“Jadi bukan masalah misalnya kok Al Quran di korupsi. Orang yang korupsi itu sudah tidak takut dengan ajaran agama, tidak takut sama neraka. Orang yang sudah tidak takut sama neraka, apapun mereka kerjakan, termasuk mengkorupsi Al Quran. Korupsi Al Quran buat mereka jadi biasa saja.” Ini pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie (Marzuki Alie: Yang korupsi Sudah Tidak Takut Ajaran agama, TRIBUNnews.com 27/7-2012).
Cerita yang disampaikan oleh Teten Masduki, aktivis di ICW (Indonesia Corruption Watch), tentang tanggapan (alm.) Gus Dur terhadap korupsi merupakan realitas sosial sinyalemen yang disampaikan oleh Marzuki. Menurut Teten dia berharap agar NU dan Muhammadiyah bisa digalang sebagai ‘motor’ untuk memberantas korupsi.
Apa jawaban Gus Dur waktu itu? Di luar dugaan. “Itu tidak efektif.’ Lho, mengapa? “Mereka mengetahui cara bertobat.”
Memang, terkait dengan korupsi dan dosa ada ironi karena koruptor bis saja lolos dari dosa kalau tobatnya diterima Tuhan. Apalagi agamawan selalu mendengung-dengungkan dosa (sebesar apa pun) bisa diampuni Tuhan. Bahkan, ada lagi yang melakukan pengakuan dosa kepada pemuka agama.
Masih menurut Marzuki: “Para pelaku korupsi menurutnya adalah orang yang sudah tidak percaya pada ajaran agama dan sudah tidak takut akan siksa api neraka.”
Marzuki rupanya khilaf karena kalau dosa-dosa koruptor terkait dengan perbuatannya yang melakukan korupsi diampuni Tuhan, mereka bukan menerima siksa api neraka, tapi meneguk manisnya air susu dan bidadari di sorga.
Maka, terkait dengan fakta itu tidaklah bermanfaat lagi menakut-nakuti koruptor dengan dosa dan siksaan api neraka karena mereka mengetahui persis ada pengampunan dari Tuhan.
Nah, karena dosa dengan imbalan neraka bisa lolos dari koruptor maka diperlukan langkan-langkah yang extra ordinary (cara-cara yang luar biasa) untuk menghukum pelalu korupsi yang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime) dalam klasifikasi extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang melibatkan pilar demokrasi dan dunia usaha.
Ulama sudah memberikan sumbangan yang sangat berarti untuk mendukung penanggulangan korupsi, tapi pemerintah justru tidak bergeming dan sama sekali tidak memberika tanggapan terhadap ijtima ulama. Gus Dur pernah melemparkan wacara agar koruptor menyerahkan 75 persen hasil korupsinya dan mereka bebas dari tuntutan hukum.
Karena ada celah dan ruang bagi koruptor untuk lolos dan terhindar dari siksaan api neraka, maka agamawan diharapkan memberikan penafsiran baru terkait dengan kejahatan korupsi. Ini diperlukan untuk landasan yang kuat untuk memberikan hukuman kepada koruptor yang merampas harta negara sebagai milik ummat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memulainya.
Hasil sidang Komisi B-1 pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia ke-IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jabar (Juli 2012) tentang penyitaan aset terpidana kasus korupsi: 1. Aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku karena diperoleh dengan cara yang tidak sah. Maka dari itu, aset tersebut harus disita dan diambil oleh negara.
Terkait maraknya korupsi di lembaga yang dipimpinnya, Marzuki mengungkap, korupsi saat ini sudah merajalela dari tingkat pusat sampai daerah, dan melibatkan semua institusi negara.
Marzuki benar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai Mei 2012 sudah ‘mengirim’ 40 anggota DPR-RI dan delapan menteri ke bui karena kasus korupsi.
Data Kemendagri menyebutkan 173 kepala daerah yaitu gubernur, bupati dan walikota terlibat perkara criminal, al. kasus korupsi. Ini artinya 32,6 persen kepala daerah terlibat kasus kriminal, dalam hal ini korupsi. Jumlah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tercatat 530 yang terdiri atas 33 provinsi, 399 kabupaten, dan 98 kota.
Yang paling memalukan adalah Pulau Sumatera karena delapan dari sepuluh gubernur di P Sumatera tersangkut kasus korupsi.
Tekait dengan legislatif 2.976 anggota DPRD di Indonesia telah diberi izin untuk diperiksa antara tahun 2004-2012 dengan rincian 2.545 anggota DPRD kabupaten/kota dan 431 anggota DPRD provinsi. Paling banyak di Jawa Tengah dengan 658 anggota, Sumut dan Sulut dengan 261 anggota.
Sedangkan di bidang yudikatif jumlah hakim ‘nakal’ yang diadukan masyarakat kepada Komisi Yudisial (KY) cenderung meningkat dengan jumlah laporan antara 1.400-1.500 pada priode Desember 2010 – Mei 2011. Kejaksaan Agung menerima 1.500 laporan mengenai jaksa nakal sepanjang tahun 2011. Sampai September 2011 yang terbukti melakukan pelanggaran 196.
Karena sanksi kurungan di hotel prodeo alias penjara juga tidak membuat orang jera melakukan korupsi, maka perlu langkah yang extra ordinary, misalnya, merampas harta dari hasil korupsi dan koruptor diwajibkan menjalankan kerja sosial, al. menyapu jalan raya, membersihkan toilet umum, dll. dengan memakai pakaian khusus bertuliskan: ”Saya Seorang Koruptor” (dari berbagai sumber). ***[Syaiful W. Harahap]***