"Hai Mbak Tata, seperti biasa Mbak ?" sapa salah satu barista Starbucks sambil tersenyum manis..
Tata mengangguk sambil mengeluarkan kartu kredit dari dompet. Ia hampir seminggu 3 kali ke Starbucks Coffee Pacific Place, sehingga tak mengherankan apabila barista-barista di Starbucks familiar dengannya.
Sambil meneguk Hot Green Latte, Tata melangkah menuju mobil Mazda CX2 warna merah miliknya. Ia memilih pulang ke apartemennya di daerah Sudirman usai Rina menelepon untuk membatalkan janji bertemu karena masih harus rapat dengan Direksi.
Saat mengendarai mobil, ponsel Tata bergetar. Nama "Danti" terpampang di layar iPhone 11 miliknya. Danti adalah adik sematawayangnya yang tinggal di Yogyakarta.
"Assalamu'alaikum", kata Tata mengangkat telepon
"Walaikum salam Mbak"
Danti bercerita kalau beberapa hari belakangan ini Mama terlihat lesu dan mengeluh tidak enak badan. Ajakan Danti untuk memeriksakan Mama ke dokter selalu ditolak Mama. Sepeninggal Papa dua tahun silam, Mama belum sepenuhnya pulih dari rasa duka dan akhirnya berdampak pada kesehatannya.
"Minta tolong Mbak Tata bujuk Mama untuk mau aku antar ke dokter ya Mbak...biasanya kalau Mbak Tata yang bilang ke Mama, Mama lebih nurut.", kata Danti
"Nanti aku telepon Mama deh"
"Suwun yo Mbak..." kata Danti sebelum menutup telepon
Setiba di kos, Tata berencana menelepon mamanya. Namun tidak lama setelah ia masuk kamar, Rina menelepon.
"Ternyata meetingnya cepet selesai nih, keluar makan yuk Ta"
"Aku barusan aja sampai kos", jawab Tata sambil merebahkan diri di atas tempat tidur.
"Aku jemput deh. Pakai tas baru yang tadi kamu beli ya ", kata Rina penuh semangat.
Setelah menutup telepon, Tata bergegas bersiap diri untuk dijemput Rina. Ia berjanji akan menelepon Mama esok pagi.
Ternyata janji itu kemudian terlupakan. Sebagai staf marketing bank, mengejar target dana dan kredit menjadi ritual wajib Tata tiap akhir bulan. Akhirnya sudah seminggu lebih Tata belum juga menelepon Mama.
Ponsel Tata berdering saat Tata sedang bersiap berangkat ke kantor. Danti menelepon.
"Assalamu'alaikum" sapa Tata sambil meraih tas Kate Spade dari deretan tas bermerk miliknya.
"Walaikum salam....Mbak Tata, Mama masuk ICU"
Tata seakan disambar petir. Danti bercerita bahwa Mama terkena serangan stroke tadi pagi dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Siang harinya, Tata sudah berada di depan ruangan ICU salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Di depan ruangan ICU, Tata melihat Danti sedang duduk di kursi tunggu bersama Rangga, suaminya. Tata menghampiri Danti dan memeluknya erat.
Danti bercerita bahwa akhir-akhir ini Mama mengeluh sakit kepala. Dengan riwayat tekanan darah tinggi yang selama ini diidap Mama, Danti berulang kali membujuk Mama untuk memeriksakan diri ke dokter, namun Mama selalu menolak dengan berbagai alasan. Tata terdiam selama mendengarkan Danti bercerita, dia merasa bersalah karena lupa menelepon seminggu kemarin.
Sudah lima hari Tata berada di Yogya. Kondisi mama membaik dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Sore ini dia termangu saat melihat estimasi biaya rawat yang diberikan oleh bagian adminitrasi rumah sakit. Meskipun ia tahu bahwa biaya rawat sakit stroke di ICU mahal namun ia tak mengira akan sebesar Rp 108 juta.
Malamnya, saat sedang makan malam berdua dengan Danti di rumah makan di depan rumah sakit, dengan berat hati Tata bertanya kepada Danti .
"Danti, untuk biaya rumah sakit Mama bagaimana ya ?" Apakah Mama punya tabungan ?"
"Setahuku Mama punya deposito Mbak, tapi aku juga tidak tahu berapa banyak. Mungkin nanti kalau Mama sudah lebih sehat, kita bisa tanya ke Mama."
Tata terdiam. Tabungannya hanya sekitar Rp 30 juta, sementara kartu kreditnya juga sudah mendekati limit maksimal usai ia belanja tas Gucci dua minggu yang lalu.
"Kenapa Mbak Tata ?"
"Ee...tidak apa-apa kok" kata Tata sambil menggelengkan kepalanya.
Dia sungkan membicarakan masalah biaya rumah sakit Mama dengan Danti. Danti bekerja sebagai guru SD swasta dan suaminya juga seorang PNS di Balaikota. Selama ini Danti juga tampak sederhana, sehari-harinya ia naik sepeda motor ke sekolah dengan baju dan tas yang tidak bermerk. Tata bisa membayangkan kalau gaji Danti dan suami berbeda jauh dengan gajinya yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di bank.
Tata berpikir keras. Walaupun mungkian akan diganti dengan uang mama, namun untuk saat ini ia harus mengumpulkan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Menarik dana dari kartu kredit tidak mungkin, sementara mengajukan kredit juga membutuhkan waktu. Ia sedang menimbang-nimbang untuk meminjam uang Rina.
Tata mendesah. Ia menyesal selama ini menghabiskan uang untuk barang-barang bermerk. Selama ini ia terlena dengan gaji yang besar untuk dirinya sendiri sehingga gajinya habis untuk mengangsur kredit mobil, membeli barang-barang bermerk, dan makan di kafe-kafe mahal.
"Mbak Tata..." ucap Danti sambil memegang tangan Tata dan membuyarkan lamunan Tata.
"Mbak Tata, aku ada tabungan Rp 90 juta. Kalau memang diperlukan, dipakai dulu saja untuk biaya rumah sakit Mama"
Tata terkejut dan memandang Danti penuh tanya.
"Itu tabungan kami untuk uang muka membeli rumah Mbak, tapi tidak apa-apa kalau mau dipakai dulu untuk Mama.", kata Danti sambil tersenyum tulus.
Tata makin menyesal. Ia tahu kalau selama ini Danti dan suaminya mengontrak rumah dan sudah berangan-angan cukup lama untuk membeli rumah.
"Rangga sudah setuju kok Mbak, kemarin malam aku sudah ngobrol dengan dia. Mengingat kondisi Mama, kami mempertimbangkan akan pindah sementara waktu ke rumah Mama."
Tata tertunduk malu. Selama ini ia memandang sebelah mata pendapatan Danti dan suaminya karena lebih rendah daripada dirinya, namun ternyata mereka memiliki tabungan yang jauh lebih banyak dibandingkan tabungannya. Bahkan mereka sudah berencana untuk membeli rumah, sementara dirinya masih menyewa apartemen.
Tata merasa sangat bodoh betapa selama ini ia membanggakan diri mengendarai mobil mazda, tinggal di apartemen dan memiliki barang-barang bermerk. Dengan gajinya yang cukup besar dan tidak memiliki tanggungan karena belum menikah, seharusnya dia dapat lebih menyisihkan uang untuk dana darurat. Tata tersadar bahwa ia perlu belajar banyak dari Danti.