Ternyata menyabung nyawa tidak hanya di terjadi medan perang, tapi menyeberang di beberapa ruas jalan raya di Kota Jogja juga bak menyabung nyawa di medan perang.
Bayangkan. Kecepatan kendaraan bermotor di Jalan Malioboro pun bagaikan di sirkuit. Tempat penyeberangan yg ditandai dengan garis-garis putih, dikenal sebagai zebra cross, ternyata bukan hak pejalan kaki.
Biar pun kaki sudah menginjak zebra cross, pengendara tetap melaju bahkan mengelak pejalan kaki dengan memutar stir ke kanan.
Memang, tidak ada rambu-rambu lalu lintas yang menandakan ada zebra cross. Di depan kantor DPRD Yogyakarta, misalnya, lampu untuk zebra cross sering tidak menyala.
Di mulut Jalan Malioboro dari arah utara ada rambu kecepatan yaitu 40 km/jam, tapi rambu itu tidak mencolok sehingga tidak bisa dilihat oleh pengendara kendaraan bermotor.
Lagi pula, apakah masuk akal di jalan yang ramai itu kecepatan 40 km/jam?
Menyeberang di depan pasar Beringharjo, misalnya, juga sangat sulit karena motor dan mobil selalu mengabaikan kerumunan penyebarang. Hal yang sama juga terjadi di depan Kopma UGM. Situasi centang-perenang.
Lajur antara jalan raya dan trotoar pertokoan di sisi timur Jalan Malioboro dipakai untuk parkir motor. Di tengah disediakan ruang untuk pejalan kaki selebar satu ubin (kira-kira 25 cm).
Celakanya,pejalan kaki yang lewat ubin itu ditatap dengan tidak ramah oleh petugas parkir. Mereka mengesankan tidak rela ada pejalan kaki di areal parkir. Pengendara motor pun sering tidak memperhatikan pejalan kaki. Terkadang motor mereka dorong mundur menabrak pejalan kaki. Ada pula yang turun dari motor dengan mengangkat kaki kanan yang mengenai pejalan kaki.
Lain lagi dengan trotoar di sisi sebelah barat Jalan Malioboro yang dipenuhi pedagang. Pemerintah kota sudah memberikan batas toleransi berupa ubin putih. Tapi, sebagian pedagang menggelar dagangan melewati ubin pituh sehingga ruang pejalan kaki kian sempit (Lihat: http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/09/08/label-harga-dan-mitos-untung-di-jalan-malioboro-yogyakarta/).
Begitu pula dengan di Jalan Kaliurang. Di kawasan Bulaksumur ada empat zebra cross, tapi sama sekali tidak ada rambu-rambu yang menandakan ada tempat penyebarangan untuk pejalan kaki. Tidak ada pula rambu-rambu batas kecepatan di Jalan Kaliurang.
Kecepatan kendaraan bermotor di kawasan Bulaksumur rata-rata di atas 60 km/jam sehingga amat sulit untuk menyeberang karena kendaraan dari arah utara melaju kencang di jalan yang menurun ke arah kota.
Pejalan kaki di Jalan Kaliurang di kawasan Bulaksumur juga amat menyayat hati. Selain dipenuhi oleh pedagang, kaki lima pun dipenuhi dengan pot-pot besar sehingga mengganggu pejalan kaki.
Seorang mahasiswi yang indekos di Jalan Kaliurang, misalnya, memilih berjalan kaki ke lampu merah yang berjarak 500 meter hanya untuk menyeberang. Di mulut gang ke tempat indekosnya memang ada polisi, tapi itu hanya di pagi hari.
Mulai senja trotoar di Jalan Kaliurang di sepanjang kawasan Bulaksumur dipenuhi oleh pedagang makanan. Sisi di tepi trotoar dipakai pula untuk parkir motor dan mobil. Walhasil pejalan kaki harus berjalan lebih ke tengah jalan dengan risiko disambar motor atau mobil dari belakang yang melaju kencang.
Celakanya, petugas parkir memilih menempatkan diri di dekat motor atau mobil yang diparkir dengan wajah yang tidak bersahabat. Pejalan kaki mengelak sehingga berjalan lebih ke tengah lagi.
Memang, pedagang kaki lima di sana merasa berhak untuk mencari nafkah. Tapi, mereka lupa bahwa mereka sudah merampas hak pejalan kaki. Mereka mencari rezeki di atas penderitaan pejalan kaki.
Dalam kaitan ini pemerintah kota wajib memberikan kompensasi kepada pejalan kaki karena perampasan hak berjalan di trotoar memberikan keuntungan kepada pemerintah kota melalui retribusi pedagang dan parkir. Misalnya, membuat garis agar ada pemisah antara parkir motor, jalur pejalan kaki, dan jalur kendaraan bermotor.
Perilaku pengguna jalan raya mengesankan mereka ingin mencapai tujuan dengan cepat agar tepat waktu. Tapi, itu tidak berarti pembenaran untuk mengabaikan hak pejalan kaki untuk menyebarang dengan aman. ***[Syaiful W. Harahap]***