Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Karena Berdampak Seumur Hidup, Vonis Bersalah Seharusnya Mempertimbangkan Niat dan Motivasi Pelaku

5 Januari 2012   10:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 498 0

Akhirnya, anak remaja AAL yang dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap divonis bersalah oleh hakim. Sebagai hukumannya ia dikembalikan kepada kedua orang tuanya. AAL memang tidak harus menjalani hukuman kurungan, tapi vonis bersalah itu membuktikan bahwa dirinya terbukti mencuri. Stempel sebagai pencuri akan melekat seumur hidupnya. Remaja yang kini kelas 1 SMK, 2 tahun lagi akan lulus sekolah dan mungkin akan mencari pekerjaan. Umumnya, salah satu kelengkapan administrasi yang dipersyaratkan sewaktu melamar adalah SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang dulu namanya SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik). Entah bagaimana kelak nasib AAL saat harus mengurus SKCK, apalagi surat itu dikeluarkan oleh Kepolisian, institusi yang pernah "berseteru" dengannya.

Saya setuju banget setiap tindakan pencurian sekecil apapun tetap harus dihukum, jika memang diniatkan untuk mencuri. Bukan karena nilai benda yang dicuri, tapi karena perbuatan mencuri itu adalah melanggar hukum. Tapi setiap tuduhan yang berdampak hukum, haruslah dibuktikan kebenarannya. Selain itu, niatan dan motivasi untuk melakukan tindakan pencurian yang patut diduga memang dimaksudkan untuk tujuan kriminal dan untuk mengambil keuntungan, haruslah menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan tuduhan kriminal.

Lho, bukankah setiap pencuri pasti berniat untuk mencuri? Bisa jadi, tapi pasti ada alasan kenapa seseorang sampai mencuri. Ada yang memang berpikiran jahat ingin mengambil milik orang lain, ada juga yang karena terpaksa karena didesak kebutuhan. Di jaman Rasulullah dan para Khalifah berkuasa, rakyat miskin yang mencuri makanan hanya sekedar cukup untuk mengganjal perut, maka ia tidak akan dihukum, bahkan Khalifah sendiri yang akan memikul karung gandum untuk diantarkan ke rumah si pencuri miskin itu. Tentu akan berbeda jika yang dicuri adalah sekarung beras yang lebih dari cukup untuk makan sekeluarga sampai kenyang, apalagi kalau niatnya barang curian itu akan dijual kembali.

Kak Seto Mulayadi – psikolog dan pemerhati anak – bercerita masa kecilnya dulu ia nakal, sering mencuri tebu, mangga dan lain-lain, tapi tak pernah harus sampai berurusan dengan hukum. Nah, pencurian yang dilakukan anak-anak, umumnya karena mereka ingin menikmati sesuatu, tapi mereka tak punya uang untuk membeli dan takut untuk meminta kepada yang empunya. Bisa jadi juga hanya sekedar tindakan iseng, ikut-ikutan teman atau sekedar simbol “keberanian” ala anak-anak. Saya setuju 1000% persen seorang anak yang nyolong tebu dan melempar mangga tetangga sekalipun harus “dihukum”. Marahi mereka atas kesalahannya, ajari mereka meminta ijin dulu pada pemiliknya jika memang ingin makan mangga dan tak punya uang untuk membeli. Hukum mereka dengan menyuruh mengembalikan mangga curiannya sambil meminta maaf kepada si empunya. Kalau mangganya terlanjur habis dimakan beramai-ramai, suruh mereka meminta maaf dan nanti terima saja jika si empunya marah. Dengan hukuman seperti itu saja anak-anak sudah merasa malu, takut dan mungkin kapok. Kalau gak kapok, ya pastilah anak bandel dan perlu dididik lebih baik lagi.

Ada juga yang “mencuri” tapi dia tak tahu bahwa perbuatannya dikategorikan mencuri. Masih ingat Nenek Minah yang tahun 2009 lalu diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara dengan masa percobaan 1,5 tahun gara-gara “mencuri” 3 biji kakao? Memang Nenek Minah tak sampai harus dipenjara, karena selama 1,5 tahun Nenek Minah memang tidak melakukan tindakan kriminal. Dasarnya Nenek Minah memang bukan pelaku kriminal. Nenek Minah tidak tahu bahwa perbuatannya dikategorikan mencuri. Ia terbiasa memunguti kakao yang jatuh, untuk dijadikan bibit di tanam di pekarangan rumah sederhananya. Tanaman kakao yang bijinya jatuh dan dipungut Nenek Minah milik sebuah perusahaan perkebunan. Dan karena Nenek Minah memungut sesuatu yang berada di area milik perusahaan perkebunan, maka pemilik perusahaan merasa berhak mengajukan Nenek Minah ke Polisi dengan tuduhan mencuri.Meski sejatinya 3 biji kakao itu didapat tergeletak di tanah dan bukan dipanjat oleh Nenek Minah yang polos dan lugu itu.

Juga sekeluarga orang kampung yang lugu, yang memungut sisa-sisa randu bekas panenan kapas sebuah perusahaan. Ketika kemudian mereka diseret ke pengadilan, mereka keheranan sebab sama sekali tak merasa mencuri. Bukankah perusahaan itu sudah usai panen dan yang mereka ambil adalah sisa-sisa buangannya yang menurut pemikiran mereka sudah tak terpakai? Memang bisa saja Nenek Minah dan keluarga pemungut sisa randu itu salah, karena tak minta ijin dulu kepada pemilik “barang bekas” dan “barang jatuh” itu. Tapi siapa pemiliknya? Wong cilik seperti mereka apa iya harus menemui Manajer perkebunan untuk minta ijin atas sesuatu yang sepele? Ketidak tahuan dan tidak adanya niatan mencuri, seharusnya jadi pertimbangan dalam menjatuhkan vonis.

--------------------------------------------------------

Kembali ke laptop – pinjam istilah Mas Tukul – bagaimana dengan anak remaja AAL, terbuktikah ia mencuri sandal Briptu Ahmad Rusdi Harahap? Briptu ARH, menurut pengakuannya – sekali lagi "menurut pengakuannya" – kehilangan sebuah sandal merk Eiger berukuran 43 dan menurut pengakuannya pula dia sudah 3x kehilangan sandal dengan merk yang sama. Tetapi faktanya, yang diajukan sebagai barang bukti justru sandal merk Ando bernomor 12 yang "diambil" oleh AAL. Dikatakan “diambil” karena sandal itu tergeletak di luar halaman rumah kost Briptu ARH. Jadi bisa diasumsikan itu sandal tak bertuan. Apa bedanya dengan pemulung yang memungut benda-benda layak pakai yang ditemukannya di jalan? Sandal tak bertuan dan berbeda "spec" pula dengan sandal yang dituduhkan. Lalu bagaimana tuduhan itu bisa terbukti?

Apalagi tuduhan itu terkesan mengada-ada dan lebay! Briptu ARH yang mengaku sudah 3x kehilangan sandal yang sama – meski itu hanya sekedar pengakuan tanpa bukti dan belum tentu pula 3x itu pencurinya adalah orang yang sama – pernah meminta kepada ayah AAL untuk mengganti sandal seharga @ Rp. 85.000,- yang disanggupi oleh ayah AAL untuk membayarkan berupa uang senilai Rp. 255.000,-. Karena saat itu sudah malam dan toko sudah tutup. Tapi Briptu ARH menolak dan tetap meminta ganti rugi berupa 3 pasang sandal. Ini sangat keterlaluan mengada-ada kan? Artinya : memang ada niatan si Briptu untuk mengkriminalisasi AAL karena sudah terlanjur melakukan penganiayaan yang kemudian dilaporkan oleh Ibunda AAL.

Sekali lagi, kasus sepele yang terlalu dibesar-besarkan ini telah mencoreng wajah peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, berita tentang ini sudah dimuat di The Washington Post, sebuah koran bergengsi dengan oplah besar di Amerika Serikat. Polisi yang mengada-ada dan hakim yang kurang berpikir panjang tentang masa depan remaja ini, sudah menodai hidup dan masa depan AAL. Seumur hidupnya, AAL akan tetap menyandang predikat “terpidana” bersalah mencuri sepasang sandal jepit butut!

Referensi :

http://www.tempo.co/read/news/2012/01/04/063375361/Kejanggalan-di-Kasus-Sandal-Jepit-AAL

http://www.tempo.co/read/news/2012/01/04/063375358/Begini-Kasus-Skandal-Jepit-Versi-Polisi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun