Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Seruling Bocah Pesisir

18 Oktober 2011   19:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:47 178 1
Oleh: Ipon Bae. AKU lahir di kamar sesajen selametan manten. Hari Rabu Wekasan bulan Sapar. Bulan kedua setelah bulan Sura menurut kalender Jawa. Emak bilang "Wulan sing akeh blaie", Bulan sial. Ya, di kamar itu aku dilahirkan dari rahim seorang perempuan pesisir pantura. Saat kelahiranku, sedang berlangsung perkawinan adik emakku yang sedang mengandung dua bulan. Sebelum perutnya bertambah besar, aib menerkam. dilangsungkan pesta Pernikahan.Tak seorang pun mendengar jeritan dan erangan emak. Iingar-bingar tontonan organ tunggal, liukan tubuh biduan seksi ditingkahi orang-orang berjoget dangdutan di panggung sambil melempar uang saweran, mengaburkan tangisan pertamaku. Itulah musik dan kepulan asap kemenyan yang pertama aku dengar. Bukan suara azan yang mengalun ditelinggaku. Bukan pula simphoni Mozart atau Beethoven. Kata emak, aku tak sengaja dilahirkan di tempat dan cara seperti itu. Belakangan aku ketahui, Emak meminta maaf. Aku diberi nama Mbrojol Dewek. Artinya: keluar sendiri. Sejak kecil aku dipanggil Brojol. Baru berumur sembilan bulan bapakku mati karena penyakit paru-paru. Kata Mantri kampung, Bapakku terlalu banyak merokok. Setelah berumur tiga atau empat tahun barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu. Aku bisa mengenang emak membawaku berjalan kaki berjualan penganan apem kinca. Banyak orang suka apem kinca buatan emak. Setiap malam emak membuat adonan apem yang terbuat dari beras yang sudah difermentasi. Aku membantu memarut kelapa. kemudian parutan kelapa dimasukan kedalam rebusan gula merah. Tak berapa lama, jadilah kinca. Setelah lama berjalan. Kami sampai di kampung yang banyak dikunjungi orang. Di kampung itu terdapat gelik tua nan keramat, konon katanya airnya tak pernah surut sekalipun musim kemarau. Tak jauh dari lokasi sumur, ada bekas kubangan kerbau Ki Pedati Gede dan kuburan keramat para pengikut Mbah Kuwu Cirebon. Setiap tanggal empat belas purnama banyak gadis mandi di perigi tua itu. Katanya agar mudah mendapat jodoh. Dalam perjalanan pulang kami menjumpai orang-orang menggunakan perahu di sungai Drajat. Kata emak, mereka mengunjungi petilasan dan melakukan mandi di sungai Drajat seperti yang pernah dilakukan Sunan Kalijaga. Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku emak berkata, “mugia sira besuk uripe mulia, keceluk lan manfaat kanggo menusa sejagat buana” artinya: semoga kelak hidupmu mulia, menjadi orang terkenal dan bermanfaat bagi manusia sedunia. Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, emak meninggal dunia karena penyakit paru-paru sama seperti kematian bapakku. Soalnya kalau bapak merokok di dalam rumah. Aku dan emak selalu menghirup asap rokok itu. Itulah kukira penyebab meninggalnya emakku. Aku diperkenankan tinggal bersama paman. Paman hidup sebagai pembuat kerajinan dari bambu termasuk seruling. Setiap musim kemarau, paman mengambil bambu untuk dijadikan bahan seruling. Ada potongan batang bambu tamiang yang membuatku terpesona. Bambu itu sudah berlubang digerogoti ulat. Ketika bambu itu tertiup angin mengeluarkan suara yang mendesir. Hasratku begitu kuat seperti ada kekuatan gaib yang menuntunku melakukan ritual mengolah bambu menjadi seruling. Aku rendam batang bambu berlubang itu dibawah pasir basah pantai laut kejawanan. Aku pendam dibekas kubangan kerbau Ki Pedati Gede dengan sembilan jenis air termasuk air dari perigi tua dan air sungai Drajat. Aku campur sembilan jenis air itu dengan cairan tembakau, bunga soka dan delapan jenis bunga lainnya. Aku jemur diatas panas pasir pesisir. Aku olesi dengan bubuk bunga kecubung. Aku ampelas dengan daun jati, daun kelor dan daun kecipir. Aku taruh diatas tungku perapian, Asap menyelimuti bambu selama beberapa minggu. Kemudian Aku angin-angin dengan cara digantung di beranda rumah. Setelah itu aku memotong dan melubangi batang bambu dengan menggunakan pecahan beling hingga menjadi seruling nan cling. Pamanku bernama Sokasrana tetapi selalu dipanggil Mang Rana. Wajahnya buruk karena terlahir cacat dibagian wajah tapi hatinya baik. Ia juga pemain seruling di pesta-pesta kawinan. Hanya sekali aku belajar meniup seruling dari Mang Rana. Pertama kali aku meniup seruling buatanku itu. Aura sakral membalur. Angin berdesingan menerpa rimbun daun bambu. Bergesekan berebut tempat menyaksikan konser pertamaku. Sekumpulan burung aneka jenis hinggap di sekitar pohon-pohon dekat rumah, di atas genting dan beranda rumah. Termanggu seperti gerombolan satwa bisu. Mang Rana meneteskan air mata. Ia menangis sesengrukan, ketuwon mendengar suara mendayu serulingku. Dalam sepuluh  kedipan mata aku selesai meniup seruling. Angin semilir. burung-burung tak bergeming. Daun-daun membisu. Di halaman rumah puluhan tetangga mematung, berdecak kagum. Aku dipercaya Mang Rana menggantikan posisinya sebagai peniup seruling di grup musik dangdut yang mengontraknya. Mang Rana menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi peniup seruling maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Akhirnya aku menjadi pemain seruling profesional. Sering manggung di pesta pernikahan. Awalnya aku tak percaya banyak orang suka dan terpesona setiap kali aku meniup seruling. Kata mereka, alunan serulingku tajam menusuk kalbu. Seperti ada medan magnet yang kuat. Bagai pusaran air yang menarik lebih dalam. Mengayun ambing sensasi. Menyayat pertahanan emosi. Menawarkan fantasi lebih. Menaut kasih serpihan jiwa yang sepi. Pimpinan dan pemusik dangdut senang, biduan riang, panggung tak lenggang, kardus bekas air mineral penuh uang saweran. Suatu hari adik emak datang dari Bandung. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada Mang Rana, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kamu ikut Bibi aja ke Bandung. Tinggal di dekat gedung sunduk sate. Bekerja di restoran Bibi. Setiap malam kamu bisa bermain seruling. Kamu dapat gaji. Di siang hari kamu harus bersekolah lagi, ya!” Maka aku berangkat ke kota Paris van java. Aku kagum luar biasa atas perkembangan adik emakku. Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar. Bibiku memulai usahanya dengan berjualan nasi jamblang yang dijajakan dipinggir jalan sambil tetembangan tarling Cerbonan dan wangsalan. Seorang pengusaha rumah makan tertarik dengan menu nasi jamblang yang unik. Mengajak bibiku kerjasama. Dari jalinan nasi jamblang berlanjut ke jalur belakang. Mereka sering chatting dan begadang. Bibiku menikah sangat meriah untuk yang kedua kali. Setelah menggugat cerai suami pertamanya. Bibiku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah sudah, dengan memulai dagang nasi jamblang sampai mempunyai hotel dan restoran.” Aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMU-ku. Bibiku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Lambat cerita aku lulus sebagai musikolog. Setiap malam aku bermain seruling diiringi gitar melantunkan tarling Cerbonan. Hotel Bibiku jadi ramai dikunjungi orang. Koran, Majalah, Televisi,Youtube, Tweeter dan Facebook membicarakan aku. Aku manggung di hotel-hotel mewah di Jakarta dan kota-kota besar Indonesia. Aku meniup seruling di beberapa Negara. Aku keliling dunia berkat jasa tamu-tamu bule yang menginap di hotel Bibiku. Saat itulah, ketika aku sedang bermain seruling, seorang wartawati harian Perancis French News memintaku untuk diwawancara. Tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar French News. Ada wajahku di sana, ada seruling kesayanganku. Ada kalimat berbahasa Perancis berbunyi, “Seruling bocah pesisir penabur kasih,” Seringkali aku merasa bukan aku  yang bermain seruling melainkan Malaikat surgawi, Dewi Musik, Drupadi Dewi yang bersuamikan lima Pandawa bahkan bisa jadi Bidadari yang lupa diri. Setelah sadar aku tak ingat apa yang sudah aku lakukan itu. “Barangkali Bidadari sudah tidak lupa diri lagi, Mas” Sang wartawati tertawa sumringah. Karena koran Perancis itu, aku dikenal dunia. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Perancis untuk mengajar. Mengajar seruling di departemen musik etnik. Aku terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, rebas tertahan. Aku mengenang emakku penjual apem kinca keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki. Aku ingat apem dengan guyuran kinca. Air mataku mengucur. Mataku sembap, sesenggrukan. Apem merubahku jadi permata, kinca menjadikanku mulia. “Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis. “Tidak. Semacam homesick,” kataku. Ia menyorong tisu tapi airmataku mbrebes mili, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat dongeng apem kinca yang selalu Emak ceritakan ketika aku beranjak tidur. Barulah aku petik pesan simbolik cerita emak. Apem adalah manusia, kinca adalah darah. Ketika apem dicelupkan pada kinca seperti Sisyphus yang terus mendorong batu ke atas bukit. Menjaganya agar tidak jatuh terguling pada rotasi nasib. Selama ini aku menjaganya agar tidak kecemplung di kubangan kinca. “Tujuan anda kemana?” tanya gadis di sampingku. “Ke Paris,” jawabku. “Urusan bisnis?” “Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.” “O, profesor tamu,” katanya. Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari dipesta keluarga aku diundang ke rumahnya. Ampun deh, rumahnya jauh lebih mewah dari istana Presiden Republik Indonesia. Ayahnya seorang profesor biologi. Malam itu aku menginap di rumahnya. Ketika aku berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk reot dan bale-bale bambu dimana dulu aku, bapak, dan emakku tidur. Hoooam, walaupun mengantuk berat aku masih sempat update status Facebook. Aku telah sampai di rambutmu. Aku telah sampai di senyummu. Seperti embun ranum di pucuk perdu. “Hanya emak bapak yang rela menggenang di mataku” Aku seserpih doa dari peluhmu. Suaraku alunan nafasmu. Duh, wong sejagat buana jika aku telah sampai di lidahmu? Lenyapkan aku, lenyapkan dalam hausmu. Berdesirlah jiwamu. Emak bapak lihatlah, tangisan pertamaku terdengar sampai pawana. Menyusup bancah lumpur dunia. Kangenku masih tertunda. Malam menggulung rembulan. Lalu aku mangap terlelap memeluk seruling bambu.*** Cirebon 11 Oktober 2011 Harian Pikiran Rakyat-Lembar Khazanah Minggu 16/10/2011 Ipon Bae, adalah seorang penulis lepas. Pegiat lembaga basa lan sastra Cirebon (LBSC). Anggota KITLV Press (Koninklijk Instituute Voor taal-Land-en Volkenkunde) Indonesia-Netherlands. Sebuah lembaga penelitian berwenang yang berfokus pada Asia Tenggara-khususnnya Indonesia-dan wilayah Karibia terutama Suriname, Netherlands, Antilles dan Aruba. Penelitian KITLV mencakup ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial. berkisar dari sejarah kolonial sampai isu-isu sosial masa kini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun