“ …. kesulitan menurunkan angka HIV-AIDS yakni adanya perilaku seks berisiko yang semakin meningkat, sebaliknya rendahnya penggunaan kondom.” Ini pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes), dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH, di Banda Aceh, Aceh (Perilaku Seks Berisiko Sebabkan Kasus HIV-AIDS Meningkat, www.beritasatu.com, 25/7-2012).
Untuk itulah diperlukan langkah yang konkret, al. program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Langkah ini sudah berhasil dilakukan Thailand yang dikenal luas sebagai program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Intervensi yang konkret yang bisa dilakukan hanya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’. Adalah hal yang mustahil menghentikan penyebaran HIV di masyarakat karena tidak semua laki-laki ‘hidung belang’ melacur di lokalisasi pelacuran.
Dalam praktek pelacuran dikenal PSK langsung dan PSK tidak langsung. PSK langsung adalah PSK yang mangkal di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan mejeng di tempat umum. Sedangkan PSK tidak langsung adalah perempuan yang tidak mangkal atau mejeng karena mereka bisa ‘dipakai’ melalui kontak telepon atau kurir, seperti karyawan hotel, tukang beca, tukang ojek,sopir taksi, dll.
Celakanya, ada anggapan bahwa yang berisiko tertular HIV adalah hubungan seksual dengan PSK langsung. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS selama ini dibumbui dengan moral sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS, seperti mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, waria, homoseksual dll.
Menurut Menkes: "Pencegahan penyebaran HIV-AIDS bagi pelaku seks berisiko tidak ada lain kecuali dengan penggunaan kondom. ….”
Persoalannya adalah di Indonesia tidak ada langkah konkret seperti yang dilakukan di Thailand. Apalagi di Indonesia lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup dengan alasan moral. Pemprov Jawa Timur, misalnya, sudah mencanangkan program penutupan lokalisasi pelacuran (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/04/02/lokalisasi-pelacuran-di-surabaya-ditutup-atau-mengubah-paradigma-penanggulangan-aids/).
Sedangkan di Tanah Papua lokalisasi pelacuran diakui dengan setengah hati karena dalam peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS lokalisasi pelacuran disebut sebagai ‘tempat berisiko terjadi penularan HIV/AIDS’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).
Kalau pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, hanya terpaku pada program komunikasi (untuk) perubahan perilaku, itu artinya membiarkan insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada gilirannya akan bermuara pada ibu-ibu rumah tangga dan berakhir pada bayi.
KPAN, misalnya, mengembangkan program PMTS (pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual) yang mengandalkan penjangakuan. Ini juga membutuhkan waktu dan tidak pula ada jaminan akan berhasil mengubah perilaku laki-laki ‘hidung belang’ untuk memakai kondom kalau melacur.
Lagi pula tidak ada jaminan dengan program komunikasi itu otomatis laki-laki ‘hidung belang’ akan berhenti melacur atau memakai kondom kalau melacur. Kalau pun ada harapan, maka dibutuhkan waktu yang panjang. Celakanya, pada rentang waktu yang panjang itu insiden infeksi HIV baru terus terjadi.
Langkah lain yang perlu dijalankan pemerintah adalah survailans tes HIV yang menyeluruh. Mulai dari survailans rutin, sentinel dan khusus terhadap kalangan tertentu.
Malaysia,misalnya, menjalankan survailans rutin, al. terhadap perempuan hamil sehingga upaya untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa efektif,
Berbagai program penanggulangan yang ada di Indonesia, termasuk melalui perda-perda AIDS, hanyalah penanggulangan di hilir, seperti tes HIV, perawatan, pengobatan, dll. Ini artinya pemerintah menunggu penduduk tertular HIV dahulu (di hulu) baru ditangani (di hilir).