Di awal kepemimpinannya mewujudkan 'Jakarta Baru', duet Jokowi-Ahok berambisi mengubah citra Jakarta dari 'kota kejam' menjadi 'kota yang bersahabat'. Seperti janjinya ketika musim kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, kemacetan, banjir, sampah dan segudang masalah perkotaan lainnya, harus segera menyingkir jauh dari ibukota. Sekarang waktunya janji-janji itu ditagih.
Membenahi Jakarta, memang tak semudah yang dikatakan kandidat pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di setiap musim Pemilukada. Saking semrawutnya, terbukti, tak ada satu pun tokoh yang mampu membenahi kota ini. Semua program, mentah dan tak membawa perubahan sama sekali meski ongkosnya tiap tahun terus membengkak.
Ini, tentu tak lepas dari praktek-praktek busuk para 'oknum kecoa' yang sudah berlangsung puluhan tahun dan masih saja berlangsung hingga kini. Entah itu oknum Pemerintahan, pengusaha, atau elemen masyarakat yang berlindung di bawah payung organisasi kemasyarakatan. Yang jelas, mereka cuma berpihak pada duit. Akibatnya, muncul sindiran 'maju tak gentar membela yang bayar'.
Pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang yang berlokasi di wilayah RT 002 RW 05, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, misalnya. Ini, merupakan satu contoh aksi pengembang nakal yang curi start meski izin penuh belum dikantongi.
Hingga saat ini, menurut LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi DKI Jakarta, yang mengadvokasi warga sekitar, proyek pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang ini baru mengantongi izin pendahuluan (IP). Ini artinya, hanya boleh membangun sebatas fondasi bangunan saja. Tapi apa yang terjadi ?
Meski baru IP yang dikantongi, kerangka beton sudah menjulang setinggi empat lantai ke atas lengkap dengan basement. Menurut rencana, bangunan ini akan berdiri 9 lantai yang di dalamnya juga terdapat swalayan Hypermart.
"Ini jelas menyalahi aturan. Mereka belum mengantongi izin Amdal, berarti Gubernur Jokowi harus mengentikan pembangunannya," kata Heru Kundhiwinarso, Deputi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi DKI Jakarta seperti dilansir merdeka.com.
Pernyataan Heru, bukan tanpa dasar. Sebab di dalam peraturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), penggunaan air tanah, pengelolaan limbah, penyediaan daerah resapan, arus lalu lintas di sekitar bangunan dan kultur masyarakat sekitar harus benar-benar diperhatikan. Tujuannya, jangan sampai keberadaan bangunan dan segala macam aktifitas di dalamnya menimbulkan dampak negatif bagi warga sekitar yang sudah menetap di situ jauh lebih dulu di kemudian hari. Dan ini, merupakan syarat mutlak ketika pembangunan sebuah gedung dilakukan.
Jadi, boleh diduga, jika izin tersebut belum dikantongi dan pembangunan apartemen nine residence kemang terus dikebut 24 jam sehari, maka ada sesuatu yang ditutupi pihak pengembang.
Apakah sesuatu yang ditutupi itu ? Entahlah. Bisa pelanggaran penggunaan air tanah, daerah resapan, pengelolaan limbah, arus lalu lintas, atau mungkin kultur masyarakat akan dibiarkan porak-poranda dengan keberadaan hunian mewah tersebut. Yang jelas, saat ini selama 24 jam dalam sehari, bising mesin crane, beradunya palu dan besi, serta kerasnya dengung mesin cor atau besi penyangga yang dijatuhkan begitu saja, sudah membuat resah warga sekitar.
Asal tahu saja, deadline penyelesaian pembangunan hingga Desember 2014 harus dikejar. Dan pada bulan itu juga, kunci, sertifikat kepemilikan dan segala macam fasilitas lainnya sudah harus diserahkan ke calon penghuni. Menurut informasi yang dikabarkan berbagai media massa, semua unit di apartemen itu sudah ludes terjual.
Sekedar catatan, di sepanjang Jalan Warung Buncit Raya yang membentang dari Perempatan Mampang Prapatan hingga Jalan Margasatwa, Cilandak, Jakarta Selatan, arus lalu lintas padat merayap di jam-jam sibuk. Bahkan, jika hujan turun dan menimbulkan genangan air di sisi kiri-kanan jalan, arus lalin terkunci rapat tak bergerak sedikit pun.
Bisa dibayangkan jika Apartemen besutan Grup Lippo yang pengerjaannya dilakukan PT Pembangunan Perumahan (PT PP) ini nantinya berdiri dan beroperasi persis beberapa meter dari perempatan Duren Tiga, kemacetan akan seperti apa. Siap-siap saja pengguna jalan yang biasa melintasi kawasan ini terpaksa harus menikmati runyamnya arus lalu lintas.
Kelakuan Grup Lippo dan PT PP yang sama-sama sudah menyandang status sebagai perusahaan terbuka tadi, cuma satu contoh model pembangunan serampangan di ibukota. Lantas bagaimana dengan di kawasan lain yang masih termasuk wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta ? Mari, bagi yang tahu, silahkan berbagi informasinya di sini.
Lalu, kemana aparat setempat ? Apa mereka tidak tahu ada aksi serampangan sedang berlangsung ? Atau jangan-jangan oknum-oknum seperti Lurah, Camat, Walikota mungkin juga Gubernur harus tutup mata dan bungkam lantaran sudah diganjal 'fulus' duluan ? Kalau begitu, uang pajak yang dibayarkan rakyat rupanya tidak bekerja maksimal.