggantikan Ibu Marie Elka Pangestu menjadi orang nomor 1 di Kemendag. Targetnya 90% produk yang beredar di pasar lokal adalah produk lokal. Ketika host acara AKI Pagi di TV One menanyakan soal ini kepada Gitta Wiryawan, jawaban beliau normatif saja : kami mentargetlkan! Justru beliau terkesan menyalahkan besarnya tingkat konsumsi masyarakat. Lho, bawang putih kan memang sejak dulu bumbu masak utama di hampir semua masakan khas Indonesia? Tentunya bukan tiba-tiba orang Indonesia doyan mengunyah bawang putih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun