Selain itu, The Economist juga menuliskan politik luar negeri Indonesia di bawah pimpinan Presiden Prabowo berpotensi kehilangan jati diri dari negara yang netral dan independen.
Menanggapi hal tersebut, pengamat dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi langkah yang diambil oleh presiden Prabowo menunjukkan ekstensi Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalisme.
Jadi narasi yang dibangun oleh media asing The Economist soal lawatan Presiden Prabowo ke China dan Amerika Serikat (AS) terbilang tendensius.
"Sangat tendensius dan jelas mengabaikan kompleksitas diplomasi Indonesia, karena kunjungan pak Prabowo keberbagai negara memiliki tujuan berbeda dan bukan untuk menyenangkan negara tertentu," kata Khairul Fahmi.
"Jadi diplomasi yang dilakukan pak Prabowo ke berbagai negara sebagai penyeimbang kepentingan, baik dari sisi politik luar negeri, ekonomi dan keamanan tanpa mengorbankan prinsip bebas dan aktif," sambung.
Khairul Fahmi juga meminta kepada media asing untuk lebih memiliki pandangan yang luas jika ingin membuat berita tentang langkah politik luar negeri Indonesia.
"Jangan memiliki pandangan yang sempit hanya dari kunjungan ke dua negara besar tanpa melihat konteks keseluruhan," ujar Khairul Fahmi.
"jadi harus lebih dulu memahami tujuan jangka panjang Indonesia dari seluruh rangkaian kunjungan dalam mempererat hubungan strategis dengan berbagai negara," pungkas Khairul Fahmi.