Suku Boti menjadi benteng terakhir tradisi asli Pulau Timor. Di tengah serangan modernitas yang bertubi-tubi, Suku Boti tetap memegang kukuh warisan tradisi dan agama leluhurnya, Halaika. Hingga kini, Suku Boti masih hidup dalam kebersahajaan mereka yang bergantung pada kerasnya alam daratan Pulau Timor. Mereka juga sangat menghormati alam lestari dengan hidup harmonis bersamanya... Boti, sunyi terpencil lokasinya tapi gegap gempita menyediakan makna kehidupan.
Jalan beraspal mulus telah usai. Perjalanan setengah jam dari Niki-niki, Timor Tengah Selatan dari tadi serasa ‘datar’. Di sebuah pertigaan menjelang Oinlasi, motor kami berbelok kanan menuju jalanan terjal berbatu. Dari titik inilah, petualangan menuju Boti yang sesungguhnya baru dimulai. Perjalanan yang sarat lika-liku perjuangan!
“Kita akan lewat jalan tanah berbatu, naik turun tiga pegunungan. Setelah itu baru sampai di Boti.” tutur Hermanus (27), tukang ojek yang mengantarkan saya ke Boti.
Saya membayangkan perjalanan ke Boti akan menjadi perkara yang berat. Seratus meter pertama saja, motor bebek 100 cc ini terasa mengerang-erang. Mengeluarkan tenaganya bersusah payah. Untung, kemahiran Hermanus membuat jalanan berbatu yang menanjak curam itu bisa teratasi. Saya kini yakin bahwa Hermanus sering masuk ke Boti.
Bukan soal mudah bisa mendapatkan tukang ojek yang mau mengantarkan wisatawan ke Boti. Mulanya saya dikerubung para tukang ojek ketika baru turun dari bus Atambua-Kupang di Niki-Niki. Tapi, saat saya berkata Boti adalah tujuannya, hanya tinggal Hermanus dan rekannya, Sius yang bersemangat. Alasannya: jauh, sedikit yang pernah ke Boti, medan yang dilalui berat, motor tak kuat, bahasanya beda dan harga tak cocok.
Hermanus aslinya bukanlah tukang ojek. Dia adalah supir bus jurusan Niki-niki ke Kupang. Seretnya penumpang bus menjadi alasan dia banting stir mengojek. Dengan motornya yang masih gress – hasil dua tahun kredit, dia biasa mengantar wisatawan ke Boti paling tidak seminggu sekali. Menjadi tukang ojek sekaligus pemandu ke Boti lebih menjanjikan menjadi ladang kehidupan. Sekali bawa wisatawan, biasanya PP Rp 125 ribu untuk domestik dan Rp 200 ribu untuk asing. Saya cukup beruntung, dia mau ditawar Rp100 ribu saja.
Lanskap kini mulai berubah. Makin menyusur ke dalam, daratan makin gersang. Bukit-bukit kini didominasi oleh bebatuan kapur yang rapuh. Meski saat itu baru lepas dari musim hujan, tidak tampak hutan menghijau yang menghias perbukitan. Lebih dominan gundul. Putih dan kering dimana-mana. Bekas longsoran seperti pemandangan yang biasa. Jalanan pun kini tak lagi berbatu. Berganti tanah kapur berdebu. Memang benar, ini sebuah perjalanan yang terjal!
“Kalau bawa bule, saya minta dia yang nyetir motor. Saya dibonceng saja. Atau tiap kali tanjakan, saya minta dia turun berjalan kaki.” ungkap Hermanus