Seorang ahli gizi dari BGN bernama Bu Ratna menjelaskan kepada anak-anak bahwa serangga mengandung protein yang sangat tinggi, bahkan lebih banyak dibandingkan daging sapi. Selain itu, serangga juga mudah dibudidayakan, ramah lingkungan, dan dapat menjadi solusi atas krisis pangan dunia.
"Ulat sagu, misalnya," kata Bu Ratna sambil menunjukkan mangkuk kecil berisi ulat yang sudah digoreng renyah. "Kandungan proteinnya mencapai 40%, belum lagi kaya akan vitamin dan asam lemak esensial."
Zaqiana terkejut mendengar penjelasan itu. Ia mencoba mencicipi satu ulat sagu yang telah diolah menjadi keripik gurih. Rasanya ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan, bahkan cukup enak!
Setelah kunjungan tersebut, Zaqiana semakin bersemangat belajar tentang nutrisi. Ia mulai memperkenalkan makanan berbahan dasar serangga kepada keluarganya. Awalnya, banyak yang menolak karena merasa jijik. Namun, dia tak menyerah. Ia mengolah belalang menjadi bakso, ulat sagu menjadi sate, dan jangkrik menjadi keripik.
Lama-kelamaan, warga desa mulai penasaran dan mencoba masakan zaqiana. Mereka terkejut karena rasanya lezat dan lebih murah dibandingkan daging. Bahkan, Naya berhasil mengajak seorang pengusaha lokal untuk membangun peternakan serangga di desanya.
Berita tentang inovasi desa Zaqiana tersebar luas hingga kota besar. Desa kecil itu kini dikenal sebagai pionir makanan berbahan dasar serangga di Indonesia. Zaqiana pun berhasil mewujudkan mimpinya menjadi ahli gizi yang membantu masyarakat mengatasi masalah pangan dan gizi.
Di akhir cerita, Zaqina berdiri di depan panggung seminar nasional, menceritakan perjalanannya. Dengan senyum bangga, ia berkata, "Kadang solusi terbaik datang dari sesuatu yang selama ini kita abaikan, seperti serangga. Jangan takut mencoba hal baru, karena masa depan ada di tangan kita."