Kira-kira seperti itu yang saya ingat tempo dulu, saat tanah-tanah perkebunan belum dimakan perumahan, dan teknologi belum seegois sekarang.
Dulu... setiap sore kami rutin bermain sepak bola di lapangan gratis dan asal jadi, kami beri nama Jabon Alpi, berasal dari kata Jabonese yang berarti tanah tidak terurus (ngarang) dan Alpi dari nama stadion club sepakbola liga Italia yaitu Juventus.
Lapangan di kelilingi kebun singkong, dan jagung, juga beberapa petak tanah kosong dengan tumbuhan liar.
Lapangan tidak hanya di isi dengan anak-anak bermain bola, ada juga segelintir yang bermain layang-layang, beberapa pemuda sibuk melatih burung merpati untuk di jagokan di perlombaan tahunan, orang tua sibuk membabat rumput liar untuk makanan ternak mereka, dan ada juga yang sibuk mengurusi kebunnya.
Ada beberapa hal menarik dari cara bermain bola kami, dengan kesan sedikit maksa dan nyeleneh, tetapi tujuan kami hanya satu, yaitu gembira.
- Tanpa garis pembatas, kami bermain bola di lapangan asal jadi, out hanya berlaku saat bola masuk ke kebun.
- Tiang gawang dengan tumpukan sendal, di ukur semaunya, tidak lebar dan tidak sempit, asalkan terjangkau, jika bola menyentuh sendal maka statusnya kena tiang, terkadang ada kiper yang jail dengan mengkorup sedikit luas gawangnya.
- Tanpa ada seorang wasit, semua pemain menjadi wasit yang menentukan entah itu goal, out, dan pelanggaran, semua berdasarkan persetujuan bersama.
- Tanpa mistar gawang, jika bola mengarah ke gawang dan tanpa jangkauan seorang kiper maka di anggap goal kick, hal ini sering menimbulkan konflik dengan lawan.
- Jumlah pemain tidak sama, terkadang 8-9, 7-6, 7-8, dan pembagian pemain di seimbangkan dengan kemampuan individu tiap pemain.
- Full Time di tandai dengan suaran shalawatan dari masjid, kira-kira setengah jam sebelum adzan magrib berkumandang.
- Pulang bermain bola mampir kerumah teman yang punya kulkas di rumahnya, nebeng minum air es.