Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Di Bawah Pohon Cemara

20 Desember 2014   14:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:53 62 1
Empat tahun lalu, kita bertemu, diantara dua pohon cemara yang saat itu belum tumbuh lebat. Sedangkan dibawahnya, dua orang sahabat sedang menyemai benih rasa. Salah satunya adalah aku, yang berusaha memupuk benih cinta nan tumbuh dengan cepat. “Kamu, kenapa diam saja? Kamu takut ya, bakal jatuh cinta juga padaku?” bisikku pada angin yang lembut membelai ujung jilbabmu, berharap ia sampai ke telingamu. Hatimu, yang bercabang-cabang itu, terbungkus rapi oleh senyum dan diammu. Tak ingin jadi rapuh dan ditumbuhi benalu. Katamu, aku harus menunggu hingga kedua pohon itu kokoh, dan buahnya telah matang sempurna. Kelak saat cabang keduanya bersilangan, itulah yang menjadi waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya. “Bukankah kita bisa merawatnya bersama-sama?” tanyaku perlahan, mencoba menawarkan kerjasama. Karena bila harus menunggu, itu akan sangat lama. Tapi tidak, kamu menggelengkan kepala tanda tak setuju. Ternyata, pendirianmu tegak seperti kedua pohon itu. Baiklah, aku mengerti kalau begitu. Kita kemudian berjanji, menyimpan segala kenangan itu bersama waktu. Mengubur benih-benih hati yang tumbuh tidak sempurna, karena memang belum saatnya. Kita sepakat, bahwa jarak antara temu dan rindu adalah masa lalu, tak perlu dibahas sekalipun hanya kulitnya yang terkelupas. ** Empat tahun berlalu, kamu tak pernah berubah, masih saja keras kepala. Hanya waktu, satu-satunya teman setiaku yang mungkin rela mengalah. Tapi, kulihat ia sudah mulai lelah. Aku pun kembali datang ke tempat itu, berharap bisa menemuimu, lagi. Saat daun-daun cemara mulai layu dan perlahan merontokkan biji-bijinya. Di bawah langit yang manja, lembut merayu agar senja segera memeluknya. “Hei, kamu selama ini kemana? Kenapa tidak pernah memberi kabar padaku?” bisikku lirih kepada udara. Kulihat dua pohon yang jadi tempat pertemuan kita, tak ada dirimu disana, hanya sebuah amplop biru tergeletak di dekatnya. Di dalamnya ada sebuah surat, hanya selipat, tanpa perangko. “Apakah ini surat untukku, Rin?” Hanya diam, dan diam, jawaban yang selalu kudengar darimu. Sama seperti halnya surat yang kutemukan ini. Diam, tak menjelaskan apa-apa. Hanya sebaris kata-kata yang ditulis dengan tinta biru:

“MAAF, AKU TAK INGIN KEMBALI KE MASA LALU -Arini Samada”
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun