Sebanyak 249 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) meninggal dunia sepanjang 2005 sampai sekarang. Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Solo mencatat angka kematian akibat virus mematikan itu dari 742 penderitanya (Sejak 2005, 249 ODHA Meninggal Dunia, suaramerdeka.com, 7/4-2012).
Jumlah kematian terkait HIV/AIDS sebanyak 249 itu hanya bagaikan angka-angka mati saja. Padahal, dengan tingkat kematian 33,6 persen tentulah merupakan persoalan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Solo. Itu bisa terjadi karena wartawan yang menulis berita ini tidak membawa data atua fakta itu ke realitas sosial.
Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tejadi pada masa AIDS yaitu secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV (Lihat Gambar 1).
Jika kematian terjadi pada masa AIDS, maka kemungkinan penularan pada kasus-kasus kematian yang terdeteksi pada rentang waktu tahun 2005 – 2012 diperkirakan terjadi antara tahun 1990 dan 2007 (Lihat Gambar 2).
Kalau di antara 249 Odha yang meninggal itu ada suami, maka sudah ada pula istri yang berisiko tertular HIV (horizontal). Selanjutnya secara vertical ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang kelak dikandung istri-istri yang tertular HIV dari suaminya.
Celakanya, dalam banyak ceramah, diskusi dan berita di media cetak realitas sosial terkait epidemi HIV tidak pernah muncul sehingga masayarakat tidak memahami risiko yang mereka hadapi.
Menurut Pengelola Program KPA Solo, Tommy Prawoto: “Tidak semua penderita dari Solo. Melainkan dari kota/kabupaten di sekitarnya yang menjadi pasien di klinik VCT di Solo. Tiap tahun angkanya memang naik karena tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya penyakit ini cenderung meningkat.”
Karena pelaporan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif, maka angka laporan akan terus naik atau bertambah biar pun banyak Odha yang meninggal.
Apakah benar tingkat kesadaran masyarakat meningkat sehingga banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi?
Itu salah satu faktor. Tapi, kalau bertolak dari kematian Odha itu, maka penemuan kasus justru banyak terdeteksi di rumah sakit ketika ada pasien yang berobat dengan penyakit terkait HIV/AIDS. Artinya, penduduk sudah tertular HIV dan sudah berada di masa AIDS ketika mereka terdeteksi mengidap HIV.
Penanggulangan yang digembar-gemborkan pemerintah melalui klinik tes HIV dengan konseling secara gratis (dikenal dengan sebutan Klinik VCT), perawatan, dan pengobatan adalah kegiatan di hilir. Artinya, kegiatan ini bisa dilakukan kalau sudah ada yang tertular atau mengidap HIV/AIDS.
Pada saat yang sama insiden penularan HIV di hulu terus terjadi, terutama pada laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Disebutkan: “Untuk mencegah penularan HIV meluas, KPA Solo mengawasi komunitas-komunitas rentan terjangkit virus mematikan tersebut.”
Ini pekerjaan bak menggantang asap. Sia-sia. Kalau komunitas yang rentan tertular HIV dalam pernyataan di atas adalah PSK, maka yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap HIV.
Di bagian mana dan bagaimana cara KPA Solo melakukan pengawasan?
Langkah itu hanya jargon sebagai retorika yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan penularan HIV pada hubungan seksual dengan PSK.
Disebutkan pula: “Sejauh ini sasaran program kepada wanita pekerja seks komersil, pengguna obat-obatan terlarang, dan penyuka sesama jenis.”
Perihal sesama jenis perlu lebih teliti karena ada beberapa istilah yang rancu.
Sesama jenis dikategorikan sebagai homoseksual yaitu gay laki-laki. Komunitas ini tidak terbuka sehingga tidak akan bisa diawasi.
Ada pula Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki (LSL). Laki-laki di sini bukan penyuka sesama jenis, tapi mereka adalah laki-laki heteroseks (suka kepada lawan jenis) yang juga suka melakukan hubungan seks anal dengan laki-laki (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/19/fenomena-laki-laki-suka-seks-laki-laki-dalam-epidemi-aids/).
Sedangkan penyuka waria pun justru laki-laki heteroseksual. Fakta terkait dengan ‘cinta’ dengan waria ketika melakukan seks anal yang menjadi ‘perempuan’ justru laki-laki heteroseks. Artinya, laki-laki heteroseks dianal oleh waria.
Disebutkan pula: “Ke depan, KPA juga menyasar komunitas rentan lainnya, yakni gadis belia penjaja cinta. Perlakuan terhadap komunitas ciblek (cilik cilik betah melek) ini bakal berbeda mengingat karakteristik anggota komunitas yang tertutup.”
Lagi-lagi pernyataan-pernyataan itu menunjukkan penanggulangan yang berat sebelah atau bias gender karena hanya menjadikan perempuan (PSK dan ‘ciblek’) sebagai ‘sasaran tembak’. Sedangkan laki-laki dewasa yang menjadi pelanggan PSK dan ‘ciblek’ justru luput dari program KPA Solo.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kota Solo. Bahkan, perautaran walikota tentang penanggulangang AIDS pun sama sekali tidak menawarkan cara penanggulangan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/28/menyibak-peraturan-walikota-surakarta-tentang-penanggulangan-hiv-dan-aids/).
Terkait jumlah penderita HIV/AIDS yang bertambah, Sekretaris KPA Solo, Harsojo Soepodo, mengatakan bawah KPA menerjunkan sukarelawan di tiap RW yang bertugas menyosialisasikan bahaya HIV/Aids sekaligus memetakan para penderita di wilayahnya.
Data pengidap HIV/AIDS adalah rahasia sama seperti penyakit lain. Tentu amat gegabah kalau kemudian ada sukarelawan yang memetakan Odha di wilayahnya.
Yang perlu dilakukan sekarang ini bukan sosialisasi bahaya HIV/AIDS, tapi cara-cara pencegahan yang konkret sehingga bisa dipraktekkan orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV.
Disebutkan oleh Harsojo: “Tujuannya (sosialisasi bahaya HIV/AIDS-pen.) masyarakat Kota Solo sadar HIV/Aids dengan angka terpapar pemahaman 90 persen penduduk hingga 2015."
Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah sosialisasi HIV/AIDS dengan materi yang akurat atau dibumbui dengan moral?
Kalau materi sosialisasi dibumbui dengan moral, maka yang ditangkap masyarakat hanyalah mitos (anggapan yang salah) sehingga tetap saja ada penduduk yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Kasus-kasus HIV yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK serta waria. ***[Syaiful W. Harahap]***