Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menyusuri Bayang Sensor: Wajah Pers Da CENGKRAMAN KEKUASAAN ORDE BARU

22 Desember 2024   14:30 Diperbarui: 22 Desember 2024   14:15 35 0
Pers memiliki peran vital dalam kehidupan demokrasi, terutama sebagai pilar keempat yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, sejarah mencatat bahwa pers sering kali menjadi arena pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan, sebagaimana terjadi di Indonesia pada era Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pers tidak hanya berfungsi sebagai media informasi tetapi juga alat kontrol yang dikendalikan dengan ketat. Situasi ini mengangkat pertanyaan besar: apakah pers benar-benar mampu menjadi suara rakyat di bawah tekanan rezim otoriter? Di balik janji stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, pemerintahan Orde Baru membawa pendekatan represif terhadap media. Kebijakan-kebijakan seperti penerapan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan pemberlakuan sensor menyeluruh menjadi simbol dari upaya membungkam suara-suara yang berbeda pendapat. Media yang berani menyuarakan kebenaran dihadapkan pada ancaman pembredelan, yang tidak hanya melumpuhkan redaksi tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis. Namun, kendali ini tidak sepenuhnya berhasil. Pers Indonesia, baik yang legal maupun gerakan bawah tanah, menemukan cara untuk bertahan. Kritik halus melalui satire, metafora, dan berita tersirat menjadi senjata perlawanan. Bahkan pers mahasiswa, yang sering kali dianggap marginal, memainkan peran penting dalam menyuarakan kritik terhadap kekuasaan. Keberanian ini menjadi bukti bahwa pers selalu memiliki daya hidup untuk melawan tekanan. Fenomena ini menarik karena pada saat yang sama, pers juga menjadi alat propaganda pemerintah. Media seperti TVRI dan RRI dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi tunggal yang mendukung legitimasi rezim. Publik dipaksa untuk mengonsumsi informasi yang telah disaring, menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi milik segelintir pihak. Kontradiksi ini menempatkan pers sebagai aktor yang berada di persimpangan moral, antara menjadi corong kekuasaan atau tetap memperjuangkan idealisme.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun