Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2014 ternyata tidak lebih baik daripada Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang menjadi program kesehatan Pemprov DKI Jakarta yang digagas oleh Joko Widodo yang dikenal sebagai Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
JKN dipromosikan sebagai program kesehatan nasional yang dikesankan sebagai pemenuhan hak warga negera.
Tapi, dalam prakteknya JKN adalah asuransi kesehatan bukan pemenuhan hak untuk mendapatkan layanan kesehatan (yang) gratis.
Sedangkan KJS merupakan program Pemprov DKI Jakarta yang 100 persen gratis karena merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan.
Peserta JKN diwajibkan membayar premi minimal untuk tiga bulan.
Program layanan JKN disediakan dalam tiga kategori yaitu: (1) Kelas I, (2) Kelas II, dan (3) KelasIII.
Premi asuransi JKN didasarkan pada kelas layanan yang dipilih peserta, yaitu:
Kelas I Rp 59.500/orang/bulan
Kelas II Rp 42.500/orang/bulan
Kelas III Rp 25.500/orang/bulan
Satu keluarga dengan dua anak yang memilih paket Kelas III harus membayar premi Rp 306.000 per tiga bulan. Maka, untuk premi satu tahun dibutuhkan dana Rp 1.224.000.
Dana sebesar itu tentulah tidak mudah bagi banyak keluarga kalangan bawah, terutama yang bekerja di sektor informal.
Itu artinya sakit atau tidak sakit, berobat atau tidak berobat premi wajib dibayar per tiga bulan.
Maka, program KJS lebih realistis. Dana yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta untuk peserta KJS sesuai dengan biaya yang ditagih rumah sakit yang menjadi mitra KJS. Ada standar biaya untuk pemeriksaan dan pengobatan, tapi untuk biaya tindakan medis dan rawat inap pun ditanggung KJS.
Yang menjadi persoalan adalah ada kemungkinan ada rumah sakit yang menjalankan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak esensial sehingga melebihi batas standar yang dibayar KJS.
Jika Pemprov DKI Jakarta mengikuti program JKN tentulah beban besar bagi APBD karena harus membayar premi. Sedangkan program KJS tidak mengeluarkan dana sebesar premi JKN.
Kalau semua pemegang kartu KJS, 4,7 juta jiwa, otomatis masuk JKN, dengan pilihan Kelas III, dibutuhkan dana Rp 5,8 triliun/tahun. Ini tidak realistis karena tidak semua pemegang JKS otomatis akan berobat pada kurun waktu satu tahun.
Tahun 2013, misalnya, anggaran kesehatan pada APBD Jakarta Rp 2,9 triliun. Anggaran ini dikabarkan cukup untuk membayar tagihan KJS.
Terkait dengan warga yang tidak mampu, pemerintah akan membayar premi yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Tentu masalah baru akan muncul karena batasan yang bisa memenuhi kriteria PBI sangat subjektif. Apalagi kalau hanya berdasarkan surat keterangan dari RT, RW dan Kelurahan. Bisa saja terjadi manipulasi data.
Cara-cara busuk yang dilakukan sebagai orang untuk mendapatkan “status” miskin dapat dilihat secara kasat mata pada penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang digulirkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
Banyak penerima BLSM memakai perhiasan, seperti kalung, jam tangan dan banyak pula yang memakai motor.
Jika mengacu pada persyaratan kategori miskin, al. rumah berlantai tanah, tidak dialiri listrik PLN, dll., maka tentulah penduduk di perkotaan hanya segelintir saja yang bisa menerima bantuan lansung.
Kalau siasat busuk dipakai untuk mendapatkan status sebagai PBI, maka program JKN tidak mendidik masyarakat untuk berlaku jujur.
Dalam kaitan ini program KJS jauh lebih objektif karena semua warga Jakarta adalah pemegang KJS sehingga tidak perlu siasat busuk untuk mendapatkan “status miskin”.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian Jokowi memilih menjalankan KJS daripada JKN.***[Syaiful W. Harahap]***