* Mematahkan asumi kondom mendorong laki-laki berzina atau melacur
”KASUS penularan HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga di Jakarta terus melonjak. Kini penularan HIV pada ibu rumah tangga ada di posisi kedua setelah penularan pada kelompok karyawan. Kelompok karyawan adalah populasi tertular HIV paling banyak di ibu kota.” Ini lead berita ”Penularan HIV di Kalangan Ibu Rumah Tangga Melonjak” di www.metrotvnews.com (4/6-2012).
Data dari Survey Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, sampai Juni 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS pada rumah tangga mencapai 147. Sedangkan karyawan jumlahnya 283 yang terdiri atas 199 HIV dan 84 AIDS, serta wiraswasta 139.
Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, Rohana Manggala: "Mayoritas penularan HIV ibu rumah tangga berasal dari suami sendiri yang kerap melakukan transaksi seks tidak aman."
Fakta di balik realitas sosial terkait dengan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga adalah suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks serta waria.
Fakta tsb. juga mematahkan anggapan yang mengatakan bahwa (sosialisasi) kondom mendorong laki-laki berzina atau melacur. Kalau benar laki-laki berzina atau melacur karena (sosialisasi) kondom tentulah suami-suami tidak ada yang menularkanHIV kepada istrinya.
Ada kemungkinan penularan terhadap 147 ibu rumah tangga dilakukan oleh suami yang bekerja sebagai karyawan atau wiraswasta. Hal ini amat masuk akal karena karyawan dan wiraswasta mempunyai penghasilan tetap sehingga mereka bisa ’membeli’ seks.
Masih menurut Rohana, jika fenomena ini terus didiamkan, bukan tidak mungkin tren penularan HIV pada kelompok berisiko di Jakarta akan mulai bergeser kepada kelompok masyarakat umum, seperti yang telah terjadi di Papua.
Pernyataan Rohana tidak akurat karena sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah ada di keluarga sebagai bagian dari masyarakat umum. Laki-laki gay, pelacur, dan waria adalah bagian dari keluarga di sebuah masyarakat.
Apakah gay, pelacur dan waria bukan bagian dari keluarga hanya karena mereka dianggap berperilaku ‘menyimpang’? Tentu saja tidak. Perampok, koruptor, pemerkosa, dll. juga berpirilaku (moral dan hukum) yang menyimpang.
Pertanyaan untuk Rohana:
(1) Apa langkah konkret yang realistis dari KPA Prov DKI Jakarta untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan transaksi seks tidak aman?
(2) Apa langkah konkret yang realistis dari KPA Prov DKI Jakarta untuk mencegah penularan dari suami ke istri?
(3) Apa langkah konkret yang realistis dari KPA Prov DKI Jakarta untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya?
(4) Bagaimana cara yang sistematis yang dilakukan KPA Prov DKI Jakarta untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?
Jika KPA Prov DKI Jakarta tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk empat hal di atas, maka penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, akan terus terjadi.
Rohana mengatakan: ” .... posisi terbanyak juga masih dipegang oleh ibu rumah tangga dengan komposisi hingga 55%. Sedangkan sisanya ditempati oleh PSK, karyawati dan lain-lain.”
Ada fakta yang luput dari perhatian yaitu PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS justru tertular dari laki-laki dewasa penduduk DKI Jakarta. Selanjutnya, ada pula laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS.
Di tataran masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV. Buktinya adalah kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Masih menurut Rohana: ” .... sosialisasi bahaya HIV pada laki-laki pembeli seks sejatinya menjadi kunci untuk memutus mata rantai penularan pada kelompok ibu rumah tangga. Namun diakui sosialisasi pada kelompok laki-laki pembeli seks atau yang dikenal pula sebagai kelompok high risk man (HRM) bukanlah perkara mudah.”
Pertanyaannya: Berapa lama waktu yang dibutuhkan Rohana untuk menyadarkan pembeli seks agar melakukan ’seks aman’?
Nah, tanpa disadari para rentang waktu sebelum seorang laki-laki mengubah perilakunya dia sudah melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV dan menularkan HIV.
Lagi pula: Apakah ada jaminan sosialisasi akan bisa membuat semua laki-laki tidak ada lagi yang (akan) melacur tanpa kondom di Jakarta, di luar Jakarta atau di luar negeri?
Kalau jawabannya ADA, maka Pemprov DKI Jakarta tidak perlu risau karena laki-laki dewasa tidak ada lagi yang melacur.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK ADA, maka Pemprov DKI Jakarta akan menghadapi ’ledakan AIDS” karena penyebaran HIV terus terjadi di masyarakat.
Celakanya, Perda AIDS DKI Jakarta pun hanya mengumbar langkah-langkah yang normatif sehingga tidak menyentuh akar masalah terkait dengan upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/28/menakar-keampuhan-perda-aids-jakarta/).
Ketua Forum LSM Peduli AIDS Jabodetabek, Evie Tarigan, mengakui: "Penjaja seks memiliki daya tawar lemah. Mereka tidak bisa memaksa pelanggan menggunakan kondom."
Nah, Evie sudah mengetahui fakta. Tapi, mengapa yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi yang ternyata masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri?
Selama tidak ada regulasi terhadap (praktek) pelacuran dalam bentuk lokalisasi, maka selama itu pula keharusan memakai kondom pada laki-laki yang ’membeli’ seks dari PSK tidak akan bisa diterapkan.
Maka, Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***