Surat ini kutulis bersama keragu-raguanku yang pasti pada lekuk di bibirnya. Beda denganmu yang dengan tulus menyajikan panorama indah itu. Garis jingga, debur ombak, kicau burung, sahut pasir. Semuanya tulus tersenyum padaku.
Surat ini kutulis, kala kau sedang ranum-ranumnya. Bersama inginku memetik mentari di ufuk barat sana. Lalu kuberikan kepadanya sebagai hadiah terakhir perpisahan.
Sungguh, aku tak bersedih karena kepergiannya. Tidak. Aku hanya menyesali diri, mengapa semudah itu jatuh hati padanya. Seharusnya setelah pengalaman ditinggal yang lalu menjadi cerminan langkah keputusan hatiku di masa sekarang dan akan datang. Tapi, entahlah. Hatiku berkata lain. Ia ingin denganmu.
Diam-diam, ketika setengah mentari tenggelam, si pikiran mencibir hati.
"Sudah kuberitahu sebelumnya, jangan memberi kesempatan dulu pada orang lain. Kau tidak mendengarkanku, malah mendahulukan hasratmu. Bagaimana? Sakit bukan?"
Hatiku menggerutu, dan menyesali perbuatannya. Tetapi, ia juga tak bisa menyalahkan diri, sebab cinta hadir sebagai sebuah anugerah yang tak dapat diminta-minta dan diatur kapan datangnya.
Kepada Senja,
Kala gemercik air itu memeluk bibir pantai, pasirnya menggenang oleh senyawa yang tak hanya menghadirkan basah, tapi juga rindu. Riak ombak mencoba menghiburku, ketika aku datang kesekian kali tanpa hadir dirinya lagi. Cinta memang demikian bukan, yang kita perjuangkan belum tentu memperjuangkan kita pula. Yang menemani kita berjalan saat ini juga belum tentu yang akan menjadi teman sebangku di pelaminan.
Ah, sial.
"Aku berjanji. Tak akan jatuh lagi dengan semudah itu, aku akan cerdas memilih kepada siapa sepantasnya cinta dijatuhkan. Eh, bukan dijatuhkan, tapi diletakkan baik-baik." ujar hatiku.
Si pikiran datang lagi, menepuk bahu si hati.
"Nah, seperti itu. Sesekali dengarkan juga saranku. Sekarang, ayo kita nikmati senja ini."
---
Kepada Senja,
Cinta memang begitu bukan? Kenapa kau kabur sebelum menjawabnya. Terima dulu surat ini.