(27 November 2013) – ”Seks pranikah dongkrak tingginya penderita HIV/AIDS.” Ini judul berita di bisniswisata.co (25/11-2013).
Apa dasar pernyataan tsb.?
Menurut Djajat Sudrajat, Koordinator Pelaporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) seks peranikah mendongkrak kasus HIV/AIDS karena berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam kurun waktu enam bulan (Januari-Juni 2013), terdapat 1.996 infeksi HIV baru dari kelompok usia 15-24 tahun di Indonesia.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Djajat Sudrajat adalah:
(1) Apakah semua kasus infeksi HIV baru (1.996) pada usia 15-24 tahun terdeteksi pada orang yang belum (pernah) menikah?
Dalam berita tidak ada penjelasan tentang status perkawinan 1.996 kasus HIV/AIDS tsb. sehingga pernyataan Djajat Sudrajat tsb. tidak membuktikan bahwa seks pranikah mendongkrak kasus (baru) HIV/AIDS.
(2) Apakah semua kasus infeksi HIV baru (1.996) pada usia 15-24 tahun terdeteksi pada orang dengan faktor risiko hubungan seksual?
Lagi-lagi tidak ada penjelasan dalam berita sehingga tidak bisa disebutkan bahwa 1.996 kasus HIV/AIDS baru itu tertular melalui hubungan seksual pranikah.
Lagi pula pernyataan Djajat Sudrajat itu mengesankan kalau hubungan seksual dilakukan setelah menikah tidak ada (lagi) risiko tertular HIV.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami karena para suami ’hidung belang’ itu tidak takut tertular HIV melalui hubungan seksual karena mereka sudah menikah.
Itu artinya pernyataan tsb. menyesatkan sehingga menjadi kontra produktif terhadap penanggulanganHIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan pada lead berita yaitu: ”Mengabaikan gaya hidup sehat, ..... ikut mendongkrak tingginya pengidap HIV dan AIDS di Indonesia.”
Kesimpulan yang ngawur bin ngaco karena orang yang melakukan hubungan seksual justru orang sehat.
Yang jadi persoalan adalah: Apakah hubungan seksual tsb. aman atau tidak terhadap risiko tertular HIV?
Fakta terkait dengan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (seks sehat, seks pranikah, jajan, melacur, dll.) tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).
Ini pernyataan Vishal Bhatia, Marketing Director Reckitt Benckiser Indonesia, produsen kondom Durex: “Data mengenai infeksi HIV yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan sangat memprihatinkan. Sebagai brand yang mengedepankan kesejahteraan seksual, kami merasa wajib untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dalam upaya menekan angka infeksi HIV di Indonesia.”
Edukasi macam apa, Tuan Vishal?
Tidak penjelasan yang konkret dalam berita tentang edukasi yang dijalankan.
Disebutkan bahwa peningkatan jumlah orang yang terjangkit virus HIV di Indonesia tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Celakanya, tidak disebutkan cara-cara yang konkret untuk menurunkan peningkatan jumlah orang yang terjangkit virus HIV di Indonesia.
Ini pernyataan dr. Ulul Albab, Humas Persatuan Anggota Muda Obstetri dan Ginekologi (PAOGI) FK UI: “Banyak sekali ibu dan anak-anak yang terkena HIV/AIDS dari pasangannya. Inilah yang ingin kita hentikan. Karena pengetahuan dan pemahaman yang baik dan menyeluruh mengenai kesehatan seksual dan reproduksi sangat penting untuk pencegahan HIV/AIDS di kalangan generasi masa depan. Ibu dapat menjadi sumber informasi terbaik dan juga gatekeepers bagi anak-anak mereka.”
Pertama, ibu rumah tangga tertular HIV dari suaminya. Maka, persoalan ada pada suami-sumai bukan ibu-ibu karena ibu-ibu itu pasif dan tidak akan bisa menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual. Ibu-ibu itu juga tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk meminta suami pakai kondom jika perilakunya berisiko.
Maka, bagaimana menghentikan penularan HIV dari suami ke istri?
Lagi-lagi tidak ada penjelasan.
Kedua, bayi tertular HIV dari ibunya. Persoalannya adalah ibu-ibu hamil tidak menyadarinya dirinya sudah tertular HIV dari suaminya.
Maka, bagaimana cara yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil?
Lebih lagi-lagi juga tidak ada penjelasan.
Disebutkan bahwa masyarakat saat ini haruslah memiliki pemahaman yang benar, dan mampu melindungi diri mereka dari risiko penyebaran HIV/AIDS.
Lalu, bagaimana seorang istri melindungi dirinya agar tidak tertular HIV dari suaminya?
Adalah hal yang mustahil seorang istri bertanya kepada suami tentang perilaku seks suami. Jangan bertanya tentang perilaku seks suami, dalam agama tertentu seorang suami yang menikah lebih dari satu istri pun tidak wajib memberitahu istri(-istinya).
Ini salah bentuk berita talking news yang tidak menggambarkan epidemi HIV/AIDS di ranah realitas sosial sehingga masyarakat sama sekali tidak mendapatkan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang konkret.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/11/menyesatkan-seks-pranikah-dongkrak.html]