Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Beri Kami Sumba

15 Februari 2013   15:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:16 1382 0

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka / Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh / Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda / Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Sepenggal bait akhir puisi “Beri Daku Sumba” sudah lama berputar-putar pada labirin otak saya. Menunggu jalan keluar. Mewujud nyata. Sang penyair, Taufik Ismail, tahu betul bagaimana saya begitu merindu pada tanah Sumba. Rindu sekali bisa hadir menyesap aroma savana-savana luas dengan kuda-kuda yang melenggang bebas. Rindu sekali dapat bercengkerama dengan pria-pria yang duduk gagah di punggung kuda mahir menggiring gembala. Rindu sekali Sumba bisa jadi nyata.

Sebuah senja pada sebuah awal Januari tahun ini, di Malioboro Jogja. Ribuan kilometer dari Sumba. Saya terduduk di antara lalu lalang pejalan. Di antara hiruk pikuk kendaraan. Di antara realitas bersenang-senang wisatawan. Saya sedang menunggu seorang dia. Kami berjanji bertemu untuk menyusun ‘itenary’ perjalanan. Sebuah perjalanan petualangan yang saya beri tajuk “Kembara Nusa Tenggara”. Sumba menjadi satu wilayah yang akan kami sambangi. Flobamor – Flores Sumba Timor tapi tanpa Alor – pada penghujung akhir Februari.

Tapi, setengah jam sudah saya menunggu. Tak jua datang seorang dia. Ah, bukannya cemas, suasana riuh Malioboro membawa imajinasi saya pada sosok Umbu. Siapakah Umbu? Umbu tidaklah asing dengan Malioboro. Lelaki ini juga tidaklah asing tentang Sumba. Karena Umbu lah, Malioboro dan Sumba menjadi wilayah yang sangat dekat dan akrab. Ribuan kilometer tak lagi berjarak. Umbu adalah “Presiden Malioboro”. Umbu adalah legenda puisi dari Sumba.

Nama lengkapnya Umbu Wulang Landu Paranggi. Padanya mengalir darah bangsawan, cucu seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar, Waingapu, NTT, 10 Agustus 1943. Meski lahir di Sumba, dia selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. Umbu terlibat membidani dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta tahun 1969. Karena kebiasaannya nongkrong di kawasan Jalan Malioboro, dia dijuluki “Presiden Malioboro”. Hingga 1979, Umbu pindah ke Bali.

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu / Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Begitulah pembuka Puisi “Beri Daku Sumba”. Puisi bertahun 1970 ini menjadi persembahan sang maestro sastra Indonesia, Taufik Ismail, kepada Umbu. Seorang lelaki muda asal Sumba yang berkarya di Jogja, yang saat itu sedang menyeruak di jagat sastra Indonesia.

Tapi, bukan karena ingar bingar karyanya. Umbu adalah lelaki sederhana yang gigih merasukkan sukma puisi kepada para remaja. Dia senang menyemai benih-benih puisi di kalangan remaja yang mana mereka tidak harus menjadi penyair. Baginya, puisi adalah kehidupan. Kehidupan adalah puisi. Umbu sama sekali tak berniat mencetak barisan penyair. Sebab, menurutnya, seseorang menjadi penyair adalah pilihan hidup atau panggilan jiwa, bukan hasil cetakan.

Dan hingga kini, Taufik Ismail senantiasa mengiming-imingi saya untuk ke Sumba. Dan, Umbu selalu menanamkan kegairahan mencipta sajak-sajak indah tatkala menginjakkan kaki di Sumba.

Sabana tandus/ mainkan laguku / harum nafas bunda / seorang gembala berpacu(Sabana– Umbu Landu Paranggi)

Tiba-tiba, kelana pikiran saya berujung pada kehadiran seorang dia. Berkerudung ungu dibalut jaket putih semu abu-abu. Sebuah senyum merekah di antara pipi tembem yang merona merah. Ah, biasa saja sebenarnya. Sudah terlalu lama saya menunggu dia. Kami pun lekas menuju sebuah kafe di sebuah pojok Jogja menemui seorang kawan lain yang juga daritadi menunggu. Kami bertiga akan merangkai sajak perjalanan Kembara Nusa Tenggara.

Bersama Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A

Mulanya saya berkelana ke segala penjuru Indonesia ingin tak terkekang. Bebas menggelandang akan dijalankan. Siapa saja tak masalah menjadi kawan berpetualang. Tak masalah juga untuk sendiri berjalan-jalan. Pada intinya, siapapun, bagaimanapun atau apapun bukan menjadi soal untuk menjalankan misi pribadi saya: “Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A”

Hanya, soalnya adalah mengapa Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A.

Danmencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat ... “ Soe Hok Gie.

Itulah alasan saya mesti mendatangi daerah-daerah di Indonesia, bahkan sampai pelosok-pelosoknya. Saya mesti membuktikan apa yang dikatakan Multatuli sejak abad-abad silam dalam Max Havelaar (1860) bahwa “Kepulauan Nusantara sebagai deretan kepulauan di khatulistiwa yang teruntai laksana zamrud”. Mengenal lebih dekat, lebih intim dengan rakyat, alam, budaya, dan sejarah Indonesia tentu lebih meyakinkan saya tentang Indonesia. Lebih tepatnya, tentang meyakinkan saya mengapa mesti mencintai tanah air saya: Indonesia.

Saya ingin mencintai Indonesia tidak dari sekedar tahu dari namanya: INDONESIA. Namun bisa memetiknya dari tiap kata I, N, D, O, N, E, S, I, A. Memetiknya langsung dari realitas-realitasnya. Membujur dari Sabang sampai Merauke. Melintang dari Miangas sampai Rote. Seperti Jalaluddin Rumi pada The Masnavi mempertanyakan dalam syair “Do names not tell of a reality? Can rose grow from R, O, S, and E?” Tidakkah nama menunjukkan realitasnya? Seperti mawar yang tumbuh dari M, A, W, A, R? Nama hanyalah sekadar nama, tak bermakna, jika tidak tahu realitas yang sesungguhnya.

Kalau sekedar nama, Indonesia hari ini seperti apa yang tersaji di media. Ah, begitu menjemukan dan membiaskan. Mayoritas adalah segala ingar bingar manusia di ibukota. Bukan tentang kebaikan (kalau ada pun itu sedikit). Tapi keburukan, kejahatan, dan kerakusan para manusia. Itulah yang menjadi santapan masyarakat sehari-hari. Bukankah adagium media, “Bad News is Good News”? Saya skeptis pada media. Skeptis tidak berarti membenci, tapi tidak berarti sepenuhnya menyetujui.

Kabar baik dan indah tentang Indonesia pun mulai saya cari. Bukan di media tapinya. Saya mulai mencarinya dengan berkeliling Jogja. Panorama alam, budaya serta kehangatan masyarakat sebegitu mudahnya dinikmati di Yogyakarta. Merapi, Malioboro, Keraton, Boko, hingga Hutan Adat Wonosadi serta pantai-pantai elok di Gunungkidul. Di Jawa Tengah, saya bisa temukan ‘indigenousity” Dieng dengan anak gimbalnya, melengkapi pesona budaya dan alamnya. Dari ujung Barat hingga ujung timur Jawa, pun sudah saya jelajahi untuk menemukan cerita-cerita inspiratif di Baduy sampai Banyuwangi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun