Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

09 February 2015

10 Februari 2015   08:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30 41 1
Tanggal ini punya makna besar tidak hanya bagi saya tapi juga buat penduduk Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Hujan yang tumpah ruah dari Minggu (08 February) hingga Senin malam (09 February 2015) membawa malapetaka bagi banyak orang. Jakarta terendam banjir, dan pers menamainya Jakarta dikepung banjir dari Jakarta Utara, Barat, Pusat, Timur dan Selatan. Daerah langganan banjir macam Kelapa Gading sudah pasti kelelep, Mangga Dua, Daan Mogot, Kampung Pulo bahkan Istana Merdeka dan Bunderan HI (lagi) menjadi seperti waduk buatan. Rekan saya terjebak di jembatan Cempaka Mas sekitar 10 jam karena air bah ini. Jalan-jalan penuh air karena tinggi bangunan lebih tinggi dan ini menghadirkan pemandangan kota "Venesia" di Italia ,cuma bedanya disana penuh gondola disini mobil, bajaj dan motor terjebak semrawut.

Gubernur DKI sebelumnya Fauzi Bowo sering disebut tidak berbuat banyak untuk kota ini dan waktu kampanye pilgub, tag linenya, serahkan pada ahlinya menjadi bulan-bulanan ejekan. Namun penggantinya Jokowi dan Ahok tidak berdaya juga menghadapi banjir Jakarta. Nyaris pembebasan banyak situ dan danau tidak mampu menghadapi amukan banjir karena curah hujan besar yang siklusnya bukan hanya 5 tahun, 2 tahun, tapi setiap tahun.

Yang jelas kerugian materil sudah pasti milyaran bahkan trilyunan apalagi kalau dihitung kerugian moril banyak karyawan tidak bisa masuk kantor, belum lagi transaksi perdagangan yang terganggu karena jalan macet dan penghabisan bahan bakar karena banyak transportasi terjebak dalam lautan air yang bagai air bah.

Permasalahan politik dan perseteruan antara KPK dan Polri yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan dua kelompok pengacara/kuasa hukum antara Kombes Budi Gunawan (BG) vs KPK. Pihak Kombes BG menganggap tuduhan dan bukti yang menjerat BG tidak kuat sementara KPK dengan pengalaman dan "prestasi" nya selama ini telah melakukan yang seharusnya sesuai dengan payung undang-undang-yang tentu saja atas restu Hukum Indonesia atas nama Rakyat Indonesia. Entah apa yang dibenak mereka yang melakukan sidang prapradilan ini, mau menjunjung hukum, mau menguji hukum atau malah melecehkannya-hanya karena membela kepentingan "yang mbayar".

Kepulangan Presiden Jokowi dari kunjungan ke Malaysia, Philipina, dan Brunei Darussalam menghadirkan polemik baru mengapa Presiden "tidak peka" dalam memutuskan kepempimpinan Kapolri sehingga terjadi "kekosongan" siapa yang harus "dibela" dalam masalah KPK dan Polri. Keberpihakan Presiden Jokowi pada partai tertentu dalam pencalonan KPK terlihat jelas karena sidang prapradilan yang seharusnya tidak perlu ada akhirnya harus dilakukan. Para pengamat dan pendukung Jokowi , termasuk saya, saat Pipres tahun lalu, merasa kecewa seolah-olah Presiden Jokowi mengambangkan masalah ini hingga menunggu hasil sidang Pra Pradilan ini.

Sementara itu proses "kriminalisasi" Komisiorner KPK selain Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dengan melibatkan Plt PDIP, Hasto Kristiyanto menambah runyam suasana, entah karena apa Hasto mengadukan keterlibatan aktif Abraham Samad dalam proses pilpres tahun lalu. Masalahnya mengapa hal ini baru dibuka sekarang? Apakah ada hubungannya dengan status tersangka Komjen BG sesaat dicalonkan sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman?

Kepulangan Presiden Jokowi dari kunjungan ke tiga negara Asean tadi juga membawa "polemik" baru tentang kerja sama "mobil nasional" (Mobnas) antara Indonesia dan Proton mobil buatan Malaysia. Ada aroma idealisme dan patriotisme mengapa tidak mengembangkan mobil buatan Indonesia sendiri dan mengapa juga dengan mobil Malaysia yang secara penjualannya di Indonesia kurang dari 1000 mobil tahun lalu. Lantas komitmen Jokowi dalam pengembangan mobil nasional seperti ketika menjadi Walikota Solo dengan mengendarai mobil Esemka hanya gincu politik atau kampanye terselubung untuk menjadi Presiden RI? Hal lain keterlibatan Jenderal Purnawirawan Hendro Priyono yang merupakan pendukung utama Jokowi dan PDIP dalam proyek ini juga dipertanyakan.

Terakhir tanggal ini merupakah Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Pulau Batam, hari penting bagi keberadaan Pers yang netral dalam mendukung pemerataan informasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa lewat karya para jurnalis, ternyata tidak dihadiri Presiden Jokowi. Entah apa yang ada di benak Presiden dengan tidak hadir di acara ini. Padahal informasi pembangunan tidak akan efektif tersebarkan tanpa dukungan insan pers. Atau mungkin Presiden menganggap pihak pers harus intropeksi juga karena banyak informasi kepada masyarakat tergantung bos pemodal di belakangnya. Contoh lihat saja saat Pilpres tahun lalu, berita tentang gagal bayarnya Lapindo banyak diangkat Metro TV, sedangkan TV One banyak mengangkat berita minus tentang capres Jokowi yang didukung PDIP dan Nasdem (Metro TV) saat itu.

Sebelum menutup hari ini, ternyata ada berita duka, musisi terkenal dan legendaris Indonesia, yang terkenal dengan lagu-lagu sendu (cengeng disebutnya pada era akhir 70an dan 80an), Rinto Harahap meninggal di sebuah rumah sakit di Singapura. Selamat jalan Bang Rinto...Rest in peace.

Tanggal 09 February tahun ini ternyata banyak kisahnya......sekian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun