Ustas Nur Maulana. Bagi yang tiap pagi menonton trans tv, pasti mengenal beliau. Ustas asal Makassar yang belakangan menjadi tenar lewat sapaan khasnya, “jamaah oh jamaah”. Tidak hanya itu, gaya lelucon beliau menjadi pembeda dengan ustas-ustas yang lainnya.
Sebenarnya, saya mengenal ustas nur jauh sebelum beliau muncul di tv. Sebelumnya, melalui sebuah rekaman amatir, saya mendengarkan ceramah beliau di sebuah acara ta’ziah. Beliau mulanya adalah penceramah dari kampung ke kampung di wilayah sulsel, dan kemudian membuat saya terkejut ketika melihatnya di trans tv beberapa waktu lalu.
Yang luar biasa dari Ustas Nur, waktu saya menontonnya di video amatir, ia mampu menghibur para keluarga almarhum. Acara ta’ziah ia ubah menjadi panggung lelucon, semua yang hadir sejenak melupakan kesedihan atas kematian keluarganya.
Dan saat beliau tampil di tv, gaya ceramahnya pun tidak berubah. Pesan agama ia sampaikan dengan gayanganya sendiri, badannya yang meliuk-liuk serta wajahnya yang ekspresif membuat semua pendengarnya terkekeh-kekeh.
Dalam hati saya bertanya, mungkinkah ini jawaban atas segala kekhawatiran kita, dimana masjid mulai ditinggalkan, dan ceramah ustas hanya didengarkan oleh mereka yang memliki penyakit susah tidur. Atau, ceramah dengan gaya lelucon adalah alternatif atas fenomena “motivator”, dimana masyarakat lebih gemar mendengarkan Andrie Wongso, Mario Teguh, dkk ketimbang mendengarkan ayat-ayat Tuhan oleh para ustas kita.
Sebulan lalu, disebuah warung kopi di Makassar, seorang sahabat yang juga wartawan protes kepada saya. Ia protes karena waktu itu saya mengatakan bahwa Ustas Nur sebenarnya tidak ada bedanya dengan Sule, Tukul, Wendi, dan Parto. Kawan tersebut pegal hati, rupanya ia salah satu pengagum Ustas Nur. Katanya, tidak bisa begitu, Ustas Nur setidaknya menyampaikan pesan agama dengan humor sementara yang lainnya hanyalah pelawak yang memang bermaksud menghibur bukan menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Dan menurutnya, kita harus mengapresiasi Ustas nur yang telah menjadi magnet bagi masyarakat untuk mulai mendengarkan ceramah agama.
Tapi, menurutku, mereka tetap sama. Ustas Nur dan Sule adalah entetainer yang hanya membuat orang tertawa dengan gaya mereka yang kocak, tanpa peduli dengan benang mereka dari apa yang mereka ceritakan. Lihat saja di OVJ, benang merah dari cerita mereka tidak begitu dipedulikan pemirsa, yang terpenting semua penonton tertawa. Sementara Ustas Nur, pengamatan saya (mudah-mudahan keliru), para pendengarnya sebenarnya juga lebih tertarik menertawai gaya beliau yang meliuk-liuk di atas mimbar dan ekspresi wajahnya yang dibuat lucu.
Dan pertanyaan inti saya sebenarnya, pantaskah ayat-ayat Tuhan menjadi lelucon seperti itu? Bertanya ji ka ini. Mungkin teman-teman ustas yang lain bisa membantu saya menjawabnya.
Sepertinya saya harus mengakhiri tulisan ini, Ustas Nur mulai memanggil di trans tv. Daripada nonton berita pagi tentang Nazaruddin, mending dengar ceramah beliau.
“Jama’aah oh Jama’aah”.