Sejatinya pendidikan menjadi awal kebangkitan kehidupan kita. Berbicara pendidikan di negara maju, maka mereka menanggap bahwa pendidikan sebagai pembawa kunci kesuksesan ekonomi mereka. Artinya adalah pendidikan bagus maka akan menciptakan ekonomi yang sangat luar biasa. Tapi, tidak semua negara mampu menjalankan konsep 'susah' ini. Sulit sekali menciptakan pendidikan yang bermutu excellence ketika masih saja ada orang yang bermain demi kepentingan dan kekuasaan mereka.
Di luar sana, dimana pendidikan benar-benar di ciptakan sebagai tempat orang mencari ilmu untuk bisa membangun bangsa. Nah, di Indonesia sendiri, apakah Anda juga akan merasakan hal yang seperti yang telah di lakukan oleh bangsa Eropa dan negara maju lainnya? Mungkin saja kita akan mengatakan ada juga. Kalaupun itu ada, itupun sedikit, artinya pendidikan kita masih jauh dari harapan-harapan untuk memajukan bangsa walaupun sejatinya tujuan dari pendidikan Indonesia adalah ingin mencerdaskan anak bangsa. Namun, sampai sekarang apa? Bukan maksud untuk tidak setuju dengan konsep ini. Bagaimana kita berjanji ingin mencerdaskan anak bangsa, konsep cerdas itu saja mungkin kita masih belum begitu mengetahui. Belum lagi kita berbicara yang lain.
Tulisan saya kali ini ingin membuka sedikit mata pembaca semua dengan kondisi pendidikan kita di Indonesia, dan Aceh khususnya. Saya sedikit menguak cerita kelam yang sedang di alami oleh pendidikan tinggi swasta di Aceh. Saya juga tidak menutup kemungkinan ini juga terjadi di luar Aceh. Entah sampai kapan cerita pedih dan menyedihkan ini akan berakhir. Satu saja kekhawatiran saya, saya tidak mau anak saya nanti juga menjadi bagian dari cerita kelam yang tidak pernah berujung ini.
Peminat siswa yang ingin kuliah di Aceh setelah menamatkan kuliah sangat lah besar. Semangat mereka harus kita acungkan jempol. Walaupun mereka tidak bisa lulus di kampus negeri, kampus swasta menjadi sasaran mereka pada akhirnya. Kampus swasta sekarang pun sudah beraneka ragam. Mereka semakin pintar menarik mahasiswa dengan iming-iming surga dari mereka. Â Kehadiran mereka juga tiba-tiba seperti kehadiran Nasi Goreng Jakarta- Seafood. Tidak tanggung-tanggung menawarkan beribu janji surga untuk menarik mahasiswa masuk ke perguruan tinggi mereka. Pihak kampus tidak mau peduli masalah akreditasi, kualitas dosen, kurikulum, dan tetek bengek lainnya. Itu menurut mereka urusan yang ke seratus. Yang penting mahasiswanya banyak yang mendaftar. Urusan tempat, kalau bisa di pakai tempat orang dulu juga tidak masalah. Asal uang masuk terus.
Masalah akreditasi akhirnya menjadi dilema besar ketika mahasiswa sudah setengah perjalanan di kampus tetapi mahasiswa menuntut akreditasi kampus mereka lebih bagus lagi agar bisa mencari pekerjaan dan ikut PNS. Akibat dari ini semua tidak berujung ke pihak pengelola kampus. Tapi masalahnya nanti ada di mahasiswanya. Pihak kampus paling-paling bangkrut nantinya, tapi bagaimana dengan ribuan nasib generasi bangsa kalau mereka mengeluarkan uang puluhan juta tapi kampus mereka tidak di akui. Mereka di rugikan secara materi dan usia.  Sebagian mahasiswa sangat jujur berkata bahwa saya kuliah untuk bisa bekerja, tapi apalah artinya ketika kampus saya tidak diakui di tempat saya bekerja. Artinya saya sia-sia. Selembar keretas majik yang dia anggap bisa menembus angkasa ini akhirnya harus tertidur pulas di kamar karena tidak laku di pakai. Akhirnya kertas putih berbentuk persegi panjang yang dihasilkan dari olahan pikiran selama empat tahun menjadi  lukisan indah di dinding sejajar dengan lukisan pemandangan dan burung di ruang tamu. Menyedihkan dan sangat tidak bernilai!
Disinilah muncul permasalahan lain yang harus memutar otak para pengelola perguruan tinggi swasta. Seharusnya jauh-jauh hari mereka sudah memikirkan ini, tapi inilah potret pendidikan di Indonesia, dan Aceh khususnya. Pendidikan menjadi lahan bisnis. Bisnis seperti membuka franchise KFC, Pizza Hut dan sebagai. Kalau seperti ini kasusnya maka jangan harap lagi perguruan tinggi swasta sekarang menciptakan generasi yang hebat. Semua bohong dan palsu itu. Tidak mungkin! Jangan percaya moto mereka dengan "Kami Hebat, Kami Memimpin, Kamu Maju" Semua adalah penipuan belaka. Bagaimana kalian bisa memimpin padahal kalian sendiri belum bisa memimpin diri sendiri.
Kembali ke akreditasi. Akreditasi kampus yang baik adalah harga mati bagi mahassiwa untuk mereka setelah lulus nanti. Pengurusannya tidak semudah kita bicarakan. DIKTI (Direktorat Perguruan Tinggi) memberikan akreditasi itu kepada kampus swasta dengan syarat-syarat yang cukup banyak. Salah satunya adalah setiap prodi baru harus ada 6 dosen S2 yang linear. Bagi kampus baru mencari dosen yang mau bekerja di tempat mereka tidak susah, tapi apakah dosen mau hanya di ekspolitasi data mereka saja ke DIKTI tapi tidak diberikan gaji perbulan? Â Kampus yang benar-benar ingin maju maka ini bukan menjadi masalah besar. Mereka akan mengikuti prosedur yang benar untuk data ke DIKTI, tapi bagi kampus lain yang berorientasi uang dan terus uang maka dengan berbagai cara dia akan dilakukan untuk mendapatkan data dosen untuk di kirimkan ke DIKTI tapi mereka tidak dipekerjakan.
Ujung-ujungnya dengan  kondisi ini adalah permainan sogok menyogok agar semua kelihatan sempurna. Hahah. Saya malah ingin ketawa saja kalau sampai hal-hal seperti ini masih juga di sogok. Tapi, jangan salah, banyak kasus (Tidak perlu saya ceritakan, Anda berhak menilai sendiri) kampus mana yang memberikan uang peliciin untuk pengurusan akreditasi agar beres dan sukses. Kalau seperti ini kejadiannya, manipulasi data sudah tidak tanggung-tanggung. Dosen yang tidak pernah mengajar di anggap pernah mengajar. Syarat dosen S2 juga di datangkan entah dari mana-mana saja, walaupun terkadang tidak linear. Bahkan ketika ada pengecekan sempat-sempat kampus membayar orang untuk ngaku-ngaku dia ngajar disitu. a
Selain akreditasi, kualitas dosen di kampus swasta juga menjadi hal lain yang menjadi pertimbangan dalam satu kampus, artinya adalah dosen sekarang ini bukan lagi dosen-dosen S1 yang tidak ada ilmu. Hampir kebanyakn dosen sekarang sudah S2 yang juga salah satu syarat menjadi dosen tetap di yayasan yang ditetapkan oleh DIKTI. Kualitas dosen negeri dan swasta di Aceh dari segi ilmu tidak ada beda sama sekali, tapi dari segi kantong maka akan sangat jauh berbeda. Beda nasib maka beda pula kepulan asap di rumah. Kampus mana yang sanggup membayar mahal dengan kehebatan dan profesionalitas keilmuan dosen yang sudah dia hire di kampus mereka? Boro-boro di bayar mahal? Jangan-jangan selama ini dibayar dibawah UMP. Atau masih dibayar 6 bulan sekali dan itu pun sekali pertemuan cuma 50 ribu.
Berbicara profesionalitas maka dosen akan mampu menjadi hebat ketika di hargai. Dihargai tidak hanya dalam hal keilmuan kita tapi bagaimana dengan hak kita juga. Maaf ini sudah menyangkut masalah perut. Bekerja, apapun itu, untuk pemenuhan kebutuhan primer kita, bukan? Kalau kita bekerja dan di akhirnya kita tidak mendapat apa-apa ataupun kalau kita mendapat tapi tidak sesuai dengan apa yang telah kita kerjakan ini menjadi masalah besar. Ini bukan lagi masalah penghargaan keilmuan tapi masalah keluarga dan kelangsungan hidup. Bahkan banyak kita dengar di televisi, orang tua mencuri singkong untuk memberikan anaknya. Orang sampai memikirkan untuk mencuri untuk kelangsungan hidup mereka.
Masalah hak dan kewajiban ini tidak akan habis kalau kita bicarakan. Apa sih yang kurang dari dosen selama ini mengajar. Kualifikasi mereka apalagi sih yang kurang? Tapi apa hak mereka? Apa yang telah mereka dapatkan dari pemerintah dan yayasan? Apakah pihak yayasan atau pengelola kampus tidak berpikir bagaimana mensejahterakan dosennya dengan memberikan yang terbaik untuk mereka? Mereka berpikir pastinya tapi berpikir lain yang menguntungkan mereka yaitu bagaimana bisa dosen tetap bekerja tetapi dengan gaji seminim mungkin. Pengelola kampus memutar otak dengan berbagai macam cara untuk tidak mensejahterkan dosennya karena mereka sendiri belum membeli rumah mewah 2, mobil mewah 3, belum sempat jalan-jalan ke Eropa atau Amerika, belum bersenang-senanglah ceritanya.
Jadi selama ini dosen diam saja di perlakukan begitu saja oleh pihak yayasan? Sudahlah, begitu kata sebahagian mereka. "Alhamdulillah juga mereka masih mau menerima kami mengajar disini, susah sekali mencari pekerjaan di luar sana. Di syukuri saja". Sebagian dosen sudah cenderung apatis dengan keadaan yang kejam terhadap mereka. "Mencari kerja susah, kalau sudah ada yang diterima apa ajalah." Doktrin yang salah tanpa kita sadari telah masuk ke semua dosen-dosen kita di Aceh. Mereka tidak mau memperjuangkan sedikit masalah ini karena takut nanti kenapa-kenapa. Takut nanti di cap sebagai pemberontak. Takut kehilangan pekerjaan. Hey Come on! Yang memberikan kalian pekerjaan juga bukan pihak yayasan tapi Allah. Â Tapi, apakah kalian akan diam saja di perlakukan layaknya budak ala penjajah Jepang dan Belanda? Konsep pemikiran seperti inilah yang di anut oleh dosen-dosen sekarang ini. Mereka pintar dengan keilmuan mereka tapi tidak punya idealisme yang tinggi. Walaupun untuk zaman sekarang ini idealisme tidak laku lagi setidaknya prinsip diri harus kuat ketika harus menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah agama. Mereka tidak yakin dengan kepontensian diri bahwa mereka bisa mendapatkan lebih dari yang pernah ada.
Masalahnya belum berakhir. Dosen yang mendapatkan gaji dibawah minum dipaksa mengajar dengan tuntutan kurikulum yang telah di tentutkan. "Maaf saja", kata sebagian dosen. "Apakah kampus mampu membayar uang sekolah anak saya nantinya? Akhirnya dosen harus bekerja di tempat lain yang benar-benar menghasilkan uang banyak. Berdagang misalnya, bahkan ada juga yang menarik becak, atau kerja serabutan lainnya. Dosen menjadi pekerjaan sampingan dan jualan menjadi pekerjaan utama. Kondisi ini menciptakan dosen yang mengajar tidak sepenuh hati untuk mahasiswa. Kalau seperti ini urusan kualitas dan transfer ilmu itu mah urusan ke seratus yang penting target pertemuan tercapai. Satu sisi tidak salah mereka juga. Kondisi hidup dan penguasa dhalim yang memaksa mereka seperti ini.
Undang-undang menyangkut masalah ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 juga tidak pernah di gubris oleh yayasan. Mereka tidak pernah mau tahu dengan pekerja-pekerja yang mereka pekerjakan di perusahaan mereka. Seolah-olah perusahaan mempunyai undang-undang sendiri yang sama sekali tidak perlu yang lain.
Akhirnya dari cerita cinderella ini siapa yang menjadi bawang putih dan siapa yang menjadi bawang merah? Mahasiswa dan dosen menjadi bawah putih yang mangut-mangut, yang 'ngeh-ngeh', yang selalu dibentak-bentak. Sedangkan, yang ketawa-ketiwi sambil mengipas uang santai-santai di rumah adalah pihak yayasan atau pengelola kampus. Kondisi ini akan seperti ini terus sampai hancurnya pendidikan di Aceh, dan Indonesia umumnya. Pihak yayasan masih mengganggap mereka tuhan. Bahkan ada sebagian sudah kalap dan menganggap diri mereka seperti Fir'aun yang mampu melakukan apapun mereka mau dengan menindas yang lain.
Jadi, apakah dosen-dosen swasta yang masih merasa di tindas masih mau diam saja? Atau tidak mau tahu dengan kondisi ini atau mau bereaksi dengan melakukan audiensi ini itu dengan berbagai pihak. Semua terserah kepada Anda. Tapi, ingat perubahan itu selalu di awali dari perjuangan yang tidak manis. Pahit dan selalu terpojokkan. Bahkan Anda sendiri harus rela kehilangan apa yang Anda punya sekarang ini