Saat bertandang ke Indie Book Corner (IBC) beberapa hari lalu, saya mendapat hadiah buku dari empunya IBC, mas Irwan. Buku yang cukup tebal itu adalah kumpulan fiksi (prosa dan puisi) karya kompasianer. Ada sekitar puluhan kompasianer yang menuliskan karyanya dalam buku tersebut. Judul buku itu Antologi Karya Festival Fiksi Kolaborasi (FFK). Dari judulnya, nampak bahwa buku itu merupakan hasil dari sebuah festival yang digelar oleh Kompasiana, sebuah media keroyokan.
Mungkn karena kurang aktif di kompasiana, jadi hanya sedikit dari puluhan penulis buku itu yang saya kenal. Namun, ketika melihat hasil karya mereka, saya percaya bahwa mereka bukan “penulis pemula” sebagaimana yang mereka sebut dalam bukunya. Melainkan mereka adalah penulis-penulis luar biasa yang telah melahirkan sebuah karya yang juga luar biasa.
Saya menyebut mereka sebagai penulis luar biasa, sebab buku yang mereka terbitkan merupakan kumpulan fiksi kolaborasi. Satu cerita di buat oleh beberapa orang. Tentu luar biasa bukan?
Bagi saya, menulis adalah pekerjaan yang sangat personal. Untaian kata yang mengalir merupakan hasil kontemplasi yang biasanya muncul disudut kamar yang sepi sembari menyeruput kopi pada pertengahan malam. Apalagi untuk sebuh karya fiksi. Untuk membuat sebuah cerita, orang harus berimajinasi sendiri. Ia mungkin saja terbang melampaui zamannya menembus ruang, membayangkan dirinya di negeri yang lain. Disini, saya sulit membayangkan mereka yang membuat prosa dan puisi dalam buku ini harus mengawinkan imajinasi mereka dalam satu tulisan. Selera pilihan kata yang mungkin juga berbeda tentu menjadi penghambat jika salah satu diantaranya tetap ngotot.
Tapi mereka, para penulis muda itu telah membuktikan bahwa sebuah karya fiksi bukan lagi pekerjaan orang-orang yang kesepian melainkan sebuah kerja tim, dimana seorang penulis bisa menciptakan sosok dengan karakter tertentu yang mungkin saja mewakili suasana batinnya (mungkin putus cinta) dan mengkompromikannnya dengan kawan se-tim yang boleh jadi lagi dilanda kasmaran.
Saya telah membaca sebagian dari tulisan dalam antologi itu. beberapa cerita sangat menarik dikemas dengan pilihan kata yang apik serta alur yang tidak membosankan. Meski beberapa diantaranya juga masih terdapat cerita yang lebih mirip kisah dalam sinetron. Namun, itu tidak mengurangi rasa kagum saya pada keseluruhan buku itu.
Setidaknya kehadiran buku itu telah membuktikan bahwa di negeri ini sebenarnya masih ada begitu banyak anak muda dengan potensi yang luar biasa. Mereka inilah yang menulis dengan semau hati tanpa embel-embel honor. Dan tentu, ini tidak lepas dari peran media keroyokan ini. Kompasiana paling tidak telah berhasil mengumpulkan mutiara-mutiara yang berserak, yang selama ini tidak mendapat tempat di media-media mainstream.
Kepada para Kompasianer, terima kasih atas bukunya. Mari menulis!