Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga Pilihan

Jerman Bayar Lunas Semua Hutang

14 Juli 2014   08:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:23 327 0
"Perubahan, sekecil dan sebesar apa pun, tak selalu membuat keadaan menjadi lebih baik. Pencapaian-pencapaian kecil menjadi sangat berarti untuk tetap percaya pada tujuan akhir. Loew memimpin pasukannya setia sampai akhir dengan segala kesakitannya."

oleh: angryanto rachdyatmaka / follow: @angrydebritto

“Aku menyesal keluar dari kantor,” curhat seorang kawan suatu sore sambil menyeruput kopi yang masih mengepul nikmat. “Ternyata jadi pengusaha tidak segampang yang aku bayangkan. Rasanya lebih enak dulu nggak pusing mikirin bulan ini bakal makan apa,” tambahnya sembari menerawang.

Saya ingat beberapa tahun lalu dengan wajah sumringah dia mengabarkan keputusan besarnya untuk keluar dari karir bagusnya di sebuah perusahaan besar di ibukota. Kafe tenda yang mulai dirintisnya semakin ramai dan membutuhkan perhatian yang lebih intens dan serius. Iming-iming pendapatan yang lebih besar, serta waktu yang lebih bebas, membuatnya semakin yakin.

“Aku malu sama istri dan keluargaku. Dulu aku meyakinkan mereka dengan janji bisa tetap memenuhi kebutuhan mereka dan meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama. Nyatanya aku malah lebih sibuk dari dulu dan pendapatan pun tak jauh lebih baik dari gajiku dulu,” katanya lagi sembari menegaskan bahwa ternyata perubahan semenjanjikan apa pun – dengan persiapan sematang apa pun – tak selalu seindah bayangan.

Dua puluh empat tahun yang lalu, Franz Beckenbauer yang baru saja memberikan Piala Dunia ke-3 bagi Jerman di Italia, membuat sebuah pernyataan yang dicatat dunia sebagai sebuah janji. “Dengan bergabungnya Jerman Barat dan Jerman Timur, kami akan menjadi tim yang tak terkalahkan.”

Saat itu, Jerman sedang bersuka-ria tetiup “wind of change” yang menjadi trend dunia. Gerakan glasnots dan perestroika di Uni Sovyet yang diinisiasi oleh Mikhail Gorbachev menghembus kencang ke seluruh kolong jagat. Tembok Berlin, yang memisahkan Jerman Barat bdan Timur, tak kuasa menahan gempuran dan akhirnya runtuh sekaligus menandai bersatunya dua negara bersaudara itu.

Oktober 1990, Jerman resmi bersatu dan meniupkan harapan-harapan baru. Tak terkecuali bagi tim nasional yang mulai bermimpi bakal lebih sering mengoleksi gelar juara. Nyatanya, baru Piala Eropa 1996 yang berhasil dibawa pulang. Hanya seorang Matthias Sammer yang mewakili eks Jerman Timur yang eksis dan terbukti punya kontribusi berarti bagi tim nasional.

Selebihnya, Jerman berstatus tim sarat potensi tapi selalu gagal meraup prestasi maksimal. Di Piala Dunia 2002, kalah di final dari Brazil, masih ada 6 pemain eks Jerman Timur dalam tim. Empat tahun kemudian di Jerman, kalah di semifinal dan menjadi juara 3, berkurang menjadi 4 pemain. Dan, hanya tersisa satu di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Di Brazil, hanya Toni Kroos yang dibawa Joachim Loew. Tiga pemain eks Jerman Timur lainnya, batal berangkat karena cedera: Marco Reus, Ilkay Gundogan dan Lars Bender. Tim justru banyak diisi oleh pemain imigran seperti Mesut Pozil, Sami Kedira, Jerome Boateng atau Lukas Podolski.

Penyatuan Timur dan Barat belum berdampak apa-apa di lapangan hijau. Skuad nasional masih dikuasai pemain yang berasal dari bagian Barat. Uniknya, rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas yang punya kemampuan dan akses mengikuti jenjang pelatihan terbaik yang disediakan oleh pemerintah dan federasi sepakbola Jerman.

Berbeda dengan pemain-pemain muda di bagian Timur yang kesulitan mendapatkan pembinaan dan kompetisi yang memadai. Bundesliga dikuasai oleh tim-tim asal wilayah Barat. Tim-tim dari Timur hanya bisa berkompetisi di Divisi 2 dan 3, bahkan terdegradasi menjadi tim amatir.

Keberhasilan klub-klub besar seperti Bayern Muenchen dan Borrusia Dortmund tak bisa diikuti oleh saudara-saudara mereka di Timur yang masih mengadopsi sistem lama: minim dana, tak punya jenjang pembinaan yang memadai dan kekurangan tenaga profesional untuk mengelola klub.

Gelar Juara Dunia 2014 akan memberi banyak impact terhadap sepakbola Jerman. Bukan saja pembuktian terhadap kemampuan “the new golden generation” di bawah komando kapten Phillip Lahm menyumbangkan piala, terlebih memperkuat keyakinan bahwa penyatuan dua negara puluhan tahun lalu bukan keputusan yang salah.

Sebuah pencapaian diharapkan membuka kesadaran masih timpangnya praktek penyatuan itu terhadap keadaan pemain dan klub di bekas Jerman Timur. Mimpi Jerman Bersatu pada tahun 1990 mensyaratkan kesetaraan dalam segala bidang, tidak terkecuali sepakbola, bagi semua warga di semua belahan negara tanpa terkecuali.

Mimpi besar yang harus diawali dengan merebut Piala Dunia 2014 sebelum publik menjadi pesimis dan meragukan pilihan yang diambil puluhan tahun lalu itu. Mimpi indah yang kini sudah berada dalam genggaman setelah menumbangkan Messi cs, 1-0!

Tim Eropa pertama yang menjadi juara Piala Dunia di Benua Amerika Latin, menyamai Itralia dengan koleksi 4 trofi, mengantarkan Klose menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia.

Selamat, Jerman!

Tak pernah ada jalan mudah meraih mimpi. Sesuatu yang juga dirasakan teman saya yang menutup pembicaraan dengan mengunggah harap, “Aku sudah memutuskan. Tidak ada gunanya menyesali ke belakang. Semoga aku masih punya semangat dan enerji menjalani hari-hari berat ini...”

[Senin Pagi, 14/07/14, usai berbincang asik sekaligus haru dengan kawan lama...]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun