Tahun 1949 menjadi awal hubungan Turki dan Israel dengan bukti Turki memberi pengakuan atas berdirinya negara Israel. Faktor pendorong hubungan ini karena berbagi pandangan terhadap ketidakstabilan regional di Timur Tengah. Seiring berjalannya waktu, Arab mempengaruhi keputusan Turki untuk menghentikan hubungan kerja sama dengan Israel selama masa krisis Suez. Namun, Turki tetap melanjutkan hubungan diplomatiknya secara rahasia melalui "Strategi Aliansi". Strategi ini menciptakan normalisasi kontrak kerja sama berkelanjutan. Pada tahun 1980, Knesset yang merupakan sebutan untuk parlemen Israel menetapkan hukum Israel di bagian wilayah Timur Jerussalem. Hal tersebut, menyebabkan melemahnya hubungan dengan Turki. Dilanjutkan tahun 1991, hubungan Turki-Israel ditingkatkan ke tahap Duta Besar. Keduanya setuju untuk menandatangani kerja sama bidang militer, pendidikan, dan ekonomi. Israel menjadi negara pemasok utama senjata ke Turki.
 Ketegangan hubungan bilateral kembali terjadi pada tahun 2010, yaitu disebabkan oleh serangan Israel terhadap Gaza yang disebut Operation Cast Lead. Turki mengkritik serangan Israel yang tidak proposional dan menganggu kesejahteraan sebuah negara. Turki meminta untuk menghentikan pemblokiran Gaza, mengizinkan memberi bantuan kemanusiaan serta menghentikan aktivitas pemukiman di Jerussalem Timur dan West Bank. Protes keras terhadap Israel berdampak pada penundaan Dialog Damai antara Israel dan Suriah yang dipelopori Turki. Kegentingan semakin memanas ketika Turki mengirimkan 6 kapal bantuan kemanusiaan ke Gaza agar Israel menghentikan pemblokirannya. Kapal dengan inisial Mavi Marmara memaksa masuk ke Gaza, tetapi dihadang oleh tentara Israel di wilayah perairan internasional. Peristiwa tersebut menewaskan 8 warga Turki, 1 warga Turki-Amerika serikat, dan 20 penumpang kapal mengalami luka berat. Ahmet Davutoglu yang merupakan menteri luar negeri Turki akan membawa masalah ini ke Mahkamah Pengadilan Internasional. Selain itu, menuntun Israel untuk meminta maaf secara terbuka, mengakhiri blokade Gaza, dan memberikan bantuan kepada keluarga korban Mavi Marmara.
Akhirnya pada bulan Desember 2015 Turki-Israel bertemu di Geneva, Swiss untuk membahas normalisasi hubungan yang renggang. Keduanya fokus berupaya menemukan kesepakatan atas permohonan Turki mengenai pengembalian Duta Besar kedua negara, kompensasi korban Mavi Marmara dan negosiasi masalah blokade Gaza. Dan tahun 2016, Israel menyanggupi permintaan Turki sehingga hubungan kedua negara kembali membaik untuk melanjutka kerja sama yang sebelumnya tertunda. Namun, hubungan bilateral Turki-Israel kembali terganggu karena konflik Palestina dan Israel tahun 2021. Presiden Turki, Tayyip Erdogan sekaligus sebagai tokoh Islam ikut turun tangan untuk meredam serangan Israel yang kejam terhadap orang-orang Palestina. Erdorgan akan mengambil langkah untuk berdialog dengan presiden Israel Isaac Herzog dan perdana menteri Naftali Bennet agar mengakhiri serangan. Selain itu, Erdogan juga menggerakkan dunia Islam dan komunitas Internasional untuk membantu menghentikan agresi Israel di Palestina.