Siti Mona Humaira lengkapnya. Adikku menyebut nama itu ketika aku dan suamiku mempertanyakan skripsinya yang tak kunjung selesai dan apa gerangan yang membuatnya sibuk. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku merasa penting menulis tentang Mona. Alasannya hanya satu. Adikku menyayanginya. Mona pertama kali hadir kerumah kami kira-kira setahun yang lalu. Saat itu resepsi pernikahanku baru saja usai. Tidak ada yang istimewa pada dirinya. Ia terlihat sama saja seperti teman-teman adikku yang lain. Saat itupun aku sedang capek, dan tak terlalu memperhatikannya. Hanya yang sempat kulihat sekilas, ketika Mona datang, adikku menyambutnya dengan senyum maha luas. Aiihh.. istimewa sekali agaknya. Namun Mona datang lagi keesokan harinya. Dan besoknya, besoknya. Intensitas kunjungannya semakin sering. Dan aku mulai terganggu. Aku tidak suka Mona datang sering-sering. Alasan pertamanya tentu aku tak suka Mona menyambangi adikku, yang notabene adalahJejaka Muda yang sedang galau karena skripsinya belum lebih maju dari Bab 3. Menurutku Mona hanya mengacaukan fikirannya. Ditambah lagi Mona tak pernah sekalipun datang membawa cemilan (nah ini alasan egois), atau menyapa anggota keluarga lainnya untuk bersopan santun.Plus, setiap kali Mona kembali ke habitatnya (wallahua’lam dimana), Ia pulang meninggalkan rambut yang rontok dimana-mana. Sungguh teramat sangat jorok, menurutku gadis itu tak tahu bagaimana menjaga dirinya. Adikku juga lebay. Setiap Mona datang Ia pasti sibuk menyajikan hidangan terbaik. Pernah aku menyindirnya “repot amat sih. Dia kan udah datang hampir tiap hari. Tamu aja dijamu Cuma 3 hari!”. Adikku senyum lagi, aku pun bertambah jijay pada Mona. Kurang lebih setengah tahun telah berlalu, dan selama itu pula aku menyimpan rasa tak sukaku pada Mona. Segala upaya telah aku coba untuk merayu adikku agar tak terlalu dekat dengan Mona. Mulai dari sentilan-sentilan ringan seperti “ masih banyak yang lebih kece..” atau “ urus skripsi dulu sana..” sampai pukulan telak kelubuk hatinya seperti “Apa bagusnya sih? Ga bermartabat. Asal usul ga jelas. Jorok!”. Dan reaksi adikku seperti biasa hanyalah.. senyum. Sungguh aku mempertanyakan selera dan kredibilitasnya dalam mencari teman. Sudah kucoba menghasut suamiku agar juga tak suka pada Mona. Namun reaksinya datar “Udah biarin aja.. Cuma begitu doang diributin.” Dan Ayah Bundaku? Percuma curhat ke mereka karena apapun yang membuat Jejaka Muda Kesayangan mereka bahagia, akan membuat mereka bahagia. Menyadari diriku sendiri menyimpan benci, semakin gedek lah aku sama si Mona. Pada suatu sore, Mona datang lagi. Ia memanggil-manggil adikku dengan semangat. Aku sama sekali tidak berminat keluar, meyapa dan mempersilahkannya masuk. Aku hanya mengintip dari balik tirai kamarku sambil otakku berputar-putar memikirkan strategi menyingkirkan si Mona. Pokoknya si Mona itu mesti punah dari dunia persilatan, eh, dunia rumah ini. Aku udah muak melihatnya. Apa kulempar saja ya? Ah. Terlalu ekstrim. Aku pun memikirkan cara lain yang lebih halus tapi efektif. Kepalaku berdenyut saking kerasnya aku berfikir. Gigiku pun ikut berdenyut, tambelannya agak somplak gara-gara menggigit makanan keras, dan aku belum ke dokter gigi. Takut. Hiiii.. Halah ini cerita lari kemana sih?. Intinya aku mengintip sambil berfikir dan menyeringai jahat. Tanganku terkepal dan lengan bajuku pun telah kusingsingkan. Amboy.. gagah nian lah pokoknya. Dan.. dalam masa berfikirku itulah, aku melihat adikku, yang semalam mengeluh habis-habisan karena jadwal seminarnya diundur lagi, yang semalam terlihat kuyu dan tak bersemangat, kini tersenyum suangat lebar pada Mona. Wajahnya berseri. Matanya berbinar. Tangannya mengembang menyambut sang Mona idaman. Mereka saling tersenyum, bertegur sapa, duduk manis dan mulai bercerita dengan ceria. Saat itulah aku tersadar. Bahwa sejijay apapun aku pada Mona, adikku menyayanginya. Menyingkirkan Mona hanya akan membuatnya sedih. Mana tega aku menghapus senyum selebar tampah itu dari wajahnya. Apa tega aku, ditengah-tengah kemelut fikiran adikku akan perjuangan skripsi yang tak kunjung usai, malah menghilangkan salah satu sumber kebahagiannnya tersebut (selain bakso, somay, game basket dan sahabatnya yang bernama Apes)? Aku terharu melihat hubungan yang absurd tapi manis itu.. Aku terhenyak, menyadari fikiran-fikiran buruk yang sempat terlintas di kepalaku. Aku merasa bagaikan kakak tiri Cinderella.. Sudah kuputuskan. Aku akan mencoba berdamai dengan kehadiran Mona. Adikku menyayanginya.. Titik. Beberapa bulan kemudian, tepatnya minggu lalu. Suasana aman damai tenteram. Angin berhembus semilir, ikan di kolam berlompatan riang dan mentari tampak ramah. Bundaku tersenyum sumringah memasuki arena dapur, bersiap untuk memasak makanan kesukaan Ayah. Tiba-tiba, demi melihat sebuah tindakan barbar yang sedang terjadi di dapur, Ia terbelalak. Jantungnya melengos. Aku juga terbelalak. Tapi tidak melengos, karena aku langsung mengambil sapu dan berteriak “ Ikaaaaannnnkkuuuuuu… Monaaaaaaaa…. Dasar kucing paleeeeeeeehhhhhhhhh”. Sang Jejaka Muda bersama Mona si Maling Ikan
KEMBALI KE ARTIKEL