Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

50 Persen Pengidap HIV/AIDS di Aceh Meninggal

25 Juli 2012   13:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38 296 0

“Tingkat kematian akibat terinfeksi penyakit HIV/AIDS di Aceh masih relatif tinggi. Hal ini butuh perhatian khusus untuk bisa ditanganinya-supaya angka kematian bisa ditekan.” Ini lead pada berita “Tingkat Kematian Akibat HIV/AIDS di Aceh Capai 50 Persen” (The Globe Journal, 25/7-2012).

Pernyataan ‘tingkat kematian akibat terinfeksi penyakit HIV/AIDS’ tidak akurat karena:

1). Sampai sekarang belum ada laporan kematian karena HIV/AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

2). HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus, sedangkan AIDS ada kondisi seseorang yang sudah tertular HIV pada masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV.

Menurut Menkes RI, dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH:  "Saat ini Aceh terjadi peningkatan kasus kumulatif HIV/AIDS dan angka kematiannya pun sangat tinggi, yaitu mencapai 50%, ini masih sangat tinggi."

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan penyakit yang menyebabkan kematian pada 50 persen Odha di Aceh.

Ada kemungkinan penduduk Aceh yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS terdeteksi pada masa AIDS sehingga sudah ada infeksi oportunistik.

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tahun sampai tahun 2011 tercatat 112. Angka ini saja sudah menggemparkan, padahal angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Soalnya, penyebaran HIV/AIDS di masyarakat erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (112) digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Coba simak pertanyaan wartawan ini: “Saat disinggung apa penyebab utama banyaknya terjadi dan meningkatnya yang terinfeksi HIV/AIDS di Aceh. Apakah akibat dari pengaruh Narkoba atau lainnya. Ia menuturkan, ada banyak faktor terjadi di masyarakat. Namun yang lebih sering saat ini adalah penggunaan sex yang tidak aman. Sehingga terjadi penularan dan terinfeksi penyakit tersebut.”

Menkes pun kemudian mempertegasnya melalui pernytaan: "Di Aceh faktor utama itu adalah penggunaan sex yang tidak aman, bukan Narkoba."

Persoalannya, selama ini di Aceh terjadi penyangkalan terkait dengan hubungan seks yang tidak aman, al. hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria serta pelaku kawin-cerai.

Penyangkalan didukung dengan penetapan Aceh sebagai daerah berbasis syariah Islam sehingga tidak ada pelacuran.

Tapi, apakah Pemprov Aceh bisa menjamin di Aceh sama sekali tidak ada praktek pelacuran?

Aktivis di salah satu LSM yang bergerak dalam bidang kesehatan di Aceh mengatakan kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, hepatitis B, dll.) di salah satu rumah sakit sangat tinggi. Kalau memang di Aceh, khususnya Banda Aceh, sama sekali tidak ada praktek pelacuran, tentulah kasus IMS tidak ada.

Maka, kemungkinan lain sebagian laki-laki dewasa penduduk Aceh yang melacur ke daerah lain, terutama Sumatera Utara.

Dikabarkan tidak sedikit laki-laki dewasa yang ‘piknik’ di akhir pekan ke Sumatera Utara. Ada agen perjalan di Banda Aceh mengaku heran karena setiap har Jumat sore flight kapal terbang ke Medan selalu penuh. Perusahan bus malam dan travel juga kebanjiran penumpang di akhir pekan.

Dikabarkan di Medan ada beberapa hotel yang memberikan potongan harga khusus bagi laki-laki pemegang KTP Aceh.

Selama Pemprov Aceh tetap menyangkal perilaku seksual yang berisiko tertular HIV pada sebagian laki-laki dewasa, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan (terus) terjadi di Aceh. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun