Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jemparingan, Seni dan Olah Raga untuk Para Ksatria Panah

14 Maret 2012   08:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03 119 1

“Sambil menarikbusur panah, mata terpicing terarah pada sebuah bedor. Sesekali, sang ksatria panah menghela nafas kemudian melesatkan anak panah ke sasaran.”

Biasanya, banyak orang mengenal olah raga panahan hanya sebatas yang dilombakan dalam festival olah raga berkelas, seperti PON, SEA GAMES, ASEAN GAMES, atau bahkan Olimpiade. Pernahkah Anda mendengar mengenai seni memanah tradisional? Barangkali di setiap pusat kebudayaan nusantara mempunyai olah raga tradisionalnya sendiri, bahkan mungkin mempunyai seni memanahnya sendiri.

Banyak orang mengenal Yogyakarta sebagai kota yang masih sangat menghayati tradisinya. Demikian dengan olah raga tradisionalnya, Jemparingan namanya. Olah raga ini dikenal orang luar Jawa dengan "Panahan Tradisional Mataraman”. Mungkin, namanya tampak asing di telinga kita. Namun demikian, konon sejak 1934 sudah ratusan kali pihak Keraton Yogyakarta menggelar perlombaan untuk olah raga seni memanah ini.

Penanggalan Jawa, mengenal hari Selasa Wage. Di hari itu para ksatria panah bertemu saling mengadu kemampuannya dalam melesatkan anak panah ke sebuah sasaran berupa bandul atau bedor. Acara ini rutin diadakan setiap 35 hari sekali di lapangan Kemandungan Kidul Kraton Yogyakarta, tepatnya di belakang gedung Sasono Hinggil Alun-alun Selatan. Hari tersebut dipilih untuk memperingati hari lahir Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertepatan pada Selasa Wage.

Yang membuat Jemparingan berbeda dengan seni memanah pada biasanya, salah satunya adalah pada posisinya. Dalam Jemparingan, ksatria panah membidik sasarannya dalam posisi duduk bersila. Pakaian yang digunakan pun juga berbeda.Peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat, surjan/peranakan, jarit dan blangkon untuk pria, dan kebaya dan jarit untuk wanita.

Filosofi

Suara peluit dari tiupan seorang lelaki paruh baya melengking. Ksatria panah duduk bersila dengan posisi tubuh tegak, tangan kiri lurus memegang busur, membentuk dua barisan menghadap ke arah sasaran sambil membidik sasaran bandul yang kurang lebih berjarak 30 meter. Masing-masing ksatria dapat meluncurkan empat anak panah setiap putarannya. Ada tiga sasaran panah yang disebut bandul atau bedor yang terbuat dari irisan serabut bambu dan diikat menjadi satu. Ada juga bandul yang terbuat dari gabus yang dibentuk silinder berdiameter 3 cm dan dibungkus kain berukuran kurang lebih 30 cm.

Jemparingan berasal kata dari bahasa Jawa “jemparing” yang berarti panah. Konon, Jemparingan adalah kegiatan latihan para prajurit kraton. Namun, lama kelamaan Jemparingan dijadikan lomba olah raga. Pesertanya pun tak hanya dari kalangan kraton atau masyarakat Yogyakarta, orang dari suku atau bangsa lain pun ikut ambil bagian.

Olah raga ini terkesan sangat sederhana tapi panahan juga membantu pelakunya untuk meningkatkan daya konsentrasi. Fokus melatih kesabaran kekuatan "manah" atau  hati dan melatih pernapasan adalah kesulitan sekaligus tantangannya. Sama pada saat melakukan olah raga yoga, butuh ketenangan pikiran, dan juga latihan pernapasan untuk mencapai kesempurnaan. Bergoyangnya sasaran karena tiupan angin akan menjadi tak berarti jika dilawan oleh rasa titis sang ksatria. Kemenangan terjadi saat para ksatria dengan ketenangan hati dapat melesatkan anak panah menembus bandul atau sasaran yang berwarna merah putih yang berada jauh dari kita. Ini dimaknai bahwa sang ksatria mampu mengasah rasa dan membangun hubungan dengan sesuatu yang jauh dari kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun