Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Naskah Buku yang Kurang Layak

12 September 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 278 7
Sebelum beredar ke toko-toko buku, naskah dari penulis telah melewati berbagai macam proses. Salah satu prosesnya adalah masuk ke meja editor. Sebagai seorang editor buku, saya telah menemui berbagai macam naskah. Ada yang naskahnya benar-benar unik, ada yang sangat bagus dan inspiratif, ada yang biasa saja, ada yang membosankan, ada juga yang kurang layak, tapi tetap harus diedit. Saya menyebut naskah terakhir itu "sangat parah".

Naskah yang sangat parah menurut saya ada 3. Yang pertama adalah naskah yang hanya copy-paste dari naskah yang sudah ada, tapi tidak diedit sama sekali. Padahal naskah yang dijiplak pun bukanlah sebuah tulisan yang bagus, bahkan banyak terdapat kesalahan. Dengan sangat percaya diri si penulis ngaku-ngaku kalo naskah ini adalah hasil pemikiran dan tulisannya. Hhmm aneh juga ya, tulisan yang kurang baik hasil jiplakkan pun tetap diakui sebagai karya sendiri padahal itu adalah milik orang lain. Beberapa kali saya dengan sengaja menyalin satu atau dua paragraf dan segera saya pasang di mesin pencari Google. Wow. Banyak tulisan yang  sangat mirip terdeteksi mesin pencari Google. Hampir tak ada perbedaannya. Dan editor pun harus merombak total hingga bisa dipahami dan membuatnya tak tampak tulisan jiplakan. Pertanyaannya, siapakah penulis buku ini? Jika mungkin berniat menyadur, tentunya harus bisa lebih baik. Bukan hanya menjiplak.

Naskah sangat parah yang kedua menurut saya adalah naskah dari buku luar (berbahasa Inggris) yang diterjemahkan melalui mesin penerjemah. Terjemahan yang saya maksud adalah yang hanya copy-paste dari mesin penerjemah itu tanpa diedit dengan semestinya. Jelas apa maksud dari tulisan itu pun saya tidak paham. Mungkin Anda pun tak paham. Saya pernah mengembalikan sebuah naskah kepada si penulis karena sejak dari awal bab pun saya tak paham maksudnya. Si penulis meminta saya mengedit dulu naskahnya sampai habis, baru kalau ada kesulitan saja naskah itu ditanyakan ke dia. Ada beberapa hal yang membuat saya tak bisa menolak kemauan penulis itu. Mau tak mau saya tetap harus mengedit dan berusaha memahami. Karena merasa sangat sulit, akhirnya saya pun meminta e-book yang dipakai si penulis sebagai sumbernya. Dan benar, saya kaget. Isinya sama persis. Bedanya hanya dari bahasa saja. Mau tak mau, saya harus membaca dan naskah bahasa Inggrisnya untuk memahami naskah yang sedang saya edit. Pekerjaan saya jadi 2. Editor dan translator.

Naskah sangat parah yang ketiga menurut saya adalah yang penulisnya merasa bahwa dia sudah mahir menulis dan merasa kalau naskahnya itu sudah sangat baik dan tak boleh diedit. Di dalam dunia kepenulisan memang dikenal istilah Licentia Poetica  yang secara umum berarti kebebasan seorang penulis untuk memilih cara dan gaya menulis. Saya pun setuju dan suka dengan sebuah kebebasan menulis, tapi mungkin saya lebih setuju jika kebebasan itu hanya berlaku untuk penulisan karya sastra. Lalu jika naskah populer bagaimana? Kalau menurut saya sih sebaiknya memang Licentia poetica tidak dipakai dalam karya tulis lain selain karya sastra. Tulisan populer membutuhkan sebuah kejelasan maksud, bukan keunikan dan keindahan tulisan. Saya pernah mendapatkan naskah yang menurut saya penjelasannya kurang jelas, kadang malah susah dipahami. Saya pun memberanikan diri membongkar naskah itu dan mengedit banyak. Setelah melihat hasil jadinya, si penulis tidak terima dan meminta saya mengubah semuanya kecuali perbaikan typo (Typographical Error) alias kesalahan penulisan. Karna sesuatu hal pula saya pun tak bisa menolak kemauan penulis. Namun saya berpikir, jika suatu saat banyak pembaca menilai bahwa tulisan itu susah dipahami bagaimana? Siapa yang akan disorot? Penulis atau editor?

Salam dari Yogyakarta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun