Kasus penganiayaan junior oleh senior di STIP Marunda, Cilincing, kini menemukan fakta baru. Dari hasil pemeriksaan polisi terhadap 7 tersangka dan dikonfrontasi langsung dengan salah satu dari 6 korban, diketahui bahwa "prosesi"penyiksaan itu sudah direncanakan sejak pagi harinya di kantin sekolah. Saat itu salah satu korban dipanggil seniornya untuk membawa serta 14 rekannya ke rumah kost salah satu senior. Namun, siswa junior itu tak bisa mengumpulkan 14 orang, hanya 7 orang. Ketujuh orang itu tidak datang bersamaan, awalnya datang 3 orang, lalu disusul 3 orang lagi. Dimas Dikita Handoko adalah siswa yang datang terakhir, sendirian.
Meski perbuatan penyiksaan itu dilakukan di rumah kost, di luar lingkup sekolah, perencanaannya dilakukan sejak di sekolah. Bahkan kemarin, ibunda Dimas Handoko mendatangi Polda Metro untuk memberikan bukti baru berupa kicauan Twitter antara akun@andiafri00 (diduga milik tersangka Angga) dengan akun@Gizord (diduga milik tersangka Gabriel Hutahaean) yang dilakukan pada Jumat,25 April 2014 pukul 20.40 WIB. Diduga tersangka berencana menghabisi juniornya, di mana ada kata “eksekusi” dan “main tangan”. Kini polisi tengah mendalaminya.
Dari sini terlihat betapa digdayanya senior sehingga bisa memerintahkan junior untuk datang ke tempat kost senior di luar jam sekolah. Begitu pula betapa tak berdayanya junior menolak, bahkan di waktu yang seharusnya menjadi jam bebas mereka di akhir pekan. Dominasi dan superioritas senior sedemikian besar dan punya daya paksa. Padahal, semestinya junior sudah bisa menduga maksud perintah seniornya itu untuk melakukan "pembinaan", yang konotasinya identik dengan tindak kekerasan. Para senior pun sudah mempersiapkan sedemikian rupa, termasuk memutar musik dengan volume tinggi sehingga suara teriakan dan rintihan tak bisa didengar warga sekitar tempat kost yang dijadikan ajang penyiksaan.
Kekerasan baru terhenti ketika Dimas – yang sudah beberapa kali merintih – terjatuh untuk kedua kalinya dengan posisi kepala membentur lantai. Dimas pingsan, para senior berusaha membuat Dimas siuman dengan memercikkan air dan mengolesi minyak angin. Namun, setelah 20 menit upaya itu gagal, terpaksa mereka melarikan Dimas ke RS Pelabuhan, Koja, dengan keterangan Dimas jatuh di kamar mandi. Namun, pihak RS yang curiga melihat lebam di tubuh Dimas, segera menghubungi polisi dan ketujuh senior itu pun akhirnya mengaku bahwa mereka telah melakukan pemukulan terhadap Dimas dan 6 orang rekannya yang turut dirawat di RS Pelabuhan.
Menurut keluarganya, tubuh Dimas mulai dari dada ke bawah penuh lebam membiru dan ulu hatinya hancur di dalam. Sebenarnya lebam-lebam yang ada di tubuh Dimas bukan sekali ini saja dilihat keluarga. Salah satu tante Dimas yang diwawancara Metro TV menceritakan bahwa 2 bulan lalu Dimas sempat pulang ke Medan. Saat Dimas menanggalkan pakaian hendak mandi, tantenya melihat punggung Dimas penuh dengan bekas memar yang lebam membiru. Tantenya menanyakan kenapa sampai begitu. Dimas hanya menjawab, “Ah..., biasa itu, tattoo dari senior.”
Dimas menyebut apa yang membekas di tubuhnya sebagai tattoo dari senior dan itu sudah biasa. Artinya: kekerasan senior terhadap junior sebenarnya sudah jadi kebiasaan. Kalau selama ini tak pernah terungkap, karena tak sampai ada korban jiwa atau korban luka serius yang perlu dibawa ke rumah sakit. Mei 2008, taruna tingkat I STIP Agung Bastian Gultom tewas dianiaya seniornya di lorong STIP. Ada 9 orang teman Agung lainnya yang mengalami luka-luka. Tersangka pelakunya adalah 10 taruna tingkat II STIP.
Kasus yang menghebohkan itu kemudian disusul dengan beredarnya video kekerasan senior terhadap junior STIP di dunia maya. Namun, pihak STIP membantah video itu terkait dengan kematian Agung dan mengatakan itu kejadian tahun 2006. Sebenarnya, tahun berapa pun kekerasan itu terjadi, tetap tak mengubah fakta bahwa kekerasan senior terhadap junior di STIP memang ada. Bahkan dengan pengakuan itu, menunjukkan bahwa kematian Agung hanyalah puncak gunung es, di mana kekerasan sudah terjadi bertahun sebelumnya. Kalau tak ada yang nekat mengunggah video di internet atau tak sampai ada korban jiwa, maka kekerasan itu akan selamanya tertutupi.
Hal ini sama dengan yang telah beberapa kali terjadi di IPDN/STPDN. Yang sempat mencuat ke media dan ramai diberitakan adalah meninggalnya praja Wahyu Hidayat pada tahun 2003 dan praja Cliff Muntu pada tahun 2007. Dalam kasus Cliff Muntu, pihak IPDN bahkan diduga ikut menutupi kasusnya dengan memerintahkan jenazah Cliff disuntik formalin untuk menutupi bekas penyiksaan. Cliff kemudian dinyatakan meninggal akibat sakit liver. Pemberitaan atas kasus ini terus menggelinding hingga akhirnya pihak yang menyuntikkan formalin ikut dijadikan tersangka. Bahkan rektor pun dinonaktifkan.
Berkat keberanian Inu Kencana Syafei, salah seorang staf pengajar IPDN, terkuaklah banyak kasus kekerasan di IPDN. Sejak kasus kematian tak wajar Wahyu Hidayat pada 2003, Inu sudah bersuara keras. Bahkan pada 2006, menjelang wisuda, Inu menemukan 10 pembunuh Wahyu Hidayat masuk dalam daftar yang akan diwisuda oleh Presiden SBY. Ini artinya praja yang melakukan penganiayaan berat hingga menyebabkan kematian, tetap bisa melanjutkan sekolah. Inu Kencana kemudian menghubungi jubir presiden saat itu, Andi Mallarangeng, yang berakibat dicabutnya gelar akademik 10 orang tersebut. Bahkan, menurut pengakuan Inu, setelah kematian Wahyu Hidayat, ada dua praja lagi yang meninggal, namun kasusnya tak sampai mencuat keluar.
Inu kembali mengungkap rekayasa di balik kematian Cliff Muntu, yang berakibat Inu dimusuhi sesama pengajar IPDN. Belakangan, Inu menulis buku yang mengungkap +/- 17 kematian tak wajar praja IPDN dalam kurun 1990 – 2007. Sanksi berat hingga pemecatan baru diberlakukan sejak 2007, ketika kasus kematian Cliff Muntu mencuat ke publik. Sejak itu, sudah 45 praja yang diberhentikan. Kini, tak terdengar lagi kasus kekerasan di IPDN. Memang sempat beredar kabar kematian praja Yudhi Wardhana Siregar pada Mei 2012 dan Jonoly Untajana pada Januari 2013, namun keduanya dianggap penyebab kematiannya wajar.
Namun, 2 hari belakangan tersiar kabar ada 5 praja wanita IPDN yang dibawa ke RS Mata Cicendo, Bandung, karena mata mereka terkena cipratan pembersih lantai. Pihak RS Mata Cicendo mengatakan cairan yang mengenai mata kelima praja putri tersebut mengandung cairan asam. Kelimanya tak sampai dirawat inap, hanya menjalani pembersihan. Kemudian beredar kabar bahwa pada Minggu 27 April lalu terjadi perselisihan berujung keributan antara praja putri tingkat III dan tingkat II, yang menyebabkan 5 praja terkena cipratan cairan pembersih lantai. Namun demikian, pihak IPDN membantah keras dugaan adanya penganiayaan dan mengatakan bahwa kelima praja itu terkena cipratan lumpur saat hujan deras mengguyur kampus mereka pada Minggu sore lalu.
Agak naif rasanya jika ada 5 orang gadis yang sudah cukup dewasa, kecipratan lumpur. Apakah kelimanya bermain hujan-hujanan dan saling mencipratkan air hujan? Begitu pun kalau misalnya mereka kerja bakti membersihkan asrama, terlalu ceroboh kalau sampai 5 orang terkena cipratan pembersih lantai bersamaan. Sebab pekerjaan mengepel lantai dengan cairan pembersih bukan pekerjaan sulit, anak lulusan SD pun bisa melakukannya tanpa harus kecipratan matanya. Namun, mengingat kasus ini sedang didalami pihak kepolisian, ada baiknya kita tunggu saja. Sejauh ini Kepolisian merasa IPDN sangat tertutup atas kasus ini dan tak mau memberikan data 5 praja putri yang menjalani pengobatan mata itu.
Potong Satu Generasi dan Serahkan Pembinaan Siswa pada Pihak yang Punya Kompetensi
Umumnya, sekolah yang memiliki tradisi kekerasan senior terhadap junior adalah sekolah kedinasan di mana ada interaksi yang sangat intens antara siswa-siswanya. Jadwal sekolah yang rutin dan durasinya panjang, belum lagi kalau siswa-siswa itu tinggal di asrama, membuat mereka selalu bertemu. Ditambah lagi dengan penanaman pemahaman bahwa junior harus hormat dan tunduk pada senior. Hormat di sini lebih diartikan “takut”, sehingga mereka yang dianggap kurang hormat perlu dihajar secara fisik. Kekerasan berlangsung kapan saja, meski yang mencuat hanya yang berujung kematian. Tradisi ini seolah mata rantai dendam yang terus dikobarkan. Kelak, tahun depan, jika junior sudah naik tingkat II, mereka “boleh” berlaku serupa ke juniornya yang baru masuk. Kalau mereka sudah tingkat III, mereka punya kuasa untuk menegur siswa tingkat II dan menyiksa siswa tingkat I. Begitu seterusnya, selalu ada junior baru yang akan jadi samsak hidup bagi para senior dan selalu ada senior yang merasa perlu melampiaskan dendamnya pada junior (karena tak mungkin melampiaskannya pada senior).
Lalu bagaimana memutus mata rantai itu? Satu-satunya jalan adalah merombak total sistem pendidikan dan hubungan senior-junior, setelah sebelumnya melakukan “potong 1 generasi”. Satu generasi adalah selama 3 tahun. Sampai tak tersisa lagi junior yang pernah mengalami penyiksaan senior. Sebab, bagaimanapun, mereka yang pernah mengalami penyiksaan, apalagi berlangsung selama kurun waktu lama terus-menerus, mustahil tak menyimpan dendam. Mereka tentu tak akan membiarkan siswa baru enak-enakan tanpa “dibina”, sebab mereka dulu harus menderita menghadapi “pembinaan” para senior.
Maka, jika kementerian terkait yang mengelola sekolah tersebut serius ingin menghentikan kekerasan, harus berani menutup sementara sekolah kedinasan di bawah kementeriannya. Dengan tidak menerima siswa baru sampai siswa terakhir lulus dari sekolah itu. Tiga tahun itu adalah saat siswa angkatan terakhir naik ke tingkat II, lalu tingkat III dan terakhir tingkat IV hingga diwisuda. Dengan kata lain, hanya menyelesaikan jenjang pendidikan siswa angkatan terakhir. Dengan begitu, saat penerimaan siswa baru nanti, tak ada lagi senior. Siswa baru hanya berhadapan dengan pihak manajemen sekolah dan para guru pengajar.
Namun, mindset pengelola sekolah dan para guru pengajar pun harus dirombak total. Jangan sampai tradisi kekerasan justru dilanjutkan oleh para pengajar dan pengasuh, yang masih memiliki paradigma berpikir bahwa mendisiplinkan siswa hanya bisa dilakukan dengan memberinya tindak kekerasan. Kalaupun dirasa perlu adanya penanaman sikap mental yang tangguh, tertib dan disiplin serta teruji kekuatan fisiknya, maka serahkan penggemblengan itu pada ahlinya. Bukan dilakukan oleh senior yang buta aturan pembinaan fisik dan mental, tindakannya tak terpola dan ngawur, semata mengedepankan arogansi senioritas.
Jika sekolah kedinasan merasa perlu menempa siswanya dengan disiplin ala militer, sekalian saja bekerja sama dengan lembaga pendidikan militer. Susun kurikulumnya, tetapkan tujuannya dan tentukan durasinya. Misalnya, siswa yang baru diterima, sebelum mengikuti perkuliahan, wajib lulus latihan pembinaan sikap mental dan disiplin selama 2-3 bulan. Serahkan siswa ke tangan pelatih yang punya kompetensi, di mana kondisi fisik siswa juga dipantau. Siswa yang pada suatu ketika sedang tidak fit untuk mengikuti latihan fisik, bisa diganti dengan latihan bentuk lain atau diberikan porsi latihan yang lebih ringan. Sebab orang sehat secara medis, belum tentu bugar untuk mengikuti latihan fisik dengan porsi yang sama dan seragam. Orang hendak latihan olah raga saja harus diukur dulu berapa denyut nadi istirahat, denyut nadi pemanasan dan denyut nadi latihan, agar tak terjadi over trained yang menyebabkan jantung bekerja ekstrakeras.
Menyerahkan pembinaan sikap mental pada senior, sama saja dengan menyilakan dilakukan tendangan bebas, pukulan dan hantaman bertubi-tubi tanpa memperhatikan area yang disasar. Kaki lengkap dengan sepatu dipakai menendang dada tanpa pelindung. Kepalan tangan dipakai untuk membogem wajah termasuk dagu. “Pembina(sa)an” bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, tak peduli korban sudah kelelahan dan kesakitan. Hasilnya?! Tidak ada! Bukan sikap mental disiplin tinggi, namun dendam kesumat dan sakit hati.
Jika pembinaan itu dilakukan oleh instruktur yang punya kompetensi, tentu akan ada hasilnya. Kalau kurun waktu 2-3 bulan di awal masa pendidikan dirasa tak cukup untuk menanamkan sikap mental disiplin, bisa saja dilakukan penyegaran (refreshing) dan peningkatan (upgrading) terhadap siswa setiap kali mereka naik ke jenjang lebih tinggi. Misalnya untuk siswa tingkat II dan III, setiap mulai tahun ajaran baru diwajibkan mengikuti latihan serupa namun dengan porsi yang berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda, dengan durasi cukup 1 bulan saja. Dengan demikian, semua siswa ditangani oleh intruktur yang memang diberi otoritas untuk mendidik mereka. Tidak ada interaksi senior dengan junior, sehingga tak ada dendam. Kalaupun ada siswa yang dihukum karena lalai, bentuk dan intensi hukuman terukur.
Di luar masa pembinaan mental dan disiplin, semua siswa kembali ke proses belajar mengajar tanpa kekerasan. Siswa tak perlu dipisahkan berdasarkan daerah asalnya, justru harus diupayakan pembauran antarsiswa dari berbagai daerah dalam satu kelas. Sebab, ketika memasuki dunia kerja, bukan tidak mungkin nanti senior dan junior dari manapun beraal, berada dalam satu teamwork yang justru mengharuskan mereka kompak. Bagaimana kerja sama akan terjalin baik kalau ada benih-benih dendam antar angkatan? Bagaimana junior bisa ikhlas bekerja dengan senior penyiksanya?
Selama kementerian yang terkait dengan sekolah kedinasan tak punya tekad kuat untuk menghapuskan tradisi kekerasan di lembaga pendidikannya, selama itu pula tragedi Wahyu, Cliff, Dimas akan terus terulang. Pelaku dipecat dan dihukum, terbukti tak membuat jera, sebab dendam sudah membara. Junior yang dulu jadi korban, suatu saat akan jadi senior sekaligus pelaku. Karena hanya dengan cara meniru seniornya, dendam mereka terbalaskan. Tradisi ini menimbulkan dendam, karena itu mau tak mau harus diberantas sampai ke akarnya. Potong dulu satu generasi, lalu lahirkan generasi baru yang bebas dendam, pembinaan mental pun ada hasilnya. Semoga tak ada lagi kasus kekerasan di IPDN dan STIP atau sekolah mana pun.