RINTIK hujan mengetuk-ngetuk atap rumah tua itu dengan iramanya yang tidak beraturan. Senja menyelinap, merayap di antara celah-celah awan kelabu, membawa serta keremangan yang perlahan menggerogoti sudut-sudut ruangan rumah yang menyimpan sejuta kenangan. Di sebuah kursi rotan yang sudah dimakan usia, Pak Darmo duduk termenung. Tangannya yang keriput menggenggam sehelai amplop kusam---surat terakhir dari putri semata wayangnya yang telah pergi merantau ke kota besar lima belas tahun silam.
KEMBALI KE ARTIKEL