(3/9-2013) – "Sedikitnya lima orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Cirebon diketahui positif terinfeksi HIV-AIDS. Gaya hidup seks bebas diduga sebagai penyebabnya.” Ini lead pada berita “Lima PNS di Kota Cirebon Positif HIV-AIDS” (www.pikiran-rakyat.com, 2/9-2013).
Kalau mengikuti gaya bicara anak muda, maka pernyataan ‘Gaya hidup seks bebas diduga sebagai penyebabnya’ pantas disebut “hari gini masih saja tidak paham cara penularan HIV/AIDS?”
Kalau ‘seks bebas’ yang ada dalam pernyataan itu diartikan sebagai zina, al. melacur, selingkuh, ‘kumpul kebo’, ganti-ganti pasangan, dll., maka pernyataan tsb. ngawur bin ngaco.
Penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali snggama).
Dikabarkan bahwa Wali Kota Cirebon, Ano Sutrisno, menyebut kondisi itu (kasus AIDS pada pegwai negeri sipil/PNS-pen.) sebagai situasi yang memalukan.
Yang memalukan bukan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada lima PNS itu, tapi perilaku PNS yang berzina al. melacur tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).
"Kemungkinan, jumlah PNS yang terinfeksi HIV-AIDS lebih banyak lagi. Karena lebih banyak orang yang segan memeriksakan dirinya secara sukarela ke tempat-tempat layanan." Ini pernyataan Sekretaris 1 Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon Sri Maryati.
Terkait dengan jumlah PNS yang diperkirakan tertular HIV merupakan konsekuensi logis dari kehidupan mereka. Dengan penghasilan yang besar dan tetap mereka bisa memakai uangnya untuk membeli seks, al.dengan PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak mangkal di lokasi pelacuran, seperti cewek panggilan, ABG, cewek di warem, dll.
PSK tidak langsung dipilih banyak orang karena mereka menganggap tidak berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena selama ini informasi yang sampai ke masyarakat menyebutkan bahwa HIV/AIDS menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran.
Yang terjadi bukan banyak orang yang segan memeriksakan diri, tapi mereka tidak merasa berisiko. Apalagi pejabat dan pengusaha yang melakukan zina dengan cewek gratifikasi seks merasa aman karena cewek itu bukan pelacur dan zina dilakukan di hotel berbintang.
Maka, kalau Sri merasa ada lagi PNS yang berisiko tinggi tertular HIV dan tidak mau memeriksakan diri, maka perlu dipikirkan tes HIV yang sistematis. Di Amerika Serikat, misalnya, semua pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah wajib tes HIV. Nah, bisa saja Pemkot Cirebon menjalankan program tes HIV bagi PNS dan keluarganya yang memakai fasilitas Askes. Ini bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena ada pilihan yaitu berobat tanpa Askes di rumah sakit swasta.
Menurut Sri, lima PNS itu memeriksakan diri secara sukarela. Mungkin mereka sudah memahami risiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Persoalannya adalah: Apakah semua PNS yang perilakunya berisiko, al. sering berzina tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung, menyadari perbuatannya berisiko tertular HIV?
Disebutkan oleh Sri bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS d Kota Cirebon sampai Juni 2013 mencapai 548. Tentu saja angka ini tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya.
Dikatakan lagi oleh Sri bahwa Kota Cirebon sudah memiliki Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS.
Pertanyaan untuk Sri: Apakah ada pasal yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS dalam perda itu?
Tentu saja tidak ada karena perda itu hanya berisi pasal-pasal yang normatif. Lihat: Perda AIDS Kota Cirebon, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-cirebon-jawa-barat.html).
Selama Pemkot Cirebon tidak melokalisir praktek pelacuran, maka selama itu pula perilaku berisiko terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/09/pns-pengidap-hivaids-di-kota-cirebon.html]