Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tragedi Dompet

14 Desember 2013   08:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57 59 1

Siang itu udara berhembus begitu panas serasa membakar kulit ari yang terlihat mengkilat tertembus sinar mentari. Aku mengayuh sepeda menyusuri siang yang membara di Kota Deltamas. Perut yang sedari tadi mulai berdendang pertanda asupan makanan yang telah habis dicerna menjadi energi dalam tubuh, membuatku semangat 45 menembus bara fatamorgana di tengah aspal jalan raya.

“Bang, ketoprak satu ya,” kataku kepada abang penjual ketoprak yang ‘ngetem’ di trotoar jalan raya.

Aku berniat memarkir sepeda bututku disekitar gerobak ketoprak. Belum selesai aku memarkir sepeda, terdengar suara abang penjual ketoprak yang tak jauh dariku

“Wah Bang, ketopraknya ternyata habis.”

“Ow gitu ya Bang, okelah bang.”

Cacing dalam perut masih saja berontak meminta segera diberi asupan makanan. Namun apa daya ketika aku masih belum bisa menemui penjual makanan yang bisa membuat cacing-cacing dalam perut behenti menari-nari dalam perut karena kelaparan. Setelah beberapa meter aku mengayuh sepeda dan belum bisa menemukan pemuas perut. Akhirnya senyum sunging merekah dibibirku, pasalnya dari seberang jalan ada penjual es yag sedang mendorong gerobakanya “Wah lumayan ini ada yang seger-seger bisa meredakan tenggorokan yang telah lama kering” ujarku dalam hati ketika gerobak tersebut mulai mendekat.

“Pak satu ya.”

“Minum sini apa bungkus?”

“Minum sini aja, Pak.”

Tak menunggu lama setelah diberikan, segera saja kutenggak segelas Es Bubur sum-sum hingga gelas kelihatan transparan kembali. Setelah itu kuturunkan ransel yang menempel lengket dipunggungku. Segera kucari dompet yang biasanya kutaruh didalamnya. Namun saat kubuka ransel dan kujelajahi semua bagian tas, benda kotak hitam tersebut tidak ada. Untunglah aku masih punya selembar uang  10 ribu yang aku temukan disela-sela ransel. Segera kuberikan selembar uang tersebut kepada penjual es dan meninggalkannya.

Perjalanan siang ini kulanjutkan menuju ke tempat yang menurutku paling damai dan sejuk di dunia ini dalam segala cuaca. Kulaksanakan kewajiban sebagai seorang musim disana. Beberapa menit kemudian setelah selesai bermunajat kepada Sang Kholik, aku masih belum beranjak dan kunikmati sejuknya suasana Baitullah. Entah kenapa setiap memasuki tempat ini aku merasakan kedamaian dan tenteram dalam jiwa .

Aku keluar dan berpindah duduk santai di serambi Masjid. Kulihat jam yang menempel di dinding masjid masih menunjukkan Pukul 12.20 WIB. Kuputuskan untuk rebahan dan mencoba memjamkan mata menunggu jam kuliah yang akan berlangsung pukul 15.00 WIB.

Sejam berlalu aku rebahan, bunyi kerucukan dalam perut terdengar kembali. Ternyata Es Bubur sum- sum belum bisa membuat cacing-cacing berdamai dan tertidur pulas. Aku masih dendam ingin menyantap ketoprak yang masih belum kudapatkan. Segera teringat olehku bahwa di sekitar pom bensin ada penjual ketoprak yang selalu mangkal disitu. Kukayuh kembali sepeda menuju TKP.

“Bang, ketopraknya masih ada?”

"Udah habis, Mang.”

Lagi-lagi aku dipecundangi oleh penjual ketoprak dengan hasil yang nihil. Kutinggalkan penjual ketoprak tersebut dan kususuri jalan Delta-Pemda karena biasanya banyak penjual yang berderet disitu, baik penjual ketoprak, buah, bakso, minuman dan sebagainya. Namun siang ini, tak kujumpai satupun penjual yang memarkir gerobaknya ditepi jalan. Tak terasa aku telah sampai di Pasar Modern yang notebene banyak penjual ketoprak disitu. Tapi masih saja tidak kutemukan penjual ketoprak yang kumaksud.

Aku berhenti mencoba memperhatikan dengan seksama, barangkali ada penjual ketoprak yang tak kasat mata. Ah, masih saja tidak kutemukan. Namun terdapat secerca cahaya, kulihat gerobak bertuliskan “Gado Gado Karedok, Nasi Lontong”.

“Bu, Seporsinya  berapa?”

“Seporsi 7 ribu Mas.”

“Bu, Uang saya Cuma 6 ribu, bisa ngga saya beli Cuma 6 ribu aja,” pintaku kepada penjual tersebut agar di buatkan gado- gado dengan harga 6 ribu.

“Ngga boleh, Mas. Harganya 7 ribu,” Ibu itu sambil tetap membuka peralatan dan menyiapkan bahan racikan bumbunya yang dituangkan ke cobek besar.

“Waduh Bu, tapi uang saya kurang seribu.”

“Udah ngga apa-apa, besok kan masih bisa kesini lagi.”

“Ow gitu ya, Bu. Okelah satu Bu dimakan disini.”

“Pake Nasi apa Lontong?”

“Nasi saja Bu.”

Tak lama satu piring gado-gado berserta nasi telah dihidangkan di hadapanku. Setelah selesai makan, kuambil dari dalam saku sisa uang kembalian beli es sebesar 6 ribu dan kuberikan kepada Ibu penjual Gado-gado itu.

Uang 6 ribu memang biasanya cukup untuk membeli seporsi ketoprak. Namun hari ini para penjual ketoprak berhasil membuatku kalah telak. Dan yang lebih menyedihkan sesaat setelah aku makan gado-gado dan meninggalkan Pasar Modern kulihat didepan mata kepalaku penjual ketoprak lewat seliweran.. Argh....

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun