Tidak bisa dipungkiri dari 11 televisi nasional di Indonesia selain TVRI yang negeri, lainnya milik swasta seperti milik Grup MNC (RCTI, MNC, dan Global TV), Trans Corp.(Trans TV dan Trans 7), Bakrie (ANTV dan TV One), Elang Mahkota Teknologi (SCTV dan Indosiar), Media Indonesia (Metro TV) telah banyak berjasa bagi komunikasi saluran dan hiburan kepada masyarakat sejak kran televisi swasta dibuka pada akhir tahun 1980an, era RCTI dengan menggunakan dekoder pada 1989.
Namun tidak bisa dihindari juga monopoli siaran televisi oleh "hanya" 10 stasiun televisi memnnculkan tayangan monoton pada jam-jam utama tanpa mempedulikan apakah tayangan itu mempunyai nilai edukasi atau budaya yang mendukung cita-cita bangsa ini yang terdapat dalam Pembukaan UUD 45, ikut serta dalam mencerdaskan bangsa dan melestarikan kebudayaan nasional.
Laporan rating terakhir banyak program lokal yang kurang memperhatikan aspek itu justru mendapatkan peringkat terbaik, apalagi program dari negeri seberang juga mendapatkan peringkat teratas yang tidak jauh beda. Lantas apakah ini memang sengaja didisain atau dirancang pihak televisi untuk "mencerdaskan" penonton Indonesia. Bisa ya dan bisa tidak. Ya kalau tujuannya memang hanya aspek uang semata, secara investasi padat modal dalam pendirian televisi tidak kecil dan kembali dalam jangka waktu yang lama. Tidak , bila memang persaingan program televisi yang ada memaksa pihak televisi harus memutar otak agar memenangkan persaingan head to head dengan program lain pada jam tayang utama (prime time).
Lantas pertanyaannya, sama ketika orang membully Raffi Ahmad dan Trans TV dalam siaran langsung pernikahannya yang lebih dari 10 jam, apakah saluran Trans TV milik Raffi, milik Trans, atau milik publik/rakyat? Kan ijin televisi nasional atas ijin DPR yang mewakili rakyat, kok sekarang dijadikan tambang cari uang pemiliknya? Berapa nilai edukasi dari tayangan tersebut? Sebenarnya hal ini sama juga dengan siaran langsung sepak bola yang bukan partai utamanya (klub besar bertanding)? Apakah benar penontonnya memang penggemar sepak bola atau judi bola dan apakah ada nilai edukasi dan pengaruh positifnya kepada prestasi PSSI?
Sebagai Presiden RI ke 7 , sejak lama Jokowi mengedepankan Revolusi Mental, lantas apakah ini bisa jadi objek yang diarah oleh ajakan tadi? Bisa dan musti bisa dong. Jokowi diharapkan banyak orang kreatif negeri ini tidak hanya musik, film, animasi, kerajinan dll, tapi juga insan televisi untuk mengubah paradigma kehadiran televisi secara nasional yang mampu mengembangkan banyak sumber daya manusia karya anak bangsa. Lantas caranya?
Kita tetap mendukung kehadiran 11 televisi nasional itu, tapi mereka juga harus mendukung energi dan masa depan banyak orang kreatif-khususnya pertelevisian dengan memberikan kesempatan banyak bagi mereka untuk unjuk gigi bukan unjuk keluhan karena rindu order. Masak dari siaran 18-24 jam sehari tidak bisa memberikan 1 jam perhari siaran untuk PH kreatif dalam memberikan programnya? Masa sih program televisi hanya milik PH terkenal tertentu yang katanya dekat dengan pejabat stasiun televisinya-awas KPK? Selain itu juga bila memang akan melakukan revolusi mental masa Stasiun Televisi besar tidak bisa bergandengan tangan dengan pihak PH kecil misal diikutsertakan dalam program tertentu, tender yang adil, mungkin juga pelatihan dan permodalan (maksudnya bayar program yang dibelinya tidak lama-lama).
Dengan salah satu cara diatas dan banyak varian lainnya kelak yang akan ditemukan, stasiun-stasiun televisi nasional tidak hanya jadi menara gading dan jadi etalase selebritis-selebritis terkenal tanpa kepekaan kepada para kreatif yang lahir dari masyarakat penontonnya. Ayo Indonesia! Ini Aksiku, Mana Aksimu?