Saat berkeliling, langkah Tio berhenti di depan sebuah lukisan yang menarik perhatiannya. Lukisan itu menggambarkan sekelompok anak laki-laki yang bermain sepakbola di lapangan. Wajah ceria penuh tawa menggambarkan keriangan dan kebahagiaan mereka. Tio merasa tak asing dengan goresan lukisan itu.
"Lukisan ini memang sangat indah. Seolah kita ikut bermain bersama mereka dan merasakannya kebahagiaan mereka," kata Damar sambil turut menatap lukisan itu dan tersenyum.
"Aku merasa pernah melihat lukisan serupa, siapa nama pelukisnya ?" tanya Tio yang masih menatap lekat lukisan itu dan mengerutkan keningnya.
"Namanya Marisa Sukma Dewi, salah satu penulis muda berbakat Indonesia. Sayang sudah beberapa tahun ini ia tidak terdengar kabarnya. Aku dengar perjalanan hidupnya tidak mudah karena ia sempat terkena kanker hingga pernikahannya dibatalkan dan ayahnya meninggal dunia," jawab Damar.
Tio terdiam. Ia cukup yakin ia pernah melihat goresan lukisan yang serupa. Ia berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihatnya.
"Kabar terakhir, saat ini ia menetap di Yogya dan menjadi guru di sana. Sangat disayangkan sebenarnya bakat cemerlang itu tidak lagi dapat kita nikmati," kata Damar sambil mendesah sedih.
Mendengar penjelasan Damar, Tio tersadar. Ia tahu di mana ia pernah melihat lukisan serupa. Goresan lukisan di depannya serupa dengan lukisan Aya yang tempo hari dilukis oleh Risa dan lukisan-lukisan lain yang terpajang di rumah Risa.
Tio akhirnya paham, Marisa Sukma Dewi adalah Risa.
***
Sudah tiga bulan ini, Aya menjadi siswi SMP dan akhir-akhir ini ia jarang bermain ke rumah Risa. Meskipun demikian, hampir setiap hari mereka berkomunikasi melalui wa dan beberapa kali dengan video call. Hari sabtu ini, Aya berjanji untuk berkunjung ke rumah Risa untuk membuat cheese cake bersama dan Aya sudah sangat menantikannya sejak awal minggu.
Risa beberapa kali melirik jam dinding. Aya berjanji untuk datang pagi ini namun sampat dengan jam 15.00 Aya belum juga datang dan tidak ada kabar. Tidak biasanya Aya terlambat. Wa pun juga tidak dibalas.
"Kenapa tidak menelepon Aya saja ?" tanya mama.
Risa mengangguk dan meraih telepon genggamnya untuk menelepon Aya bertepatan dengan telepon masuk dari Tio.
"Assalamu'alaikum Pak Tio," kata Risa mengangkat telepon.
"Walaikum salam Bu Risa, mohon maaf sekali Bu Risa. Aya tidak bisa berkunjung ke rumah Ibu karena demam tinggi sejak kemarin malam," kata Tio.
Risa seketika panik, "Aya sakit apa ?"
"Nampaknya flu karena tempo hari sempat kehujanan, tapi entah kenapa  sejak semalam demam tinggi. Sempat menggigil semalam, namun pagi ini sudah mulai turun," jelas Tio.
Begitu menutup telepon, Risa bergegas berangkat ke rumah Aya karena khawatir dan ingin melihat keadaan Aya langsung. Ia terpaksa naik taksi karena mobilnya sedang berada di bengkel.
Saat melihat Aya yang sedang tertidur dan tampak pucat, hati Risa terasa perih. Segera dihampirinya Aya, digenggamnya tangan Aya dan diciumnya kening Aya yang ternyata masih demam. Aya terbangun dan tersenyum saat melihat Risa berada di sampingnya.
"Bu Risa..." panggil Aya dengan nada suara lemah.
Risa mengangguk dan mengelus kepala Aya perlahan. "Ya Aya, Bu Risa di sini," ucap Risa.
"Aya dari tadi siang belum mau makan Bu," kata Tio yang berdiri di belakang Risa.
Risa menatap Tio yang tampak lelah karena semalaman tidak tidur karena menjaga Aya. Risa kemudian menoleh kembali ke Aya dan berkata lembut, "Aya makan ya, Bu Risa suapin."
Tio bersyukur dengan kehadiran Risa. Aya mulai mau makan dan nampak sedikit lebih ceria saat Tio meninggalkan kamar. Saat Risa berpamitan pulang pukul 20.00, kondisi Aya sudah tidak demam dan jauh lebih baik.
"Aku ingin ditemani Bu Risa," kata Aya dengan muka cemberut. Tangannya juga menggenggam tangan Bu Risa dan tak mau melepaskannya.