Aksi ini bagaikan duri dalam daging bagi masyarakat Papua yang cinta damai. Di satu sisi, mereka ingin merayakan pencapaian gemilang buah dari jerih payah belajar. Di sisi lain, mereka harus menyaksikan simbol separatisme yang mengusik rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Di balik aksi tersebut, terbentang kisah pilu para pelajar dan tenaga pendidik di wilayah pedalaman dan pegunungan Papua. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan akibat ancaman dan intimidasi dari kelompok separatis OPM. Sekolah, Puskesmas, dan Kantor Pemerintahan menjadi sasaran empuk perusakan dan pembakaran, menghambat akses pendidikan dan layanan publik.
OPM ingin Papua tertinggal, terisolasi dari kemajuan. Mereka ingin anak-anak Papua tak menjadi pintar dan kritis, agar mudah dikendalikan dan mendukung perjuangan mereka. Namun, rakyat Papua, bersama dengan aparat keamanan, tak tinggal diam. Mereka bahu membahu melawan teror OPM, demi mewujudkan Papua yang damai dan sejahtera.
Pemerintah pun menunjukkan komitmennya. Sekolah-sekolah baru didirikan, guru-guru dibekali pelatihan, dan akses internet diperluas. Semua ini demi memberikan generasi muda Papua kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Tragedi konvoi di Dogiyai menjadi pengingat bahwa separatisme adalah musuh bersama. Ia merenggut hak anak-anak Papua untuk belajar dan menggapai mimpi. Ia mencederai rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Mari kita satukan tekad untuk melawan separatisme. Kita lindungi generasi muda Papua dengan pendidikan yang berkualitas dan lingkungan yang aman. Masa depan Papua ada di tangan mereka. Dengan menumbuhkan rasa cinta tanah air dan memupuk semangat persatuan, kita hantarkan mereka menuju masa depan yang gemilang, di mana Bintang Kejora bersinar bukan sebagai simbol perpecahan, melainkan sebagai bintang harapan bagi Indonesia yang maju dan sejahtera.
Bersama, kita ciptakan Papua yang damai, Papua yang bersatu, Papua yang gemilang!